Jumat, 07 November 2014

[2] Surabaya: Berangkat

  
“Petualangan adalah pergi tanpa titik tujuan, membiarkan dirimu tersesat, mencari, dan memilih; dan kamu tak tahu kapan harus pulang.” Bubin Lantang

Beberapa hari sebelum berangkat ke Surabaya, ibu menanyakan dengan siapa aku akan berangkat. Sendiri, kataku. Dan semuanya berlalu begitu saja. Ibu memang tidak pernah melarang anak-anaknya “berjalan”. Maka begitulah anak-anak bapak dan ibu tumbuh. Aku lebih sering berkesempatan menjelajah ruang-ruang kota. Sementara adikku lebih sering menjelajah gunung atau bukit. Aku tidak perlu lagi berkata bahwa nanti “temannya” banyak di perjalanan, seperti yang pernah kukatakan kepada ibu di saat aku nekat naik motor dari Solo ke Jogja untuk pertama kali. Dan setelahnya, ibu menaruh kepercayaan penuh. Asal bisa menjaga diri, dan bertanggungjawab atas langkah yang diambil.

Dan tepat beberapa menit sebelum aku beranjak ke Stasiun Lempuyangan, barulah bapak bertanya seperti yang ditanyakan ibu tempo hari. Masih kujawab dengan jawaban serupa: sendiri. Tidak ada masalah. Berdasarkan waktu yang tertera di tiket, kereta akan berangkat pada pukul 19:23. Segera selepas matahari ditelan horizon, aku berangkat ke stasiun. Stasiun begitu ramai malam itu.

Aku melangkah masuk, dan langsung mendapat pemberitahuan bahwa kereta Gaya Baru Malam yang akan membawaku ke timur akan terlambat datang. Hatiku bersorak. Baru kali ini aku begitu gembira mengetahui kereta terlambat datang. Pasalnya, keretaku akan tiba di Stasiun Gubeng pada 00:44, terlambat satu jam berarti aku akan lebih pagi sampai Surabaya, yang juga mengurangi waktu tungguku di stasiun.

Nah, beberapa teman pun sempat menginterogasiku bagaimana aku berangkat, dengan kereta apa, sampai sana jam berapa. Setelah tahu bahwa rencanaku hanyalah menunggu pagi di stasiun, mereka mengernyitkan dahi seolah berkata, “Serius kamu?” atau “Kok kamu berani sih?” Aku juga tidak tahu mengapa aku seperti santai saja dengan persoalan itu, padahal paling tidak aku harus menunggu selama empat setengah jam sendirian. Tidak akan ada apa-apa, kataku. Cuma perjalanan-perjalanan yang telah lalu kiranya yang membuatku bisa seyakin itu.

Hampir pukul setengah sembilan saat kereta datang. Memesan tiket secara online memungkinkanku untuk memilih sendiri tempat dudukku, seperti biasa di dekat jendela. Dan cahaya lampu kereta tidak terlalu nyaman untuk memejamkan mata. Maka sedikit-sedikit saja aku terlelap. Perjalanan malam juga tidak memungkinkan untuk melihat vista di luar. Aku menikmati perjalanan dengan menggenggam ponsel yang sebentar-sebentar bergetar. Buku bacaan yang kubawa pun tidak sempat tersentuh minatku.

Tahu-tahu kereta sudah sampai di stasiun tujuan, Stasiun Gubeng. Lekas kuambil ransel yang kutaruh di rak bagasi. Dengan langkah pasti aku keluar dan mengikuti arah orang-orang keluar. Banyak juga penumpang yang membawa ransel hingga carrier. Begitu sampai luar kereta, aku terkejut. ”Ini stasiun?” pertanyaan yang bergulir bolak-balik di dalam benak. Stasiun itu sunyi sekali, seperti tidak ada tanda kehidupan. Sesunyi-sunyinya stasiun yang melayani perjalanan jarak jauh, seharusnya masih ada denyut yang terasa.

Setelah berjalan beberapa langkah, aku terduduk di ujung peron. Sementara di ujung lainnya yang dekat dengan pintu keluar, beberapa penumpang backpacker juga mulai duduk. Bedanya mereka bergerombol, aku sendiri. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Sejurus kemudian, seorang satpam berjalan ke arahku seraya berkata, “Mbak, nunggunya di luar ya?” Sebenarnya aku sudah mencium gelagat tak sedap itu sejak satpam menghampiri satu per satu penumpang yang mendadak duduk di peron.

Di tengah keterkejutan dan keherananku berikutnya, aku hanya berucap, “Oh ya, toilet di mana Pak?”

“Di ujung sana, dekat pintu keluar.”

“Oke, terima kasih,” dengan langkah sok cool aku pun berjalan. Beruntunglah toilet itu cukup penuh, bisa untuk sekedar mengulur waktu dengan memilih antrian paling belakang.

Hingga tibalah giliranku. Dan ya Tuhan, pintu toiletnya tidak berfungsi penguncinya! What a  mess rasanya... Kuseret saja ember berisi air dan kujadikan pengganjal pintu. Selesai.

02.00am 
Berikutnya aku pun keluar stasiun dan duduk di emperan depan toko tepat di samping gerbang kedatangan, frontal dengan pintu-pintu kaca yang kemudian kuketahui sebagai Unit Gawat Darurat RS DKT. Langsung saja aku ngedumel dengan teman di Jogja. Mereka pun terkejut dengan kondisi yang terjadi, seperti halnya diriku tadi. Bukan pertama ini saja aku menunggu pagi di stasiun, tetapi stasiun-stasiun yang lain membolehkan penumpang berada di dalam, menunggu di peron.

Berangsur, satu per satu para penumpang kereta api beranjak pulang. Berbeda denganku, aku justru kian dikerubuti nyamuk dengan jumlah tidak sedikit. Kurapatkan shawl meski aku telah mengenakan jaket. Tetap saja proboscis nyamuk terasa menusuk. Di titik itu aku teringat tiga hal, pertama adalah orang-orang yang seringkali kujumpai tidur di emperan toko bahkan trotoar. Beginikah yang mereka rasakan, dingin dan tidak nyaman. Aku merasakan syukur yang teramat sangat di titik itu. Masih dapat tinggal di rumah yang begitu nyaman dengan kehangatan keluarga. Perlahan kekesalanku pun sirna.

Kedua, bisa kukatakan ini akan menjadi tambahan koleksi kekonyolan perjalananku. Mengingati pernah melompat dari kereta yang dijalankan pelan-pelan karena kereta tidak bisa berhenti di Stasiun Cibatu; nekat membelah pagi buta Solo timur-Jogja selatan demi menemui sunrise di tebing Parangendog; turun lereng barat Lawu selepas senja bersama kabut tebal untuk menanti sunset yang sayangnya tidak tampak; atau cerita epik pada hari pertama di Jakarta. Aku ingin tersenyum mengenangnya, detik ini pun kelak pasti akan menjadi kenangan indah.

Ketiga, ketika aku melintas benua, bisa jadi harus transit beberapa jam di negeri orang sebelum pesawat selanjutnya tiba. Belum lagi dengan kasus pesawat delayed. Dan aku tidak tahu akan seperti apa kelak kejadiannya. Ya, bayangkan dulu saja seperti ini.

Fa sempat memintaku untuk membangunkannya pada pukul empat pagi. Namun tidak tahan bermonolog dalam hati, aku pun memutuskan untuk mengambil ponsel dan membuat panggilan seperempat jam sebelumnya. Tidak ada jawaban. Sesaat kemudian selayang pesan masuk, sebelum Fa terdiam lagi.


“Fa, kamu tidak tidur lagi kan?”[]

5 komentar:

  1. ow,,,dan aku pun terdiam kembali:-P

    BalasHapus
  2. wah, lama ngga komen ke sini :))

    baru tau di gubeng ga bisa nunggu di dalem, mungkin mirip sama stasiun di malang yg kalo malem udah ditutup. aku bener-bener kangen traveling :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. :D

      tapi itu di surabaya, ndaah. kota besar lhoh..:-/ ayolah, sekali-sekali perlu nekat "berjalan" hehe. tapi bukan asal nekat ding..

      Hapus
  3. Kalo ga salah setelah kebijakan2 aneh Jonan dalam bidang kereta api -sewaktu doi masih jadi dirut kai-, penumpang yang udah turun dr kereta emang ga boleh nunggu di dalam peron. Tempo hari temen saya jg gt, tiba tengah malem di lempuyangan, sama satpamnya disuruh nunggu di luar.

    BalasHapus