Minggu, 16 Februari 2014

Welcome Dust, Good Bye Bronchitis

Bunga yang berdebu.
But if you want to leave  take good care,
Hope you have a lot of nice things to wear,
But then a lot of nice things turn bad out there.

It is a wild world,
It’s hard to get by just upon a smile.
It is a wild world,
I always remember you like a child, girl.

You know i’ve seen a lot of what the world can do.
(Mr Big, Wild World)

Potongan lirik lagu itu mendengung dari kamar adik saya menjelang keberangkatannya ke Gunung Merbabu pada 12/02 malam. Lagu yang kini menjadi lagu favorit kami berdua setelah dipopulerkan lagi oleh Devirzha –melalui ajang pencarian bakat. Entah mengapa saya merasa akan terjadi sesuatu. Lirik lagu itu mengisyaratkan sebuah perpisahan, memuat pesan layaknya ia berkata pada saya yang masih seperti anak kecil. Semoga saja tidak akan terjadi apa-apa pada pendakian perdananya.

Namun pada 13/02 senja hari di saat saya melakukan fitting blazer untuk seragam kantor, saya merasakan gerah yang luar biasa. Tidak seperti biasanya. Saya pikir itu pengaruh kain blazer yang saya kenakan. Namun semakin larut, kegerahan itu tak jua surut. Saya yang jarang meneteskan keringat, kali itu berpeluh, dibarengi suara-suara dentuman di kejauhan. Ini bukan halusinasi semata bukan? Channel televisi pun segera saya alihkan ke stasiun yang menyajikan berita. Tak dinyana status awas Gunung Kelud satu jam yang lalu, telah berakhir. Kelud telah memuntahkan isi perutnya.

Beberapa jam kemudian, saat subuh tiba kegemparan terjadi. Hujan abu mengguyur. Matahari tak tampak sama sekali. Pagi yang seharusnya telah bercahaya, terlihat redup. Jam-jam sibuk persiapan berangkat ke sekolah dan kantor menjadi waktu yang cukup heboh. Tidak mungkin akan keluar dan beraktivitas layaknya seharusnya. Hujan abu terlampau deras, terlebih bagi saya yang masih dalam tahap penyembuhan pasca terjangkit bronchitis.

Tidak dapat melihat pepohonan di batas petak sawah, langit kelabu.

Dalam sekejap, abu telah menebal. Tidak saja melapisi jalan, halaman, dan beranda. Debu vulkanik mulai menyusup melalui lubang-lubang angin meski telah rapat tertutup tirai. Menyelimuti benda-benda yang mampu dijangkaunya. Mendarat di mana saja tanpa memilih permukaan. Dalam sekejap semuanya menjadi tampak monokrom, tak perlu filter effect lagi untuk menghasilkan kualitas foto yang dramatis.

Sepanjang hari debu mengepul, kota menjadi mati. Denyut nadi kehidupan mendadak lumpuh. Hujan air yang dinanti tak segera turun, untuk meluruhkan debu yang beterbangan dan membilas udara yang “berkabut”. Praktis, penutup hidung harus senantiasa terpasang sekaligus kacamata apabila ingin keluar. Perlindungan serba ekstra.

Alhamdulillah siang hari adik saya kembali dari perjalanannya, meski tidak sampai puncak, ada hal lain yang patut disyukuri. Kami kembali bersama dalam situasi serba hitam putih ini. Dan teramat sangat yang ingin saya syukuri adalah debu vulkanik tidak terlampau mengganggu pernafasan saya seperti yang saya khawatirkan saat hujan abu datang di pagi itu. Good bye, bronchitis! Terima kasih saya haturkan kepada: dr. Toni & dr. Sih  Rahayu di klinik dekat rumah; dr. Iken Agustina saat dirujuk ke Puskesmas Sleman untuk tes dahak; terakhir dr. Rossi Winata & dr. Yuni saat tahap rekam thorax di RS PKU Yogyakarta.

Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar