Sabtu, 07 Maret 2015

Diary of Intaran: Mengajar Anak-Anak SD Itu

Foto: Bapak Gede Kresna
Hari ini (07/03) menjadi jadwal saya dan Hafshah untuk mengajar di SD No. 1 Kajanan, Singaraja. Sebagai rangkaian ulang tahun Rumah Intaran yang ketiga, kami merasa perlu untuk membagikan inspirasi kepada anak-anak sekolah dasar. SD No. 1 Kajanan terletak tepat di belakang Masjid Kuna Singaraja yang juga merupakan kawasan kampung Arab. Saya sama sekali tidak menyangka status Sekolah Dasar Negeri di daerah dengan mayoritas beragama Hindu menyuguhkan hal yang sebaliknya. Hanya satu anak saja yang berkeyakinan Budha, selebihnya Muslim.

Pak Edy Baimin, kepala sekolah SD No. 1 Kajanan menyambut kami dengan hangat. Kakeknya berasal dari Jogja, sementara beliau lahir di Banyuwangi dan menetap di Bali semenjak 34 tahun yang lalu. Saat saya dan Hafshah pertama kali menemui Pak Edy untuk meminta ijin Pak Edy banyak bercerita mengenai Jawa dan Bali. Tentu karena ada benang yang mempertemukan kami: asal daerah. Beliau menyambut baik niat kami untuk memberikan materi pengembangan diri mengenai lingkungan hidup.

Sebelum kami memberikan sosialisasi mengenai “Manfaat Pohon Intaran dan Bagaimana Menjaga Lingkungan”, Pak Edy memberikan kata-kata pendahuluan kepada murid-muridnya. Salah satu hal yang paling berkesan bagi saya terletak pada bagian, “… dengarkan apa yang kakak-kakak ini sampaikan. Kalau ada yang bagus, diambil dan dicontoh, terutama jilbabnya. Karena di kelas ini baru satu yang memakai jilbab. Nanti setelah masuk SMP, semua harus memakai jilbab.” Saya merasa bahwa di sekolah ini nuansa keislamannya sangat kuat. Tidak salah ketika saya mengunjungi ruang kepala sekolah, deret-deret piala yang menghiasi etalase kebanyakan diraih dari bidang keagamaan, semisal adzan, tartil, atau hafidz.

Anak-anak SD No. 1 Kajanan sangat antusias dan aktif, bahkan dapat saya bilang terlampau antusias. Bahagia rasanya bisa berbaur dengan anak-anak itu, namun sangat kewalahan saat mereka lantas tidak tenang lagi dan kami kehilangan kendali. Saat kami membagikan daun-daun intaran, mereka belum tahu apa dan bagaimana daun intaran namun tanpa ragu berebut meminta daun-daun intaran. Bahkan turut mencicipinya meski belakangan baru tahu bahwa rasanya pahit. Lalu tiba-tiba kami melihat neem stick telah lenyap, entah siapa yang mengambilnya.

Riuh dan larut dalam tawa. Foto: Ibu Ayu Gayatri.
Antusiasme seperti ini tidak pernah saya alami selama saya bersekolah di Jawa. Jawa, utamanya Jogja dan Solo yang mengajarkan untuk menjunjung tinggi sopan santun kepada orang lain, termasuk kepada orang-orang yang belum dikenal. Nakalnya teman-teman saya waktu itu tidak sebanding dengan anak-anak di sini. Teman-teman sekolah hanya akan lebih berani kepada orang-orang yang sudah dikenalnya. Selebihnya: malu dan sungkan, ewuh pakewuh.

Apapun yang terjadi hari ini, saya merasa sangat beruntung dapat bertemu calon-calon penerus estafet bangsa. Senyum dan semangat mereka menjadi warna baru dalam perjalanan kehidupan saya. Menyampaikan kepada anak-anak ini sedari dini tentang lingkungan semoga dapat menumbuhkan semangat cinta lingkungan sehingga masa depan bumi akan lebih terjaga.

Sampai jumpa di SD Negeri No. 1 Kampung Bugis pekan depan!


***

Mendadak teringat teriakan semangat, “Pemuda Indonesia! Aku untuk Bangsaku!” Apa kabar wahai pemuda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar