Jumat, 27 Februari 2015

Diary of Intaran: Belajar Mendengar



Hampir pukul sebelas waktu Indonesia tengah. Sunyi. Malam kian larut, yang terdengar hanya suara-suara binatang nokturnal. Lalu baru saja sebutir kelapa terdengar jatuh dari pohonnya di halaman depan paviliun. Sesekali suara sepeda motor melintas entah di jalan sebelah mana.

Belajar mendengar. Setidaknya frasa itu menjadi esensi kegiatan inisiasi yang sudah dua kali dilakukan selama saya berada di Rumah Intaran. Kami bertiga, saya, Hafs, dan Eka, sebagai peserta program “300 Hari di Rumah Intaran” diajak ke suatu tempat untuk berdiam selama kurang lebih delapan puluh menit. Membisu selama itu dan membiarkan pendengaran, penglihatan, serta rasa bekerja.

Pada inisiasi tahap pertama (11/02), kami pergi ke persawahan di kawasan Desa Sudaji. Area tersebut menghijau berkontur dengan petak-petak terisi rumpun-rumpun padi. Setelah melepas alas kaki, saya memilih turun ke bawah, ingin melihat pegunungan sekaligus mengintip sungai dan jembatan, serta memandangi sawah di lembah sana. Tepat di jalan setapak menurun saya berhenti dan duduk begitu saja di atas rerumputan liar. Ya, di tempat itu saya akan berdiam, belajar mendengar.

Burung-burung bercericit, sesekali terdengar suara anjing menggonggong. Daun-daun berkerisik tertiup angin. Di bawah sana air mengalir menimbulkan riak-riak kecil. Sementara itu para petani terlihat bekerja di ladangnya. Waktu terasa begitu lambat berjalan. Bagaimana tidak, berdiam saja selama satu jam lebih tentu saja membosankan. Mendadak rintik-rintik hujan mulai menembus rerimbunan pohon yang menaungi saya. Lantas terdengar suara Eka memanggil, menandai selesainya “pertapaan”.

Selanjutnya kami berdiri di tengah-tengah lumpur sawah sembari menjawab beberapa pertanyaan sekaligus membacakannya di hadapan teman-teman dan Bapak Gede Kresna. Pertanyaan-pertanyaan tesebut seputar apa yang kami dengar, kami rasakan, dan kami perhatikan dalam diam tadi.

Bapak Gede Kresna menuturkan bahwa ada kalanya kita sebagai arsitek hanya menuruti kehendak investor, mendesain tanpa mengetahui atau bahkan merasakan kondisi tapaknya. Seringkali nekat merancang tanpa pernah datang ke lokasi. Jika ternyata lokasi tersebut adalah sawah, kita tidak merasakan prihatin sedikit pun, justru bangga telah mendesain bangunan keren. Lebih lanjut, kata Pak Gede Kresna, “Arsitek itu tidak semata-mata tentang bangunan tetapi mengenai pra desain yaitu lingkungan.”




Inisiasi tahap kedua berlangsung sepuluh hari kemudian (22/02), kami bertandang ke tepi laut. Buleleng merupakan kawasan yang berbatasan langsung dengan pantai, Rumah Intaran pun letaknya tidak begitu jauh dari pantai. Kami menyusuri jalanan yang menikung-nikung di bibir pantai, hingga sampai di Desa Pacung. Kali ini saya memilih tempat di antara bebatuan karang dimana saya bisa bermain dengan buih-buih ombak juga bertengger di atas batuan.

Lima belas menit pertama saya habiskan dengan berkecipak di sela buih-buih putih ombak. Lembutnya ombak saat menerpa kaki tidak pernah sama. Sekali, ombak datang begitu keras membawa kerikil agak besar yang terantuk di kaki. Kejutan-kejutan dalam inkonsistensi. Lima belas menit berikutnya saya memutuskan naik ke atas batuan yang tak begitu tinggi. Sesekali cipratan ombak yang mengenai batuan masih terasa. Namun saya memilih menatap laut lepas, memandang jauh ke depan yang seolah tidak berbatas. Melihat kontinuitas gelombang yang datang tanpa henti.

Hingga akhirnya saya lelah melihat dan mendengar. Saya pun mencoba memejamkan mata, dan mencari-cari apa yang saya dengar. Ajaib! Entah mengapa saya justru mendengar deru lalu lintas di saat hujan, persis seperti saya sedang menunggu bis di halte. Begitu saya membuka mata, kedamaian sangat terasa. Saya bersyukur Tuhan telah menganugerahkan penglihatan dan pendengaran yang saling terintegrasi sehingga apa yang saya lihat dan dengar menjadi kesatuan yang apik.

Sampai selesainya waktu berdiam, saya menghabiskan waktu dengan bolak-balik nyemplung dan bertengger. Sampai akhirnya saya melihat kepiting mati, koloni kerang-kerangan, juga nelayan yang tengah mempersiapkan jala. Sempat saya memperhatikan seorang nelayan yang kemudian balik nmemperhatikan saya sembari berbincang dengan rekannya. Sesekali tersenyum dengan kawannya namun mata tak kunjung berpaling. Mungkin tidak biasa melihat orang berdiam saja seorang diri.

Pertanyaan-pertanyaan inisiasi laut tidak terlalu berbeda dengan inisiasi sawah. Hanya saja bobotnya lebih serius menggali persoalan-persoalan yang kemungkinan akan terjadi pada tempat inisiasi tersebut. Akan menjadi seperti apa pantai tersebut kelak? Bagaimana seharusnya yang harus dilakukan terhadap pantai ini? Seberapa besar tingkat kepemilikan warga terhadap pantai? Apa yang dikatakan laut ketika ia menerima sampah-sampah daratan setiap hari?

Inisiasi adalah perenungan bagi saya. Yang seharusnya tidak semata-mata dilakukan hanya saat ada jadwal inisiasi, namun sebisa mungkin dilakukan setiap saat, di manapun berada. Karena mendengar dan mengerti lokasi memerlukan latihan. Dan setelah itu, semoga lebih bijak melangkah.


Masih ada inisiasi ketiga.

Kamis, 19 Februari 2015

Diary of Intaran: Sarapan Kukus Dimasak di Atas Tungku

memasak dengan tungku

Matahari tenggelam di langit Bali lebih lambat, pukul tujuh malam langit baru memucat sebelum akhirnya benar-benar gelap. Tak berbeda dengan pagi hari yang mataharinya tiba lebih siang. Aktivitas pagi kami baru dimulai kurang lebih pukul tujuh saat cahaya mulai merekah. Setelah menyelesaikan shalat subuh dan tilawah tak jarang saya akan kembali meringkuk di balik selimut, menunggu sejenak secercah cahaya menyusup dari sela kisi-kisi.

Seperti hari-hari kemarin, hari ini kami memulai hari dengan menyiapkan sarapan untuk kami sendiri. Memilih dan memilah kayu bakar, juga menjumput beberapa lembar danyuh (daun kelapa kering, Jw: blarak) sebagai pemantik, lalu mencoba peruntungan menyalakan tungku dari tanah pol-polan. Merebus air, mengukus pisang, ketela, atau merebus kacang, atau perpaduan dua-tiganya. Tak lupa memetik daun intaran sebagai sisipan di awal suapan.

Menyalakan api dengan tungku juga tidak mudah. Ada beberapa proses yang harus dilalui, tidak seperti hanya memutar pembuka aliran gas dan memencet tombol penyala api. Walaupun di kampung halaman terdapat tungku namun cukup jarang dipakai untuk memasak. Maka, menyentuh kembali tungku tradisional seperti ini memang memunculkan nuansa baru bagi saya.

Menggoreskan korek api pada sisi pemantiknya, menautkannya dengan danyuh, tidak semudah yang dibayangkan. Hingga saya merasa bahwa korek api di sini lebih mudah rapuh dan apinya menjalar cukup cepat. Perlu adaptasi sembari menemukan cara untuk menjawab pertanyaan “bagaimana”. Proses-proses tersebut menuntut kesabaran untuk tidak mudah menyerah. Ketika danyuh mulai menyala pelan-pelan tetap masih harus menambahkan kayu atau tempurung kelapa untuk menghasilkan nyala api yang lebih stabil.

Setelah itu api tak lantas dapat ditinggalkan begitu saja, bisa jadi api kemudian akan mati karena telah mencapai batas luar tungku. Kalau sudah begitu, kayu harus dimasukkan sejengkal demi sejengkal lagi. Belum lagi apabila terpapar asap yang membuat pedas mata.

Maka di sinilah akhirnya saya mulai belajar untuk “belajar”, menghayati tiap laku dan pola pikir masyarakat terdahulu. Menekuri apa yang mereka maksudkan dengan “penemuan” tersebut. Bahwa tidak sekedar karena saat itu teknologi belum mencapai titik yang lebih modern. Namun bahwa masyarakat saat itu dengan kejeniusannya mampu memahami kehendak dan kebaikan alam. Kayu-kayu atau ranting-ranting pohon yang berjatuhan mampu disulap untuk membuat bara demi melanjutkan hidup. Kontemplasi untuk mensyukuri apa yang ada di sekitar kita tanpa menggerus zat yang tak mampu diperbarui dan menghasilkan elemen yang tak dapat diurai.


Dan akhirnya, voila!

singkong kukus dan daun intaran
menu lengkap ala intaran

Senin, 16 Februari 2015

Diary of Intaran: Heyho Selembar Daun Intaran

keranjang bambu menjadi dinding kantor
“Namun kami juga yakin, hanya mereka yang dengan kekuatan niat yang paling besar lah yang akan sampai di sini dan mengerjakan banyak hal bersama-sama, dan meyakini pula bahwa semesta telah mempersiapkan jalan-jalan terbaik bagi kita semua, di manapun dan kapan pun itu.
(Email pertama dari Rumah Intaran)

Salam hangat dari Bali!

Setelah menempuh perjalanan udara dari Jogja menuju Denpasar serta menembus hutan berkabut tanpa sinyal, akhirnya Minggu malam itu (01/02) sekitar pukul sembilan, saya, Eka, Haps dengan diantar Dude dan Heri sampai di Rumah Intaran. Rumah Intaran memang jauh dari pusat kota besar sekelas Denpasar, empat sampai lima jam, karena letaknya yang berada di bagian utara Pulau Bali, dekat sekali dengan Laut Bali. Tepatnya di Jalan Raya Singaraja-Kintamani, Desa Bengkala, Buleleng dekat dengan kota Singaraja.

Kami disambut oleh Bapak Gede Kresna dan Ibu Ayu Gayatri juga dua piring pisang rebus, teh jahe, dan tak lupa setangkai daun intaran yang terdiri dari beberapa lembar daun mungil. Daun intaran ini kemudian menjadi salah satu teman pagi kami saat sarapan. Rasanya pahit. Meskipun begitu, setiap hari kami diwajibkan memakannya selembar. Ya, selembar saja. Pohon intaran disebut juga pohon Soekarno karena kabarnya Bapak Soekarno pernah berjasa dalam menghijaukan Padang Arafah. Di Jawa sendiri intaran dikenal dengan nama pohon imba atau nimba.

Ada seorang teman bertanya, “Mengapa kami diwajibkan memakannya selembar sehari?” Tentu tidak lain salah satunya adalah karena kandungannya yang bermanfaat bagi tubuh. Di saat banyak bertebaran produk medis yang kian populer, daun intaran yang dapat dipetik di kebun sendiri mampu mendukung sistem imun tubuh secara alami. Menukil dari “Paspor Rumah Intaran” kami, pohon intaran tergolong pohon evergreen yang tidak mengenal musim dengan produksi oksigen yang baik. Kandungan nitrogen pada daunnya menjadikan daun intaran bagus untuk pupuk. Intaran juga merupakan pemecah angin dengan struktur akar menghunjam dalam, batang yang kuat namun lentur, serta daun yang kecil. Tak ketinggalan, biji daun intaran juga dapat menjadi pestisida alami.

Dari sebatang pohon intaran, rasanya yang pahit, menjadi pengingat akan manisnya kekayaan alam lokal. Di saat produk-produk impor marak merajai perniagaan, para pendahulu ternyata telah terlebih dahulu menemukan “teknologi” sederhana dari bumi sendiri. Tidakkah leluhur ini sungguh arif menghargai apa yang tanah mereka hasilkan. Mereka berpikir jangka panjang, mengolah apa yang ada tanpa berusaha mencederai alam dan tubuh sendiri.

Di Rumah Intaran, tumbuh banyak pohon intaran termasuk di samping paviliun kami. Beberapa tunas intaran juga dibudidayakan di Rumah Intaran. Ketika kemarin kami mencoba mencari biji-biji pohon intaran hampir semua biji yang jatuh telah kosong, kulitnya robek dan isinya kemungkinan telah dimakan burung. Memang setiap saat burung-burung kerap beterbangan di sela rimbunnya pepohonan sekitar Rumah Intaran lantas menyanyikan senandung permulaan hari.

rindangnya pohon intaran
lembar-lembar daun yang disantap setiap pagi




---

Malam itu kami bertiga menerima paspor untuk memasuki bumi Rumah Intaran, pada lembar awalnya tertulis:
Paspor ini digunakan untuk memasuki luasnya samudera ilmu pengetahuan yang maha tak terbatas. Menyelami kedalamannya dan memetik saripati yang berguna untuk mengarungi kehidupan. 
Sebagai buku catatan atas begitu banyaknya keindahan yang akan disimpan dalam ingatan-ingatan kita nanti. Sebagai jawaban-jawaban kecil atas begitu banyak persoalan akan mendewasakan diri kita di kemudian hari.
Selamat datang di desa. 
Selamat datang di Rumah Intaran


paspor dan buku catatan

Minggu, 15 Februari 2015

Diary of Intaran: Berlayar Kembali


"
berlayar di atasnya; berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma; berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya; sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja--perahumu biar aku yang menjaganya.(Akulah Si Telaga, Sapardi Djoko Damono)

“Teman, besok Minggu saya berangkat ke Bali.”

Kurang lebih seperti itu intisari kalimat yang saya kirimkan ke beberapa teman di Yogyakarta kala itu. Dan itu terasa mendadak bagi beberapa kawan dekat. Terlebih saya memang tidak menceritakan kepada mereka ketika saya memasukkan aplikasi untuk program “300 Hari di Rumah Intaran”. Hanya dua teman kantor saja yang saya beritahukan secara detail hal ini termasuk hari pengumuman agar mereka dapat bersiap jika saya benar-benar memutuskan hengkang dari kantor.

Namun memang cukup bimbang untuk mendaftar karena saat itu saya masih berstatus sebagai staf arsitek di salah satu perusahaan pengembang di Yogyakarta. Teman-teman yang begitu menyenangkan tentu menjadi pertimbangan penting untuk tetap bertahan di sana. Tapi kapan lagi kesempatan ini muncul kalau bukan sekarang. Dan pada detik-detik terakhir barulah saya mengirimkan persyaratan-persyaratan yang diperlukan.

Sampai akhirnya pada suatu senja saya membuka email dan menemukan surat pemberitahuan bahwa lolos seleksi program tersebut. Positif. Saya akan meninggalkan Yogyakarta dan teman-teman di kantor. Rentang waktu itu cukup singkat untuk menyelesaikan dan mempersiapkan semuanya. Senin (27/01) pagi saya menghadap manajer divisi untuk mengatakan secara langsung keputusan itu, meski saya tahu diam-diam sebenarnya beliau sudah mengetahui rencana saya dari kawan sedivisi.

Secara posisi di divisi, saya sangat berat melepasmu. Pekerjaan kantor sedang banyak, apalagi proyek berikutnya akan segera launching. Tapi secara pribadi, kalau memang itu sudah keputusanmu dan kamu mantap, kamu yakin akan mendapatkan hal yang kamu inginkan di sana, saya tidak bisa apa-apa. Kamu masih muda, carilah sebanyak-banyaknya pengalaman.

Singkatnya seperti itu kalimat pelepasan saya dari panjang lebar nasihat beliau yang akhirnya cukup membuat air mata menderas. Dan pembicaraan tersebut hanyalah langkah pertama saya berpamitan, saya masih harus menghadap manajer operasional, direktur, dan yang terakhir komisaris utama. Semua kecemasan pun purna, permohonan saya untuk keluar setelah satu setengah tahun bergabung pun terkabul. Meski saya tetap harus masuk kantor hingga hari Sabtu sebelum esoknya berangkat ke bandara.  Juga meski selepas resign saya masih harus adaptasi dengan beberapa klien yang merasa “kehilangan”. Untuk ini terpaksa saya harus mengucapkan, “Maaf tidak dapat membersamai pembangunan rumah hingga proses serah terima.”

Berikutnya, saya harus mendapatkan “paspor” dari dokter gigi, menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang tersisa, transisi sebuah kepanitiaan, hingga mencari tiket pesawat. Tak lupa farewell party bersama teman-teman kuliah di tempat-tempat yang mungkin akan saya rindukan kelak, salah satunya: Angkringan KR. Selain itu, saya berusaha mencari kontak teman-teman yang akan membersamai saya dalam tiga ratus hari ke depan. Bersepakat saling bertemu di bandara lalu berangkat bersama menuju Rumah Intaran  akhirnya menjadi pamungkas pamitan saya kepada Ibu yang terus menerus bertanya bagaimana nanti selepas dari bandara.

Minggu, 1 Februari 2015

Pagi itu selepas subuh menjadi hari yang “sibuk”. Ibu memasak lebih pagi, masakan spesial yang jarang beliau sajikan. Kemudian Bapak mendadak menasihatiku saat saya mengunci koper. Cukup singkat dan dalam. Jarang sekali Bapak menasihatiku seperti pagi itu padahal ini adalah untuk keempat kalinya saya berpindah kota. Aku tak ingin menatap mata beliau, tak ingin melihat setetes air mata di sudut kelopak matanya seperti yang telah lalu saat melepasku berangkat.

Pesawat pukul setengah sembilan akan menerbangkanku dari Bandara Adisucipto Yogyakarta menuju Bandara Ngurah Rai Denpasar. Banyak hal yang akan saya tinggalkan, namun saya yakin akan lebih banyak hal yang akan saya dapatkan. Pesawat mulai mengambil ancang-ancang untuk terbang, ketinggian pun pelan-pelan bertambah, hingga akhirnya melaju di atas awan. Sampai jumpa kembali Yogyakarta. 



Tidak terasa hari ini tepat dua minggu setelah saya tiba di Bengkala. Saatnya menelepon rumah?