Kamis, 12 Maret 2015

Blusukan Desa Tejakula bersama Pak Ketut Arthana

Keluar dari rumah peninggalan ibunda Pak Ketut Arthana

Cerita ini datang terlambat. Selepas hujan yang datang tanpa kunjung pergi.

Hari Minggu kemarin (08/03) Rumah Intaran menggelar acara bertajuk “Belajar dari Desa”. Kali ini kami menjelajah Desa Tejakula bersama Bapak Ketut Arthana, arsitek yang juga prinsipal Arte Architect yang berkantor di Bali. Bersama lima belas peserta lain dan tim dari Rumah Intaran, blusukan di kampung halaman Pak Tut ini diawali dengan mengenal rumah peninggalan ibunda Pak Tut, rumah yang dibangun pada tahun 1978 dengan berbagai macam tarik ulur antara Pak Tut dan ibunya. Pertama, Pak Tut menghendaki tanah yang tidak diratakan. Memang saat saya melihat kontur rumah tersebut sangat berbeda-beda elevasi tanahnya. Kedua, tidak boleh ada pohon yang ditebang, kalaupun ada maksimal penebangan hanya boleh lima pohon. Hasilnya kawasan rumah ini masih terlihat rindang. Mengadopsi kebiasaan orang Bali yang lebih menggemari duduk-duduk di tangga daripada di kursi, bangunan-bangunan yang ada pun memiliki beberapa anak tangga. Sementara itu angkul-angkulnya diambil dari rumah tua dengan gaya Singaraja yang mengadopsi langgam Belanda dan atau Portugis.

Pak Tut mendeskripsikan apa dan bagaimana yang terdapat di desanya.
Desa Tejakula merupakan salah satu desa yang tergolong Bale Mula (desa tua, di Bali Selatan akrab disebut Bali Aga). Dan Pura Dalem menjadi catatan historisnya. Pura Dalem diambil dari Jawa, dibawa oleh Mpu Kuturan. Di pura ini saya mengenali kembali tipologi arsitektur Bali dimana tiang-tiang atap digunakan pula sekaligus tiang-tiang konstruksi. Sementara itu, dindingnya hanya sebagai pembatas tanpa adanya beban yang dilimpahkan padanya. Bahkan dekorasinya pun sangat detail, pada tiang-tiang tengah dengan beban nol, terdapat cerukan hingga menyisakan diameter kecil di tengah tiang yang disebut kincut.

Kincut.
Kami lantas menemukan pula sebuah rumah yang kata Pak Tut merepresentasikan kehidupan masyarakat Bali Mula yang digunakan di Tejakula. Ada sebuah rumah dengan pintu hijau, rumah kecil yang berhadapan dengan dapur terbuka, dipisahkan halaman cukup luas di tengahnya. Dapur tersebut dilengkapi dengan bale-bale. Konon, orang yang baru saja menikah akan mendapatkan satu kaveling tanah kecil tersebut dan mereka harus tinggal dahulu di dapur sebelum akhirnya menempati rumah yang sebenarnya.

Desa Tejakula pernah mengalami longsor pada tahun 1969. Pada satu bagian memang ada lereng yang menghijau. Namun ternyata itu akibat tragedi longsor yang membuat para penduduk sadar untuk memelihara hutan. Secara swadaya, masyarakat menanami sendiri hutannya dengan pohon-pohon mahoni, jati, durian, dan lain sebagainya. Apabila terdengar suara orang menebang pohon, penduduk akan dengan sigap mengejar pelakunya.

Bu Menik dan suaminya.
Tak ketinggalan menjumpai Bu Menik, penari Trunajaya 1, yang artinya penari generasi pertama setelah penciptanya. Trunajaya awalnya merupakan tari Gong Kebyar 3 yang setelah dibawa ke hadapan Bapak Soekarno dinilai terlalu panjang sehingga dipotong durasinya. Saat ini di usianya yang tak lagi muda Bu Menik mendedikasikan dirinya untuk mendidik anak-anak muda yang ingin belajar tari tanpa dipungut biaya. Satu tujuannya, agar tari tetap lestari dan ada generasi penerusnya.

Ratu Gede Serabad
Terakhir kali, kami mengunjungi Pura Syahbandar yang merupakan pura yang dahulu dikuasai Cina. Satu hal yang unik, di pura tersebut terdapat satu pelinggih dengan nama Ratu Gede Serabad atau biasa dijuluki pula Ratu Gede Makkah. Makkah adalah tempat yang identik dengan kaum Muslim, dimana kiblat berada di kota tersebut. Pelinggih Ratu Gede Serabad dimaksudkan sebagai penghargaan kepada Muslim. Letaknya yang dekat dengan pelabuhan sebagai tempat singgah para pendatang menimbulkan interaksi social. Betapa masyarakat di zaman dahulu telah menjunjung tinggi toleransi, hidup bersama berdampingan, dan menghormati satu sama lain tanpa ada pertentangan.

Dan hujan kembali menutup perjalanan tujuh kilometer kami hari itu.





Dan untuk makan siang, Pak Tut dan keluarga telah mempersiapkan beberapa sajian khas Desa Tejakula. Saya memilih rujak dan mengguh.

Rujak Ala Bali.
Gula aren dan asam berpadu menjadi satu. Tak lupa disertai taburan irisan mentimun dan kacang goreng.

Mengguh.
Bubur yang mirip dengan bubur manado. Bubur yang dimasak dengan isian sayur-sayuran.

Rujak
Mengguh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar