Kamis, 14 Januari 2016

Perjumpaan Kembali

Perjalanan hidup itu seharusnya dinamis meski melalui jalan setapak. Satu hal, pastikan saja kamu terus berjalan dan melompat meski hanya sedikit-sedikit. Sesekali bolehlah rehat di bawah sebatang pohon. Mungkin orang lain pun sesekali juga akan meremehkanmu. Buktikan saja bahwa kamu memiliki kapasitas, bahwa kamu itu hebat!

Apa jadinya bila mantan atasanmu adalah teman dari atasanmu sekarang? Bagaimana bila mantan atasanmu mengunjungi kantormu yang menyatu dengan kompleks tempat tinggal lantas kalian beraktivitas bersama. Tiba-tiba makan bersama satu meja, tiba-tiba duduk berdiskusi cukup lama dengan suasana non formal. Padahal sebelumnya jarang sekali dilakukan. Agak sulit dibayangkan. Namun itulah yang terjadi pada saya sekarang.

Pada akhir 2012 hingga pertengahan 2013 saya sempat magang dan bekerja di kantor penerbitan publikasi arsitektur, Imelda Akmal Architectural Writer (IAAW) dengan prinsipal Mbak Imelda Akmal. Sementara itu, hampir setahun belakangan ini saya tengah menuntut ilmu sambil bekerja di Rumah Intaran (RI) dengan prinsipal Pak Gede Kresna. Semenjak Pak Gede bertutur bahwa Mbak Imel akan datang dan menginap di Rumah Intaran akhir tahun 2015 kemarin, ingatan saya terulur sejenak ke belakang.

Teringat bagaimana proses yang saya alami hingga menginjakkan kaki di kantor IAAW, saat menimba pengalaman di sana, hingga kemudian saat memutuskan keluar dari IAAW. Hal yang sama berlanjut dengan bagaimana saya akhirnya tiba di RI dan kegiatan sehari-hari saya selama di sini. Rasa syukur saya membuncah, keduanya telah banyak memberikan lompatan-lompatan menakjubkan yang sering tidak dapat saya bayangkan sebelumnya. Dan saat keduanya bertemu, saling berdiskusi, saling berbagi, lalu terjadi penyatuan satu dua mimpi.


Saat Mbak Imel datang ke Rumah Intaran, saya masih berada di kampung halaman. Maka doa saya, semoga saya masih dapat berjumpa dengan beliau. Mbak Imel dan Mas Sonny serta Pak Gede dan Ibu Ayu adalah guru-guru keren yang pernah saya jumpai. Dan mimpi saya adalah berfoto bersama dengan keduanya keempatnya. Ya!

Ki-Ka: Pak Gede Kresna, Ibu Ayu Gayatri Kresna, saya, Mbak Imelda Akmal, Mas Sonny Sandjaya

Rabu, 13 Januari 2016

Ngopi di Klinik Kopi


Inilah satu-satunya "plang" nama Klinik Kopi. Plang sebenarnya adalah bangunan itu sendiri,

Hal menarik dalam sebuah perjalanan adalah bertemu orang-orang baru, lantas saling berbagi ilmu atau pengalaman.
Pada kepulangan ke Jogja medio Desember lalu, saya menyempatkan berkunjung ke Klinik Kopi, Jalan Kaliurang. Kebetulan Soni, rekan dari Jakarta tengah magang di Rumah Intaran Bali, turut ke Jogja untuk mendampingi mahasiswa workshop. Jadilah kami bersama melancong ke sana. Ia sempat mengutarakan ketertarikannya terhadap kopi, saat itu saya sempat berujar. “Nanti kalau ke Jogja, sempatkan berkunjung ke Klinik Kopi.”

