Senin, 16 Februari 2015

Diary of Intaran: Heyho Selembar Daun Intaran

keranjang bambu menjadi dinding kantor
“Namun kami juga yakin, hanya mereka yang dengan kekuatan niat yang paling besar lah yang akan sampai di sini dan mengerjakan banyak hal bersama-sama, dan meyakini pula bahwa semesta telah mempersiapkan jalan-jalan terbaik bagi kita semua, di manapun dan kapan pun itu.
(Email pertama dari Rumah Intaran)

Salam hangat dari Bali!

Setelah menempuh perjalanan udara dari Jogja menuju Denpasar serta menembus hutan berkabut tanpa sinyal, akhirnya Minggu malam itu (01/02) sekitar pukul sembilan, saya, Eka, Haps dengan diantar Dude dan Heri sampai di Rumah Intaran. Rumah Intaran memang jauh dari pusat kota besar sekelas Denpasar, empat sampai lima jam, karena letaknya yang berada di bagian utara Pulau Bali, dekat sekali dengan Laut Bali. Tepatnya di Jalan Raya Singaraja-Kintamani, Desa Bengkala, Buleleng dekat dengan kota Singaraja.

Kami disambut oleh Bapak Gede Kresna dan Ibu Ayu Gayatri juga dua piring pisang rebus, teh jahe, dan tak lupa setangkai daun intaran yang terdiri dari beberapa lembar daun mungil. Daun intaran ini kemudian menjadi salah satu teman pagi kami saat sarapan. Rasanya pahit. Meskipun begitu, setiap hari kami diwajibkan memakannya selembar. Ya, selembar saja. Pohon intaran disebut juga pohon Soekarno karena kabarnya Bapak Soekarno pernah berjasa dalam menghijaukan Padang Arafah. Di Jawa sendiri intaran dikenal dengan nama pohon imba atau nimba.

Ada seorang teman bertanya, “Mengapa kami diwajibkan memakannya selembar sehari?” Tentu tidak lain salah satunya adalah karena kandungannya yang bermanfaat bagi tubuh. Di saat banyak bertebaran produk medis yang kian populer, daun intaran yang dapat dipetik di kebun sendiri mampu mendukung sistem imun tubuh secara alami. Menukil dari “Paspor Rumah Intaran” kami, pohon intaran tergolong pohon evergreen yang tidak mengenal musim dengan produksi oksigen yang baik. Kandungan nitrogen pada daunnya menjadikan daun intaran bagus untuk pupuk. Intaran juga merupakan pemecah angin dengan struktur akar menghunjam dalam, batang yang kuat namun lentur, serta daun yang kecil. Tak ketinggalan, biji daun intaran juga dapat menjadi pestisida alami.

Dari sebatang pohon intaran, rasanya yang pahit, menjadi pengingat akan manisnya kekayaan alam lokal. Di saat produk-produk impor marak merajai perniagaan, para pendahulu ternyata telah terlebih dahulu menemukan “teknologi” sederhana dari bumi sendiri. Tidakkah leluhur ini sungguh arif menghargai apa yang tanah mereka hasilkan. Mereka berpikir jangka panjang, mengolah apa yang ada tanpa berusaha mencederai alam dan tubuh sendiri.

Di Rumah Intaran, tumbuh banyak pohon intaran termasuk di samping paviliun kami. Beberapa tunas intaran juga dibudidayakan di Rumah Intaran. Ketika kemarin kami mencoba mencari biji-biji pohon intaran hampir semua biji yang jatuh telah kosong, kulitnya robek dan isinya kemungkinan telah dimakan burung. Memang setiap saat burung-burung kerap beterbangan di sela rimbunnya pepohonan sekitar Rumah Intaran lantas menyanyikan senandung permulaan hari.

rindangnya pohon intaran
lembar-lembar daun yang disantap setiap pagi




---

Malam itu kami bertiga menerima paspor untuk memasuki bumi Rumah Intaran, pada lembar awalnya tertulis:
Paspor ini digunakan untuk memasuki luasnya samudera ilmu pengetahuan yang maha tak terbatas. Menyelami kedalamannya dan memetik saripati yang berguna untuk mengarungi kehidupan. 
Sebagai buku catatan atas begitu banyaknya keindahan yang akan disimpan dalam ingatan-ingatan kita nanti. Sebagai jawaban-jawaban kecil atas begitu banyak persoalan akan mendewasakan diri kita di kemudian hari.
Selamat datang di desa. 
Selamat datang di Rumah Intaran


paspor dan buku catatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar