Kamis, 19 Februari 2015

Diary of Intaran: Sarapan Kukus Dimasak di Atas Tungku

memasak dengan tungku

Matahari tenggelam di langit Bali lebih lambat, pukul tujuh malam langit baru memucat sebelum akhirnya benar-benar gelap. Tak berbeda dengan pagi hari yang mataharinya tiba lebih siang. Aktivitas pagi kami baru dimulai kurang lebih pukul tujuh saat cahaya mulai merekah. Setelah menyelesaikan shalat subuh dan tilawah tak jarang saya akan kembali meringkuk di balik selimut, menunggu sejenak secercah cahaya menyusup dari sela kisi-kisi.

Seperti hari-hari kemarin, hari ini kami memulai hari dengan menyiapkan sarapan untuk kami sendiri. Memilih dan memilah kayu bakar, juga menjumput beberapa lembar danyuh (daun kelapa kering, Jw: blarak) sebagai pemantik, lalu mencoba peruntungan menyalakan tungku dari tanah pol-polan. Merebus air, mengukus pisang, ketela, atau merebus kacang, atau perpaduan dua-tiganya. Tak lupa memetik daun intaran sebagai sisipan di awal suapan.

Menyalakan api dengan tungku juga tidak mudah. Ada beberapa proses yang harus dilalui, tidak seperti hanya memutar pembuka aliran gas dan memencet tombol penyala api. Walaupun di kampung halaman terdapat tungku namun cukup jarang dipakai untuk memasak. Maka, menyentuh kembali tungku tradisional seperti ini memang memunculkan nuansa baru bagi saya.

Menggoreskan korek api pada sisi pemantiknya, menautkannya dengan danyuh, tidak semudah yang dibayangkan. Hingga saya merasa bahwa korek api di sini lebih mudah rapuh dan apinya menjalar cukup cepat. Perlu adaptasi sembari menemukan cara untuk menjawab pertanyaan “bagaimana”. Proses-proses tersebut menuntut kesabaran untuk tidak mudah menyerah. Ketika danyuh mulai menyala pelan-pelan tetap masih harus menambahkan kayu atau tempurung kelapa untuk menghasilkan nyala api yang lebih stabil.

Setelah itu api tak lantas dapat ditinggalkan begitu saja, bisa jadi api kemudian akan mati karena telah mencapai batas luar tungku. Kalau sudah begitu, kayu harus dimasukkan sejengkal demi sejengkal lagi. Belum lagi apabila terpapar asap yang membuat pedas mata.

Maka di sinilah akhirnya saya mulai belajar untuk “belajar”, menghayati tiap laku dan pola pikir masyarakat terdahulu. Menekuri apa yang mereka maksudkan dengan “penemuan” tersebut. Bahwa tidak sekedar karena saat itu teknologi belum mencapai titik yang lebih modern. Namun bahwa masyarakat saat itu dengan kejeniusannya mampu memahami kehendak dan kebaikan alam. Kayu-kayu atau ranting-ranting pohon yang berjatuhan mampu disulap untuk membuat bara demi melanjutkan hidup. Kontemplasi untuk mensyukuri apa yang ada di sekitar kita tanpa menggerus zat yang tak mampu diperbarui dan menghasilkan elemen yang tak dapat diurai.


Dan akhirnya, voila!

singkong kukus dan daun intaran
menu lengkap ala intaran

4 komentar:

  1. daun intarannya itu dimakan langsung mentah gitu kah?
    ngebaca tulisan ini serasa lagi mencium aroma khas kayu bakar dan singkong rebus hangat *trus lapar XD

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, dimakan mentah gitu selembar per hari. sini2, aku baru makan ubi rebus :-p

      Hapus
  2. Wah, fotonya menggugah sekali. Favoritku pisang kukusnya :') duh jadi kangen dadong di rumah yang selalu siap sedia dengan menu serupa saat sarapan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih doi, pasti kangen pisang kukus karena sekarang sudah di amrik. Keren!

      Hapus