Minggu, 26 Januari 2014

5 Monthlyversary


kita menyusun batu bata, namun sesungguhnya kita adalah batu bata itu.yang ketika sendiri bukanlah apa-apa.yang mampu berdiri tegak saat bersama,bahu membahu.
Pada suatu pagi, lima bulan yang lalu, hari pertamaku memulai cerita baru. Lembaran baru perihal pekerjaan, juga arsitektur.  Awal coretan yang sambung-menyambung hingga detik ini. Hari yang baru untuk mengawali bekerja di kota kelahiran setelah sebelumnya bertualang dari satu kota ke kota lain. Pencarianku berakhir untuk kembali dimulai di dan dari kota ini.

Aku tiba di halaman depan kantor ketika angka 08:05 tertera di perangkat digitalku. Masih sepi. Kuraih handle pintu kaca dan mencoba menariknya. Ups, masih terkunci. Memang, saat akhir sesi wawancara aku diwanti-wanti untuk datang pukul setengah sembilan saja. Beginilah, harus menunggu dahulu. Hingga akhirnya seseorang membukakan pintu beberapa menit kemudian, dan satu persatu penduduk kantor mulai menampakkan diri. Ternyata mereka datang melalui pintu belakang dan menyimpan kendaraan di basement. Itulah mengapa halaman depan sepi kendaraan kecuali kendaraan tamu saja.

Kemarin komisaris utama berpesan agar hari ini aku menemui direktur utama yang ternyata berhalangan hadir. Lalu, dipertemukanlah aku dengan teman-teman sedivisi. “Ini Mas Afdul, nah nanti Mas Afdul yang akan menjelaskan..”

Seseorang berbalik dari meja komputernya, “Ini Mas Samsul..” seseorang duduk di meja itu, “..ini Pak Totok..” seseorang datang dari belakang, “..ini Pak Roy, ini ...” hingga “..ini Mas Dody Namratus..” tukas Mas Dul.
Dahiku rasanya berkerut, “Kenapa namratus?” tanyaku bingung.
“Coba baca Namratus dari belakang. Itu nama belakangnya.” Hah, ada-ada saja.

“Jadi ini artisek..eh artistek yang baru?” sahut Mas Dod.
Begitulah, hari pertamaku dimulai dengan perkenalan di ruang depan hingga basement. Menemui sosok-sosok baru dengan karakternya masing-masing. Hari pertama yang membuatku mencicipi berbagai rasa yang ditawarkan teman-teman baru, untuk menuju hari-hari selanjutnya dengan segenap warna itu.

Dan kini...

Segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang sempurna, memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun setiap hal itu tentu harus disyukuri. Aku belajar berbagai hal di tempat itu. Tidak hanya tentang profesionalitas, tidak hanya upaya materialitas, tetapi juga suatu hal yang lebih esensial dalam hidup ini: bekal menuju fase hidup selanjutnya. Aku tak mengira perahuku akan bersandar di ruang-ruang yang ditunjang sisi-sisi religius: kajian dan tilawah pekanan. “Ibadah dulu, baru kerja, “ sepotong kata yang masih kuingat dalam rangkaian pesan sang komisaris beberapa waktu lalu.

Terima kasih..
Untuk untaian semangat pantang menyerah,
semangat belajar tanpa henti,
semangat perjuangan.
Untuk tawa dan canda.
Untuk kritik yang membangun.
Untuk semuanya..

Satu hal, aku juga belajar untuk hidup sebagai minoritas diantara kaum adam. Rapat kerja hanya perempuan seorang, ke lapangan hanya perempuan seorang. Satu divisi hanya perempuan seorang. Belajar berpikir dengan logika praktis.

:)
Thanks a bunch.
I am nothing without all of you.


*)pada saat tulisan ini ditulis, isu pembukaan kantor cabang tengah menerpa. kemungkinan akan terjadi mutasi. meski konon kantor cabang hanya akan berjarak sekitar lima ratus meter. :(

Minggu, 19 Januari 2014

“Divisi Perusak Lingkungan?”

Saya memutuskan berhenti sejenak dari bacaan bulan ini, Relativitas yang ditulis oleh arsitek Adi Punomo, saat mencapai lembar ke 199. Sampai batas itu tiba-tiba saja saya terhenyak dan amat ingin menulis.

Bab terakhir yang saya baca baru saja berjudul: Melihat Kembali Potensi Kota, senyawa bangunan dan lansekap sebagai peluang sumbangan ruang hijau kota. Dalam tulisan itu Pak Mamo menjelaskan bahwa kota-kota besar di dunia saat ini tengah melakukan pencarian terhadap keseimbangan ekosistem, melalui pengembangan area-area hijau. Tetapi tidak melulu masyarakat harus menunggu kebijakan kota, mengapa tidak dimulai saja pada lahan-lahan tunggal?

Memulai menerapkan area hijau pada lahan tunggal atau yang kemudian disebut Pak Mamo sebagai gagasan sel tunggal tidaklah mudah pada praktiknya. Saya baru saja dan sedang mengalaminya. Lahan-lahan yang semula hijau dimaksmalkan building coverage-nya. Saya sepaham dengan pernyataan Pak Mamo di tulisan beliau sebelumnya. Bahwa masyarakat kita seringkali terjebak pada kotak berjudul ‘trend’ dan ‘gengsi’. Sebenarnya ruang A dan ruang B tidak terlalu dibutuhkan namun tetap dibangun demi mendapatkan wujud massa yang luas dan megah. Bangunan-bangunan dibangun dan dikomersialkan atas nama investasi. Sampailah pada titik dilematis sebagai arsitek.
bayangkan, setiap rumah menyumbangkan atapnya untuk ruang hijau.
rasanya kita tidak perlu khawatir lagi kurangnya paru-paru kota,
atau tempat bermain anak-anak kita.
bayangkan, setiap lahan menyumbang penampung air hujan.
rasanya kita tidak perlu khawatir lagi akan buruknya drainase kota,
atau membuang air bersih hanya untuk cuci mobil dan
menyiram tanaman.
bayangkan setiap lahan atau bangunan atau lingkungan mampu mengelola
sampahnya sendiri.
rasanya kita tidak akan melahirkan tempat seperti “Bantargebang” lagi.
bayangkan, setiap bangunan tinggi memanfaatkan ketinggiannya dengan
kincir pembangkit listrik.
rasanya kita tidak terlalu khawatir dengan krisis listrik yang katanya
akan datang.
(Relativitas, 197-198. Adi Purnomo)
Refleksi-refleksi seperti ini entah hingga kapan akan berakhir, begitu juga dengan diskusi-diskusi yang tetap hangat setiap saya bertemu kawan seprofesi. Toh pembangunan akan senantiasa berjalan, berlanjut, juga berkembang. Edukasi masyarakat dengan menepiskan kepentingan materi bagi pelaku industri properti, sepertinya di sana kuncinya. Apalagi dengan bidang yang tengah saya geluti saat ini, proses itu terpampang nyata di depan mata. Bagaimana luasnya tanah bervegetasi hijau pelan-pelan menjadi gundul cokelat,  dan akhirnya berwarna abu-abu. “Divisi Perusak Lingkungan” begitulah akhirnya nama divisi kami menjadi bahan candaan dengan kawan sedivisi.

Gagasan sel tunggal. Koefisien Dasar Bangunan seminimal mungkin. Penggunaan material seminimal mungkin dan seramah mungkin terhadap lingkungan. Gagasan yang di titik ini menginspirasi saya saat kelak mampu membangun rumah untuk diri sendiri. Saya tidak ingin memiliki properti yang pernah dikomersialkan. Saya ingin memiliki rumah kecil dengan menggunakan material fabrikasi seminimal mungkin, dengan hijau pepohonan dan biru pantulan air. Kicau burung berselang dengan gemericik air. Lalu tiba-tiba ingat mimpi semester awal kuliah: rumah di atas kolam ikan. Aih..


..to build a home, not a house..