Sabtu, 20 Juni 2015

Tanah Polpolan

Menjadi arsitek tidak lepas dari eksplorasi terhadap material di sekitarnya. Salah satu pengalaman saya di Rumah Intaran adalah mengenal tanah polpolan. Tanah polpolan adalah tanah biasa yang difermentasikan selama sehari hingga seminggu lamanya. Prosesnya tidak sulit. Tanah dicangkul-cangkul hingga lunak, ditambahkan air sedikit demi sedikit, diinjak-injak sampai kalis, lalu didiamkan, dan masuk tahap fermentasi. Saat akan digunakan, adonan tanah ini diinjak-injak lagi dan ditambahkan air sedikit demi sedikit.

Masyarakat Bali, terutama di pedesaan, banyak yang menggunakan tanah ini dalam kehidupan keseharian mereka, termasuk membangun rumah. Tidak ada alasan lain mereka memilih polpolan selain karena material yang mudah didapat, sudah disediakan alam. Polpolan dapat menggantikan posisi semen, ia dapat rekat pada material lain. Polpolan diambil dari alam, paska pakai pun akan kembali ke alam tanpa efek merusak.

sebelum disimpan dan agar lebih mudah dipindahkan, tanah polpolan dibentuk menjadi bulatan-bulatan sebesar tiga kepalan tangan
Pak Koya sedang mencangkuli tanah di samping rumah untuk dijadikan tanah polpolan
sedikit demi sedikit tanah polpolan diambil untuk diaplikasikan sebagai pelapis tungku tanah
yeah, ini adalah material yang super!

Selasa, 16 Juni 2015

One Day in Popo Danes's

Popo Danes
The challenge for an architect in Bali is how to be good representative of the island by promoting the culture, preserving the environment, and also providing some benefit to the local community.”
--Popo Danes on hellobali Magazine May 2015/Vol 20 No 05

Saat membaca kalimat tersebut, sontak saya teringat bahwa Popo Danes, starchitect Indonesia yang tinggal dan berprofesi di Bali tersebut kini bukanlah sosok yang asing. Tidak saja karena saya juga berada di Bali, tetapi saya juga telah beberapa kali berkunjung ke studionya. Dan berkesempatan menginap di kediaman pribadinya yang berplakat “Republic of Tunisia, Honorary Consul”.


Saya mengakui bahwa Popo Danes adalah arsitek yang lihai berkarya. Saat masuk ke rumah pribadinya, saya hanya terpukau. Bagaimana beliau berpikir hal-hal di luar batas kemajemukan, menemukan trik dan ide yang orang lain mungkin tidak memikirkannya. Juga seperti pernyataannya pada majalah hellobali yang saya kutip di atas, Popo tidak saja ngarsitek , Popo juga seniman. Beliau mengenalkan kekayaan seni budaya nusantara. Di rumahnya terpajang banyak lukisan dan koleksi benda-benda antik. Menemukan mainan jaman kanak-kanak hingga mengagumi peluit kapal layar.



Halaman belakangnya cukup luas dengan hamparan rumput, pepohonan yang tumbuh dengan asri, serta kolam renang. Sementara itu di seberang rumahnya terhampar sawah nan luas. Konon saat matahari tenggelam dan langit cukup cerah, lanskap di sudut mata angin itu sangat bagus. Sayang, saya tidak menjumpainya langsung, hanya melihatnya sejenak dari telepon genggam Popo Danes.


Kolom kayu besar itulah yang mula-mula membuat saya ter-'wow'.

Teknik, material, dan keselarasan dengan lingkungan. Itulah unsur-unsur yang tertangkap dari jejak berarsitektur Popo Danes, setidaknya dari studio dan rumahnya. Saya beruntung mengetahuinya!





Kiri ke kanan: Pak Popo Danes, Ibu Melati Danes, Hafshah, Gek Jyo, Ibu Ayu Gayatri Kresna, Taksu, Pak Gede Kresna, saya, dan Eka.