Lokasi Klinik Kopi tidak berada tepat di tepi jalan raya, ia masuk tidak seberapa jauh ke dalam kampung. Meski begitu bangunan bambunya mudah dikenali. Ya, karena hanya Klinik Kopi lah satu-satunya bangunan yang menggunakan material bambu. Mas Pepeng, pemilik Klinik Kopi, mengatakan bahwa ia ingin konsep Klinik Kopi adalah bangunan bambu yang menyeruak dari semak-semak hijau. Bangunannya masih setengah jadi, didesain oleh Yu Sing, dibangun secara bertahap. Kata “Yu Sing” dan “arsitektur” pula yang kemudian memberi kami tiket akses menuju konstruksi di lantai atas serta mendengarkan paparan inspiratif Mas Pepeng.

Bangunan bambu yang menyeruak dari semak-semak.
Bagi saya, Mas Pepeng adalah sosok yang sangat terbuka, ramah, dan senang berbagi pengalaman. Hampir pasti setiap pengunjung pemula akan ditanya, “Pernah minum kopi?”; “Suka minum kopi?”; “Biasanya minum kopi apa?”. Tak jarang para pemula ini akan gelagapan, termasuk saya yang baru mengenal kopi semenjak tinggal di Bali setahun terakhir. Itu pun kopi pabrikan. Rasanya mirip-mirip dan seperti tidak ada bedanya. Kecuali sempat mencicipi kopi dari Toraja yang rasanya asam lalu menganggapnya aneh. Dari interview awal tersebut barulah Mas Pepeng dan asistennya akan menentukan kopi paling pas untuk “belajar ngopi”. Selain ramah, ia juga mudah sekali menghapal orang berikut nama atau asalnya. Jangan kaget jika sebelum pulang, Mas Pepeng akan menanyakan nama. Jangan segan pula untuk bertanya apa saja tentang kopi dan Klinik Kopi.

Pertama kali itu saya mencicipi kopi Sunda Jahe sementara Soni memilih meneguk kopi Sunda sesuai daerah asalnya. Inilah kopi yang benar-benar kopi. Klinik Kopi tidak dilengkapi wi-fi bahkan musik. Alih-alih duduk di sofa atau kursi bermeja, yang tersedia lantai dengan tegel Kunci untuk berlesehan. Namun justru dengan demikian kami  dapat berbincang dengan pengunjung lain.

Lalu terlihat seekor ulat bulu melintas seperti cerita Mas Pepeng sebelumnya. Benar, kami harus berdamai dengannya. Apabila kami tidak mengganggu, ia tidak akan mengganggu. Itu adalah salah satu konsekuensi adanya kebun kecil di sekeliling bangunan. Beberapa sayuran berjajar rapi di dinding dengan kolam ikan memanjang di bawahnya. Tak lupa Mas Pepeng memperlihatkan teknik hujan buatan sederhana untuk menyiram kebunnya tersebut. Apabila ia keluar kota pun tidak perlu khawatir karena ada sensor pewaktu untuk menyalakan saklar air hujan buatan tersebut. Sementara itu di dekat dapur terdapat kolam kecil untuk filtrasi air sebelum mengalir ke kolam ikan. Lahan kecil yang benar-benar membuat saya dan Soni berdecak.

Kebun kecil di ruang-ruang terbuka sekeliling bangunan.
Sayang, foto-foto saat malam kurang bersahabat. Begitu pun sebenarnya dengan penglihatan langsung. Karenanya saya bertekad akan kembali lagi esok, sebelum hari keberangkatan ke Bali.

------


Dan saya dibuat terperangah oleh dunia pada kunjungan kedua. Saya memutuskan ber-reuni dengan teman-teman SMA (yang sebenarnya tidak cukup dekat). Di samping itu saya diperkenalkan pula dengan Sagung, gek Bali yang berlibur di Jogja. Well, yang paling membuat takjub, saya dipertemukan lagi dengan Sela, gadis mungil yang sempat bekerja di IDEP Bali. Dunia sempit! Jauh-jauh ke Jogja, ketemunya orang-orang Bali juga.