Minggu, 08 November 2015

Aku Sarjana Teknik, Membaca Orang-Orang Proyek



Aku insinyur. Aku tak bisa menguraikan dengan baik hubungan antara kejujuran dan kesungguhan dalam pembangunan proyek ini dengan keberpihakan kepada masyarakat miskin. Apakah yang pertama merupakan manifestasi yang kedua? Apakah kejujuran dan kesungguhan sejatinya adalah perkara biasa bagi masyarakat berbudaya, dan harus dipilih karena keduanya merupakan hal yang niscaya untuk menghasilkan kemaslahatan bersama?

Buku yang tinggal satu itu langsung menarik perhatian saya saat mengunjungi toko buku di kota kecil Singaraja. Ditulis oleh Ahmad Tohari yang juga menelurkan novel Ronggeng Dukuh Paruk serta Bekisar Merah, setidaknya dua cerita itu yang pernah saya kenal di perpustakaan saat SMA. Rasanya saya juga belum pernah membaca karya Ahmad Tohari yang –konon katanya– kontroversial tersebut.

Diterbitkan pertama kali pada 2007, Orang-Orang Proyek bertutur mengenai realita pekerjaan proyek yang masih relevan dengan kondisi saat ini. Dalam perkembangannya, proyek tidak saja bermakna pekerjaan membangun infrastruktur seperti jembatan atau gedung tetapi segala sesuatu yang memang dapat ‘diproyekkan’ dan memunculkan peluang ‘ngobyek’. Proyek di masa kini cenderung menjadi stigma dalam keseharian masyarakat. Kejujuran dan kesungguhan dapat diutak-atik demi ego pribadi. Hasilnya, anggaran yang bocor dan kualitas yang tidak sesuai harapan.

Terdapat paragraf yang menarik di halaman 169-170:
Sebagai sarjana teknik Kabul sering bertanya-tanya mengapa terlalu sedikit insinyur yang bisa jadi panutan seperti Rooseno, Sudiarto, atau Sutami. Selain berdedikasi tinggi, mereka meninggalkan karya-karya monumental. Kehidupan pribadi mereka bermartabat, ora kagetan, ora gumunan, apa lagi kemaruk. Sutami malah hidup sangat bersahaja dalam status sebagai menteri pun. Apakah karena mereka masih mengalami pendidikan zaman Belanda yang sangat menekankan idealism serta kedisiplinan ilmu? Apa karena kepribadian mereka memang kuat? Atau lagi, apa karena mereka hidup pada masa yang relatif belum terlalu korup?
 Deretan pertanyaan itu membawa Kabul sampai ke deretan pertanyaan lain di baliknya. Mengapa banyak insinyur dari generasi berikut lebih suka memilih sikap pragmatis, baik dalam karier maupun kehidupan pribadi? Kabul mencoba mereka-reka jawabnya. Mungkin karena zaman sudah berubah. Pragmatisme sudah nyata hadir, sehingga orang-orang idealis tampak sebagai makhluk aneh, lucu, bahkan bloon. Pada zaman yang serba gampangan, orang-orang berhati lurus seakan terkategorikan sebagai mereka yang melu edan ora tahan, yen tan melu anglakoni boya kaduman milik.”

Begitulah idealisme tampak berat dan tidak biasa di zaman sekarang. Ketika arus-arus pragmatisme justru deras mengalir. Tanpa keteguhan (yang kuat) mustahil para idealis dapat bertahan. Novel ini kaya dengan celetukan-celetukan mendalam mengenai dilema orang-orang yang bekerja di proyek. Para insinyur dan sarjana teknik saya kira sangat pantas membacanya, untuk mempertanyakan kembali niat dan tujuan bekerja di bidang tersebut –dan bidang-bidang lainnya tentu saja. Meski tanpa klimaks yang maksimal, Ahmad Tohari justru menyematkan sangat banyak amanat tanpa kesan menggurui. Semua kalimat mengalir sesuai dengan citra-citra yang sedikit banyak sempat melintas dalam isu keseharian kita.


Pada akhirnya cerita Orang-Orang Proyek ini mengingatkan saya pada nasihat ibu ketika saya hampir beranjak menuju dunia kerja. Persis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar