Selasa, 31 Maret 2015

Nyepi di Bali


Satu pekan telah berlalu semenjak masyarakat Hindu di Bali merayakan Nyepi. Bagi perantau dengan kultur asal sangat berbeda, berada di tengah-tengah masyarakat asing tentu memperkaya pengalaman dan pengetahuan saya. Mengenal dan mengetahui bagaimana kehidupan sosial dan tradisi berjalan menjadi sebuah catatan tersendiri.

Nyepi atau Perayaan Tahun Baru Saka merupakan salah satu hati besar yang diperingati masyarakat Hindu di Bali. Persiapannya pun sudah dimulai sejak jauh-jauh hari, misalnya dengan membuat ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh adalah semacam raksasa yang terbuat dari berbagai material sesuai kreativitas, bambu, stereofoam, kertas, hingga kain. Beberapa ogoh-ogoh juga disertai elemen-elemen seperti api atau air.

Ogoh-ogoh merupakan simbol kekuatan-kekuatan negatif yang tidak baik berada di sekeliling manusia Hindu Bali dan harus dinetralkan. Caranya, ogoh-ogoh akan diarak di banjar-banjar –hingga seperti festival karena semua masyarakat turun ke jalan dan turut menyemarakkannya. Setelah itu akan dibakar sehingga kekuatan itu akan pergi.


Beruntung saya mendapat kesempatan pula untuk menyaksikan arak-arakan ogoh-ogoh di Desa Tamblang, Buleleng. Saat saya sampai di dekat Pasar Tamblang, persiapan masih berlangsung. Anak-anak dengan kebanggaan penuh turut serta mempersiapkan dan berlatih, tak terkecuali beberapa balita yang menggemaskan. Rata-rata para pengarak ogoh-ogoh ini mengenakan pakaian hitam-hitam –yang mungkin pertanda “kegelapan”.

Sejurus kemudian tampak para pecalang yang kian banyak bersiaga. Mengatur jalannya “festival” karena masyarakat memadati jalanan –yang seringkali tidak terkontrol. Menjelang pukul tiga, arak-arakan ogoh-ogoh mulai melintas satu per satu, begitu banyak bentuknya, kalau kata teman saya dulu hal itu menunjukkan betapa orang-orang Bali memiliki kreativitas dan seni yang tinggi.

Saya pun turut berdesakan diantara riuhnya orang-orang yang bersemangat untuk mendapatkan tempat terdepan. Tak ketinggalan beberapa orang yang melihat ogoh-ogoh dari lantai dua rumah atau dari atas pura –yang biasanya letaknya lebih tinggi dari jalan. Dengan kamera di tangan dan suasana yang padat, tak pelak menyulitkan ruang gerak saya pula. Tak jarang saya kemudian terdesak ke belakang, tak jarang pula kena cegat pecalang.


Pukul lima keseluruhan arak-arakan baru selesai melintas, tentu acara belum selesai karena ritual selanjutnya masih panjang. Ogoh-ogoh itu akan kembali diarak menuju lapangan, kemudian akan diadakan pentas seni dan pembakaran ogoh-ogoh sebagai pamungkas tradisi malam sebelum Nyepi.

---

Pagi hari 1 Saka terasa sangat berbeda dari hari-hari sebelumnya. Jalanan sunyi, orang-orang tidak boleh keluar ke jalanan. Saya hanya menghabiskan seharian itu dengan beraktivitas di kompleks Rumah Intaran saja. Terdapat pantangan saat merayakan Nyepi bagi umat Hindu antara lain tidak menyalakan api atau cahaya, tidak bepergian, tidak bekerja, dan tidak bersenang-senang atau menghibur diri. Selain itu pada hari Nyepi, sebagian besar umat Hindu akan berpuasa selama 24 jam.

Waktu terasa begitu lama, selain karena aktivitas yang monoton juga suasana yang sepi. Saya yang tidak merayakannya tentu harus mencari pengalihan lain. Saat masuk kamar saya akan memutar film dan menontonnya, lalu menghabiskan dengan membaca buku. Menjelang senja, lampu matahari mulai redup. Hari mulai gelap. Gelap! Tidak ada lampu sama sekali –kecuali mendesak. Ada pengecualian dalam hal penerangan ini, untuk orang yang sudah tua, orang sakit, dan memiliki bayi.


Konon, malam itu bintang begitu jelas terlihat. Gemerlap gemintang. Saat saya membuka laman media sosial, beberapa orang pun telah mempublikasikan potret-potret langit dari berbagai tempat di Bali. Benar saja, karena tidak ada polusi cahaya yang mengaburkan cahaya dari atas. Namun tidak ada nyali bagi saya untuk keluar kamar padahal menatap langit berbintang adalah kegemaran saya semasa kecil. Esok harinya? Jelas kecewa. 

Jumat, 20 Maret 2015

Melasti Menjelang Nyepi

 

Perayaan Nyepi tahun ini jatuh besok Sabtu (21/03). Kemarin (19/03) saya berkesempatan untuk melihat secara langsung upacara Melasti di Pantai Ponjok Batu, Buleleng, Bali Utara. Sebelum berangkat ke pantai, kami berganti busana, mengenakan kain, kebaya, dan iket terlebih dahulu. Saya yang di Jawa jarang mengenakan kain tentu sangat awam bagaimana caranya. Tidak rapi sama sekali sampai akhirnya Ibu membetulkan cara saya mengenakan kain.

Melasti atau melis merupakan ritual penyucian diri bagi umat Hindu di Bali untuk menyambut hari raya Nyepi. Upacara ini dilangsungkan bersama-sama satu desa di pantai atau di sumber-sumber mata air lain seperti danau. Umat Hindu percaya bahwa dengan melaksanakan melasti maka air kehidupan (tirta amerta) akan menghanyutkan segala hal yang buruk jauh ke laut. Melasti ramai-ramai satu desa hanya dilakukan setahun sekali menjelang Nyepi. Oleh karena itu, ibadah ini terasa begitu istimewa dan membawa kebahagiaan tersendiri bagi penganut Hindu.

Satu per satu umat Hindu berdatangan meski saat itu matahari tepat di atas kepala. Panas begitu menyengat, dan pantai sangat ramai. Suhu udara tidak menyurutkan niat mereka untuk menghadap kepada Tuhan. Wanita-wanita Bali membawa makanan-makanan yang telah ditata, disunggi di atas kepala sebagai maturan (penghaturan) kepada Tuhan. Makanan-makanan itu akan dibariskan di tepi pantai, diatata kembali, dan tidak lupa menyalakan batang-batang dupa. Aroma dupa pun seketika meruap ke udara. Saya berkeliling, mengamati apa yang mereka lakukan, sesekali menjepret. Sesekali kaki menyentuh butiran pasir pantai yang panas. Badan kamera turut memanas, hingga akhirnya saya dan Hafs memutuskan untuk berteduh di bawah pohon, di ujung pantai.


Tak kalah padat, masyarakat banyak yang telah berteduh di bawah pepohonan tersebut. Saya dan Hafs dengan jilbab yang kami kenakan, berniat turut serta duduk di atas batu-batu pantai itu. Sontak kami pun seakan menjadi pusat pandangan mata. Orang-orang menatap. Seorang Bapak bertanya, “Mau ke mana Dik?”. Beberapa saat kemudian, seseorang yang mulanya duduk di batu atas beranjak turun, menghampiri kami. Duduk di sebelah saya dan menanyakan hal yang sama, “Dari mana? Kok bawa-bawa kamera segala? Tinggal di mana?” Dikiranya kami adalah reporter karena beliau kemudian berkata tumben ada yang sampai ke sini padahal biasanya tidak ada apa-apa. Hingga akhirnya beliau mengajak berfoto bersama.


Orang-orang Bali begitu ramah dengan keberadaan saya di sana. Saya senang dapat melihat langsung mereka melakukan Melasti, meski mereka pun memandang saya dengan sorot mata yang tidak biasa. Menjadi minoritas adalah ketakutan pertama saya sebelum akhirnya membulatkan niat untuk berangkat ke Bali. Namun setelah menjalani di sini, saya merasa bahwa di tengah minoritas ini tersembul keramahan yang lain. Bahwa menjadi minoritas berarti kita akan belajar mengerti dan memahami adat dan budaya setempat. Belajar menghargai kebiasaan-kebiasaan yang tidak biasa di lingkungan sebelumnya.


Orang-orang yang hampir semuanya berpakaian warna putih satu per satu duduk rapi menghadap laut dan makanan. Saya pun lekas beranjak, melangkah menuju tengah mereka. Dengan dipandu pemangku, mereka mulai bersembahyang, mengangkat tangan yang ditangkupkan hingga sebatas kepala beberapa kali. Saat itulah suasana terasa hening, khusyu’. Selepas itu para pemangku melangkah ke depan menuju perangkat-perangkat yang turut serta dibawa. Para pemangku akan berkeliling, memercikkan air suci dan memberikan sejumput beras kepada seluruh umat yang datang. Beras itu akan dibagi beberapa untuk ditempelkan di dahi, pelipis kanan dan kiri, bawah leher, serta di belakang daun telinga.



Setelah itu umat Hindu kembali menangkupkan tangan dan menaikkan hingga setinggi kepala. Dengan begitu keseluruhan ritual Melasti telah selesai. Makanan yang tadinya dibawa maturan, diambil kembali dan boleh dimakan. Saat itulah semua umat berdiri dan beranjak pulang. Suasana terasa sangat ramai. Pecalang pun bersiap mengamankan jalanan lagi yang macet.

Selasa, 17 Maret 2015

Animal Planet

Pukul 11.34 WITA. Saya baru saja sejenak ke kamar mandi yang terletak di barat laut paviliun kami selama tinggal di Rumah Intaran. What a surprise! Di dinding kamar mandi tampak seekor tokek yang juga sama-sama “jenggirat”nya begitu saya menyalakan lampu. Tidak sampai menjerit atau bergidik ngeri memang namun cukup membuat hati berkata, “Wow!” Pasalnya tokek ini kemarin siang bercokol di meja kamar, nangkring begitu saja diantara lotion dan tempat lilin. Sebelumnya ia berjalan-jalan di balok-balok atap paviliun lantas sempat turun ke lantai, menghilang sejenak lalu menampakkan diri di atas koper. Pose-pose yang sangat aduhai.

Saya jadi ingat kata-kata di awal program 300 Hari di Rumah Intaran berikut beberapa pertanyaan wawancara via surat elektronik yang memang mencerminkan apa dan bagaimana yang akan dihadapi di sini. Orang-orang yang sampai di Rumah Intaran adalah orang-orang yang telah menyeleksi dirinya sendiri untuk menghadapi apapun yang akan terjadi di depannya, termasuk hidup dengan sahabat-sahabat yang penuh kejutan ini.

Selama 45 hari di Rumah Intaran ini, sudah banyak teman-teman yang mewarnai hari-hari. Belum ada dua jam yang lalu saya berkata kepada Hafs, teman sekamar saya, “Mungkin kita perlu membuat list hewan-hewan apa saja yang telah dan akan kita temui di sini.” Perjumpaan pertama saya adalah dengan anjing-anjing yang tak hanya satu dua. Luki, anjing yang dikerangkeng; Dompu, anjing jantan yang sudah dikebiri; juga Bora dan kelima anak bayinya. Kini anak-anak Bora tinggal menyisakan dua ekor setelah diminta wayah, Mbok Yan, dan teman Taksu. Anjing-anjing kecil tidak seramai dulu, tetapi yang dua ekor tingkahnya kian lincah saja!

Anjing sebenarnya juga bukan hal baru bagi saya. Semasa sekolah dasar, saya pulang berjalan kaki melewati kawasan perkampungan yang didominasi umat Kristen-Katolik dengan anjing-anjing yang berkeliaran. Tetangga sebelah rumah saya pun memelihara anjing. Namun, mengapa saya menjaga darinya adalah karena fiqh (aturan hukum) pada agama yang saya anut di samping memang saya kurang menyukai hewan berambut.

Ayam dan burung dara menjadi peliharaan lain di Rumah Intaran. Dua ayam pejantan dan sepasang burung dara yang kini tinggal satu saja. Nyamuk menjadi sahabat lain yang juga menjadi musuh bersama. Menjelang senja kadangkala mereka bermunculan, menyerbu kolong-kolong meja sehingga kaki-kaki kami kemudian menjadi gatal-gatal tidak karuan. Kicau burung hampir tiap hari menemani pagi hari saat beranjak memulai aktivitas. Sejauh itu masih tampak normal sebelum saya bertemu berbagai hewan unik lainnya.

Cicak.
“Yaah, jackpot lagi!” Seruan ini bisa terjadi kapan saja, tak terduga, tak terkira. Menandai bahwa sesiapa dari saya atau Hafs telah dianugerahi hadiah kotoran cicak yang jatuh di atas sprei. Mungkin beginilah Tuhan membuat kita kreatif. Sementara ini kami menjadi pemburu koran untuk menutupi bagian atas sprei yang sering dijatuhi jackpot. Selain itu, koran ini menjadi alas kami menggelar sajadah untuk melaksanakan ritual shalat wajib lima waktu.

Ngengat.
Pekan lalu kami sangat akrab dengan ngengat di kamar. Ia terbang dan hinggap di berbagai tempat. Sejauh ini tidak menjadi sesuatu yang menghebohkan.

Lintah.
Hewan yang satu ini selalu ditemukan oleh Hafs. Entah sedang pelan-pelan merambat di lantai kamar atau baru sampai di beranda paviliun. Lingkungan sekitar yang lembab memang menjadi hal wajar bertemu dengan makhluk satu ini.

Tawon.
Sarang tawon menggantung di dekat lampu kamar mandi. Beberapa ekor tawon yang tidak sedikit jumlahnya menghuni rumah tersebut. Sementara belakangan ini saya baru menyadari muncul sarang baru di sudut kamar mandi, tepat di atas monoblock. Tawon tidak akan menyerbu apabila tidak diganggu tetapi entah mengapa saya pernah menjadi korbannya.

Belalang sembah.
“Belalang, belalang, bagaimana X tidur?” Spesies satu ini sebenarnya mengingatkan saya pada masa kecil dan bermain bersama bapak. Bapak lah yang mengajari saya memainkan cangcorang atau belalang sembah ini. Dan tak jarang kami akan menemukannya pula di kamar meski kemudian akan menghilang juga diam-diam.

Tentu masih ada sahabat-sahabat alam yang lain yang belum saya lihat atau temui. Yang jelas, ada makhluk misterius yang tingkahnya menjadi kejutan bagi saya dan Hafs. Beberapa hari belakangan saat siang hari kami akan menunaikan shalat dzuhur, tiba-tiba saja makanan berbungkus yang kami tinggalkan di atas meja sudah digerogoti dan tercabik packaging-nya. Dan kami belum dapat memecahkan teka-teki siapa pelakunya. Siapakah dia? Mungkin tikus, tetapi kami sangsi karena kami belum pernah berjumpa dengannya di kamar.

Beruntung tidak ada diantara kami yang sangat ketakutan dengan hal-hal seperti itu. Kami memang harus melaluinya, bersahabat dengan mereka, menghindar atau mengusir baik-baik.




Hampir lupa. Kini kami memiliki peliharaan baru yang kami sebut BSF, singkatan dari Black Soldier Fly. BSF ini merupakan tentara-tentara dengan siklus (metamorfosa) hidup pendek-pendek yang akan menghabiskan sisa-sisa makanan kami lantas melumatnya menjadi cairan yang dapat digunakan sebagai pupuk cair. BSF ini yang akan menyelamatkan sampah-sampah organik kami dan menyulapnya menjadi sesuatu yang nantinya juga bermanfaat bagi kami. Jadi kini yel seusai makan kami adalah, “BSF mau sisa makanan ini nggak ya?”

Kamis, 12 Maret 2015

Blusukan Desa Tejakula bersama Pak Ketut Arthana

Keluar dari rumah peninggalan ibunda Pak Ketut Arthana

Cerita ini datang terlambat. Selepas hujan yang datang tanpa kunjung pergi.

Hari Minggu kemarin (08/03) Rumah Intaran menggelar acara bertajuk “Belajar dari Desa”. Kali ini kami menjelajah Desa Tejakula bersama Bapak Ketut Arthana, arsitek yang juga prinsipal Arte Architect yang berkantor di Bali. Bersama lima belas peserta lain dan tim dari Rumah Intaran, blusukan di kampung halaman Pak Tut ini diawali dengan mengenal rumah peninggalan ibunda Pak Tut, rumah yang dibangun pada tahun 1978 dengan berbagai macam tarik ulur antara Pak Tut dan ibunya. Pertama, Pak Tut menghendaki tanah yang tidak diratakan. Memang saat saya melihat kontur rumah tersebut sangat berbeda-beda elevasi tanahnya. Kedua, tidak boleh ada pohon yang ditebang, kalaupun ada maksimal penebangan hanya boleh lima pohon. Hasilnya kawasan rumah ini masih terlihat rindang. Mengadopsi kebiasaan orang Bali yang lebih menggemari duduk-duduk di tangga daripada di kursi, bangunan-bangunan yang ada pun memiliki beberapa anak tangga. Sementara itu angkul-angkulnya diambil dari rumah tua dengan gaya Singaraja yang mengadopsi langgam Belanda dan atau Portugis.

Pak Tut mendeskripsikan apa dan bagaimana yang terdapat di desanya.
Desa Tejakula merupakan salah satu desa yang tergolong Bale Mula (desa tua, di Bali Selatan akrab disebut Bali Aga). Dan Pura Dalem menjadi catatan historisnya. Pura Dalem diambil dari Jawa, dibawa oleh Mpu Kuturan. Di pura ini saya mengenali kembali tipologi arsitektur Bali dimana tiang-tiang atap digunakan pula sekaligus tiang-tiang konstruksi. Sementara itu, dindingnya hanya sebagai pembatas tanpa adanya beban yang dilimpahkan padanya. Bahkan dekorasinya pun sangat detail, pada tiang-tiang tengah dengan beban nol, terdapat cerukan hingga menyisakan diameter kecil di tengah tiang yang disebut kincut.

Kincut.
Kami lantas menemukan pula sebuah rumah yang kata Pak Tut merepresentasikan kehidupan masyarakat Bali Mula yang digunakan di Tejakula. Ada sebuah rumah dengan pintu hijau, rumah kecil yang berhadapan dengan dapur terbuka, dipisahkan halaman cukup luas di tengahnya. Dapur tersebut dilengkapi dengan bale-bale. Konon, orang yang baru saja menikah akan mendapatkan satu kaveling tanah kecil tersebut dan mereka harus tinggal dahulu di dapur sebelum akhirnya menempati rumah yang sebenarnya.

Desa Tejakula pernah mengalami longsor pada tahun 1969. Pada satu bagian memang ada lereng yang menghijau. Namun ternyata itu akibat tragedi longsor yang membuat para penduduk sadar untuk memelihara hutan. Secara swadaya, masyarakat menanami sendiri hutannya dengan pohon-pohon mahoni, jati, durian, dan lain sebagainya. Apabila terdengar suara orang menebang pohon, penduduk akan dengan sigap mengejar pelakunya.

Bu Menik dan suaminya.
Tak ketinggalan menjumpai Bu Menik, penari Trunajaya 1, yang artinya penari generasi pertama setelah penciptanya. Trunajaya awalnya merupakan tari Gong Kebyar 3 yang setelah dibawa ke hadapan Bapak Soekarno dinilai terlalu panjang sehingga dipotong durasinya. Saat ini di usianya yang tak lagi muda Bu Menik mendedikasikan dirinya untuk mendidik anak-anak muda yang ingin belajar tari tanpa dipungut biaya. Satu tujuannya, agar tari tetap lestari dan ada generasi penerusnya.

Ratu Gede Serabad
Terakhir kali, kami mengunjungi Pura Syahbandar yang merupakan pura yang dahulu dikuasai Cina. Satu hal yang unik, di pura tersebut terdapat satu pelinggih dengan nama Ratu Gede Serabad atau biasa dijuluki pula Ratu Gede Makkah. Makkah adalah tempat yang identik dengan kaum Muslim, dimana kiblat berada di kota tersebut. Pelinggih Ratu Gede Serabad dimaksudkan sebagai penghargaan kepada Muslim. Letaknya yang dekat dengan pelabuhan sebagai tempat singgah para pendatang menimbulkan interaksi social. Betapa masyarakat di zaman dahulu telah menjunjung tinggi toleransi, hidup bersama berdampingan, dan menghormati satu sama lain tanpa ada pertentangan.

Dan hujan kembali menutup perjalanan tujuh kilometer kami hari itu.





Dan untuk makan siang, Pak Tut dan keluarga telah mempersiapkan beberapa sajian khas Desa Tejakula. Saya memilih rujak dan mengguh.

Rujak Ala Bali.
Gula aren dan asam berpadu menjadi satu. Tak lupa disertai taburan irisan mentimun dan kacang goreng.

Mengguh.
Bubur yang mirip dengan bubur manado. Bubur yang dimasak dengan isian sayur-sayuran.

Rujak
Mengguh.

Sabtu, 07 Maret 2015

Diary of Intaran: Mengajar Anak-Anak SD Itu

Foto: Bapak Gede Kresna
Hari ini (07/03) menjadi jadwal saya dan Hafshah untuk mengajar di SD No. 1 Kajanan, Singaraja. Sebagai rangkaian ulang tahun Rumah Intaran yang ketiga, kami merasa perlu untuk membagikan inspirasi kepada anak-anak sekolah dasar. SD No. 1 Kajanan terletak tepat di belakang Masjid Kuna Singaraja yang juga merupakan kawasan kampung Arab. Saya sama sekali tidak menyangka status Sekolah Dasar Negeri di daerah dengan mayoritas beragama Hindu menyuguhkan hal yang sebaliknya. Hanya satu anak saja yang berkeyakinan Budha, selebihnya Muslim.

Pak Edy Baimin, kepala sekolah SD No. 1 Kajanan menyambut kami dengan hangat. Kakeknya berasal dari Jogja, sementara beliau lahir di Banyuwangi dan menetap di Bali semenjak 34 tahun yang lalu. Saat saya dan Hafshah pertama kali menemui Pak Edy untuk meminta ijin Pak Edy banyak bercerita mengenai Jawa dan Bali. Tentu karena ada benang yang mempertemukan kami: asal daerah. Beliau menyambut baik niat kami untuk memberikan materi pengembangan diri mengenai lingkungan hidup.

Sebelum kami memberikan sosialisasi mengenai “Manfaat Pohon Intaran dan Bagaimana Menjaga Lingkungan”, Pak Edy memberikan kata-kata pendahuluan kepada murid-muridnya. Salah satu hal yang paling berkesan bagi saya terletak pada bagian, “… dengarkan apa yang kakak-kakak ini sampaikan. Kalau ada yang bagus, diambil dan dicontoh, terutama jilbabnya. Karena di kelas ini baru satu yang memakai jilbab. Nanti setelah masuk SMP, semua harus memakai jilbab.” Saya merasa bahwa di sekolah ini nuansa keislamannya sangat kuat. Tidak salah ketika saya mengunjungi ruang kepala sekolah, deret-deret piala yang menghiasi etalase kebanyakan diraih dari bidang keagamaan, semisal adzan, tartil, atau hafidz.

Anak-anak SD No. 1 Kajanan sangat antusias dan aktif, bahkan dapat saya bilang terlampau antusias. Bahagia rasanya bisa berbaur dengan anak-anak itu, namun sangat kewalahan saat mereka lantas tidak tenang lagi dan kami kehilangan kendali. Saat kami membagikan daun-daun intaran, mereka belum tahu apa dan bagaimana daun intaran namun tanpa ragu berebut meminta daun-daun intaran. Bahkan turut mencicipinya meski belakangan baru tahu bahwa rasanya pahit. Lalu tiba-tiba kami melihat neem stick telah lenyap, entah siapa yang mengambilnya.

Riuh dan larut dalam tawa. Foto: Ibu Ayu Gayatri.
Antusiasme seperti ini tidak pernah saya alami selama saya bersekolah di Jawa. Jawa, utamanya Jogja dan Solo yang mengajarkan untuk menjunjung tinggi sopan santun kepada orang lain, termasuk kepada orang-orang yang belum dikenal. Nakalnya teman-teman saya waktu itu tidak sebanding dengan anak-anak di sini. Teman-teman sekolah hanya akan lebih berani kepada orang-orang yang sudah dikenalnya. Selebihnya: malu dan sungkan, ewuh pakewuh.

Apapun yang terjadi hari ini, saya merasa sangat beruntung dapat bertemu calon-calon penerus estafet bangsa. Senyum dan semangat mereka menjadi warna baru dalam perjalanan kehidupan saya. Menyampaikan kepada anak-anak ini sedari dini tentang lingkungan semoga dapat menumbuhkan semangat cinta lingkungan sehingga masa depan bumi akan lebih terjaga.

Sampai jumpa di SD Negeri No. 1 Kampung Bugis pekan depan!


***

Mendadak teringat teriakan semangat, “Pemuda Indonesia! Aku untuk Bangsaku!” Apa kabar wahai pemuda?

Jumat, 06 Maret 2015

Diary of Intaran: Menyantap yang Acap Terbuang

Chef Yudi dan kedua asistennya.


Menemui hal yang baru dan tidak terduga selalu menyenangkan. Seperti hari itu (28/02) ketika Rumah Intaran merayakan ulang tahunnya yang ketiga. Kami mengisi hari itu dengan acara memasak sajian kuliner khas desa bersama Chef Yudi dan beberapa tamu.

Ada dua hal baru yang saya temui hari itu mengenai bahan dasar masakan. Batang pisang (gedebok) dan daun cabe jawa (Bl: tabia bun). Saya bertanya-tanya saat asisten chef merajang daun cabe jawa. Berikutnya, ia mengelupas lapisan-lapisan luar batang pisang hingga menyisakan bulatan inti batang yang berwarna putih dengan serat masih muda tidak terlalu padat. Inti batang pisang itu lantas diiris tipis-tipis dan dilepaskan lapisan-lapisannya. Keduanya menjadi bahan dasar dua masakan yang berbeda. Gedebok pisang menjadi bahan baku pembuatan ares, sementara daun-daun cabe jawa menjadi campuran menu lawar serati.

Merajang daun cabe jawa.
Mengiris inti batang pisang (gedebog).

Ares.
Merupakan sajian berkuah kental dari santan berwarna kuning. Mirip sekali dengan opor atau kari sehingga dapat pula disebut Balinese curry. Bahan dasar ares adalah batang pisang yang telah diberi garam dan irisan tipis bawang merah dan diremas-remas lembut sebelum didiamkan dan dikukus. Setelah dikukus, irisan batang pisang akan dicincang kecil-kecil dan dicampurkan dengan kuah serta daging.
 
Ares.

Lawar Serati.
Lawar yang kurang lebih berarti cincangan adalah nama masakan khas dari Pulau Dewata. Semacam urap dengan campuran kelapa yang diparut dalam dua jenis, halus dan kasar. Kelapa yang akan diparut pun dibakar terlebih dahulu hingga kecokelatan sehingga menimbulkan aroma dan rasa yang berbeda. Isiannya pun dapat bermacam-macam, kacang merah, nangka muda, kacang panjang, pakis (paku-pakuan), dan untuk sajian kali itu ditambah daun cabe jawa yang dirajang halus. Serati sendiri berarti bebek, sehingga lawar serati tidak akan lengkap tanpa ditambah cincangan daging bebek.

Lawar.


Basa genep.
Dapat dikatakan bahwa basa genep adalah bumbu rahasia orang Bali, perpaduan bumbu-bumbu termasuk di dalamnya kunyit, kencur, laos, jahe, bawang putih, bawang merah, salam, serai, kemiri, jeruk limau. Sementara basa wangi terdiri dari rempah-rempah seperti merica, pala, jinten, kayu manis, jeruk purut, dan lempuyang (cabai jawa). Gabungan basa genep dan basa wangi menjadi basa gede. Bumbu-bumbu ini biasanya dibuat sekaligus banyak untuk disimpan dan digunakan untuk beberapa masakan karenanya masakan-masakan Bali cenderung memiliki rasa yang mirip, kaya akan rempah-rempah.

Basa genep.

Saya terkesima dengan cara dan komposisi orang Bali memasak. Seorang chef menanggapi keherananku karena ia memasak batang pisang dengan berucap, “Kalau di Jawa, debok bar ditegor mesti diguwang ning luwangan.” Saya serentak mengiyakan. Bagi kami yang tinggal di Jawa, batang pisang memang tidak terlalu dimanfaatkan selain sebagai tanggul sementara untuk mengatur irigasi di sawah atau sebagai tempat untuk menancapkan wayang. Namun orang Bali percaya semua bagian tanaman pisang bermanfaat termasuk batang hingga akar.

Rasa gedebok pisang yang sudah tercampur dengan kuah dan bahan-bahan lain memang tidak kentara. Siapa sangka irisan-irisan kecil itu ternyata gedebok pisang, benar-benar tersamarkan. Tekstur dan rasanya kurang lebih hampir sama dengan jantung pisang meski tetap saja berbeda. Sementara rajangan daun cabe jawa menciptakan sensasi rasa pedas bagi masakan.

Mengenal dan bergaul dengan masyarakat daerah lain menitiskan pengalaman yang berbeda. Tidak tahu bagaimana ceritanya, sesuatu yang acap kali terbuang dapat menjadi santapan yang lezat dan berkelas. Tentu bukan karena dimasak oleh seorang chef ternama karena orang-orang Bali kebanyakan pun menjadikan sajian-sajian aneh ini menjadi menu sehari-hari. Hanya satu hal yang terlewatkan, bahwa menggali kekayaan alam di sekitar selalu tidak terbatas. Selalu ada peluang untuk memanfaatkan hal-hal yang tidak pernah terpikirkan orang lain.


Jadi, mari belajar dan berjalan, mengedarkan pandangan dan menangkap sesuatu.