Selasa, 02 Desember 2014

[1] Pandaan: Taman Candra Wilwatikta


Barisan susunan bebatuan yang disemen rapi ini menyambut kehadiranku siang itu. Sesosok gedung yang terletak di belakangnya serupa bapak yang menjaga anak-anaknya agar tak hilang atau cedera. Amphitheater itu begitu lapang. Di depannya, panggung dengan gerbang khas Bali, serupa candi bentar membentang. Panggung bermaterialkan batu-batu candi yang tak kalah luas. Lurus di depan amphitheater menjulang Gunung Penanggungan.


Nama "Candra Wilwatikta" sendiri bermakna "sinar Majapahit". Tidak heran mengingat keberadaan candi bentar itu pun masih memiliki kaitan dengan budaya Majapahit yang juga tersebar hingga tanah Bali. Namun sayang, Taman Candra Wilwatikta sepi pengunjung selain beberapa seniman yang akan berpartisipasi dalam festival seni di malam hari. Melihat lokasinya yang sepi pengunjung, aku pun sangsi apakah taman budaya ini sering digunakan. Lantas aku mencoba membayangkan bagaimana sesaknya saat menonton pertunjukan seni di Taman Budaya Yogyakarta atau Plasa Ngasem di Yogyakarta, dan berharap kotaku pun akan memiliki taman budaya serupa ini dengan latar Gunung Merapi.[]





Minggu, 30 November 2014

[7] Surabaya:Taman Bungkul, Taman Pelangi Lalu Menuju Pandaan


suatu pertemuan itu bukanlah suatu kebetulan,
pertemuan adalah takdir Tuhan untuk manusia



Hari menjelang sore saat aku dan Fa memutuskan untuk beranjak ke Taman Bungkul. Taman ini akhir-akhir ini mulai tenar setelah walikota Surabaya merevitalisasinya. Terletak tepat di sisi Jalan Taman Bungkul, kawasan tertata ini difasilitasi dengan pathway yang nyaman, juga amphitheatre. Tanaman yang tumbuh pun sangat terjaga, serta bersih dengan beberapa petugas keamanan yang bersiaga.

Saat aku sampai di Taman Bungkul, suasana memang sudah terbilang ramai. Harap maklum, aku datang pada momen Saturday night yang bersekutu dengan hari libur nasional. Pada hari itu juga tengah dihelat Festival Lagu Islam –aku lupa nama acaranya, banyak ibu-ibu dan anak-anak berqasidah dengan rebana di tangan. Bahkan saat aku dan Fa makan pecel semanggi –makanan yang direkomendasikan Mbak Lia dan Mas Dika, teman sekantor Fa, ibu-ibu dengan gamis oranye heboh berlatih. Dengan agak rikuh, kami menikmati pertunjukan “spesial” grup nomor 21 itu.


Sejak aku berjumpa dengan Fa di Jembatan Merah, berbekal rasa penasaran, Fa memang sudah meniatkan diri mencari pecel semanggi. Di Taman Bungkul lah akhirnya kami bertemu penjaja pecel semanggi. Pecel semanggi ini disajikan dalam pincuk daun pisang, sejumput rebusan daun semanggi disiram saus kacang dimakan bersama kerupuk puli. Kerupuk puli ini di Jogja sering disebut dengan legender namun ukurannya agak lebih besar.

Setelah itu kami mengitari lagi kawasan Taman Bungkul. Aku melihat penjual lumpia, sementara Fa berniat membeli kerupuk puli lagi sebagai cemilan. Memang dimana-mana terlihat orang menyantap kerupuk puli ini yang dicocol sambal petis. Lumpia Surabaya ternyata berbeda dengan lumpia di Jogja atau pun Semarang. Lumpia Surabaya dimakan dengan daun bawang tanpa dipotong terlebih dahulu. Batang-batang daun bawang ditaruh begitu saja di atas lumpia untuk digigit sedikit demi sedikit. Aku berdecak dalam hati, so unique!

Sore itu, Ecci mengabarkan kalau dia sedang menghadiri acara besutan Goodreads Surabaya di perpustakaan yang tak jauh dari Taman Bungkul. Aku berencana akan bertemu beberapa teman yang tinggal di Surabaya. Ecci adalah teman kantorku semasa di IAAW Jakarta, dia masuk magang setengah bulan setelah aku resign. Namun begitu sudah beberapa bulan kami kenal di dunia maya. Sore itu akan menjadi pertemuan pertama kami.

Dan memang tak lama kemudian Ecci datang bersama Atiek, sahabat sepuluh tahunnya. Kami pun bernostalgia mengenang masa-masa di Jakarta, tentunya dalam generasi yang berbeda. Suka duka di sana, mengapa resign, mengapa tidak lagi kembali ke sana, bagaimana aktivitas sekarang, dan sebagainya. Kami duduk di amphitheatre hingga adzan maghrib berkumandang. Lalu Ecci mengajak aku dan Fa shalat di perpustakaan yang lantas kami iyakan.

Aku dan Fa berpisah dengan Ecci dan Atiek usai shalat maghrib. Kami kembali ke Taman Bungkul untuk bertemu dengan teman Surabaya lainnya. Sembari menunggu, aku dan Fa sedikit memutari Taman Bungkul lagi. Fa memperlihatkan kepadaku beberapa signage di titik-titik tertentu kawasan itu. Signage yang bukan lagi verbal namun mewujud visual berpendar. Contohnya, untuk memperingatkan, “Dilarang membawa senjata tajam,” ditransformasikan menjadi gambar senjata tajam yang diberi tanda silang.

Selepas itu, kami terduduk saja di tepian jalan raya. Fa membuka “buku cinta” gank kami, buku yang ditulisi oleh masing-masing secara bergiliran. Karena Fa terpisah kota dengan anggota gank lainnya, saat itu adalah kali pertama dia menulisinya. Dan aku? Aku mengamati lalu lalang kendaraan sambil sesekali mereguk air mineral. Udara Surabaya cukup panas, itulah sebabnya aku banyak menghabiskan air minum. Aku yang jarang mengonsumsi es, setibanya di Surabaya pun tidak segan lagi menenggaknya.

“Lagi nungguin siapa, mbak?” tiba-tiba suara seseorang muncul diantara telinga aku dan Fa.

“Mbak Lia!” Sebuah kejutan, karena sore tadi ia mengatakan tidak bisa bersua dengan kami. Dan tahu-tahu hadir begitu saja. Wow! Sementara itu, Mas Dika yang terlebih dulu mengkonfirmasi sedang dalam perjalanan masih belum nampak. Beberapa saat kemudian lah, ia baru muncul di tengah suasana Bungkul yang kian ramai. Tak lama kemudian, kami berempat meluncur ke Taman Pelangi.


Taman Pelangi lebih sepi daripada Taman Bungkul. Pengelolaannya pun belum optimal meski pathway sudah terbentuk. In-out kawasannya masih kabur dengan vegetasi yang nampak “berkeliaran”. Meski begitu taman ini lebih iconic dibandingkan Taman Bungkul. Terdapat point of interest berupa pilar-pilar yang mekar seperti kipas di atas kolam. Pilar-pilar tersebut disorot dengan lampu warna-warni (seharusnya, beberapa lampu padam). Belum nampak pula tempat duduk sehingga kami memutuskan duduk di bibir kolam dan sesekali mengamati pasangan-pasangan manusia.


Hampir tengah malam saat kami beranjak ke Terminal Purabaya, lebih dikenal dengan Terminal Bungurasih. Di pintu masuk kawasan bis antar kota, aku dan Fa berpisah dengan Mbak Lia dan Mas Dika. Aku membuntuti Fa menuju jalur Surabaya-Malang, pukul setengah dua belas malam saat itu. Lima belas menit kemudian, kami sudah terkantuk-kantuk menunggu kedatangan bis. Beberapa calon penumpang sudah khawatir tidak ada bis lantas mencari opsi lain. Kami masih bertahan. Sementara Fa menutup mata, aku bertahan terjaga. Hingga lepas tengah malam dan Fa terbangun, bis yang dimaksud belum juga nampak.

Aku memeluk ransel dan terlelap sampai akhirnya Fa mengguncang tubuhku, berlari. “Kita naik Patas saja!” Maka pukul setengah satu kami mulai turut berdesakan di dalam bis jurusan Malang, menuju pemberhentian kami selanjutnya: Taman Dayu![]

Sabtu, 22 November 2014

[6] Surabaya: Tugu Pahlawan


Belum afdhol kalau ke Surabaya dan tidak mengunjungi Tugu Pahlawan, ikon kota Surabaya, yang juga tugu peringatan peristiwa 10 November. Menurut keterangan pemandu wisata dalam Surabaya Heritage Track, Tugu Pahlawan dibangun hampir bersamaan dengan pembangunan Monumen Nasional di Jakarta. Konon apabila Monumen Nasional adalah simbol lingga-yoni, Tugu Pahlawan ini menyimbolkan lingga. Lingga dan yoni dalam perjalanan sejarah arsitektur bangsa Indonesia bukanlah hal yang asing. Hampir di setiap candi terdapat simbol lingga-yoni, dari yang diukir samar-samar hingga direliefkan secara terang-terangan.


Berjalan kaki dari Jembatan Merah hingga Tugu Pahlawan memakan waktu yang sedikit lama karena jaraknya yang memang sedikit lebih jauh. Namun berjalan kaki tidaklah menjadi masalah, aku menemukan banyak hal selama melangkahkan kaki. Tidak hanya panas dan lelah, jauh dari itu. Aku lebih dapat menikmati ruang kota dengan berbagai detail di dalamnya. Aku menjumpai gerombolan orang jalanan yang tampaknya memiliki “tempat tinggal sementara” di dekat rumah yang ternyata kantor dengan plat kayu bertuliskan: 10 Pojok. Di bawahnya tertempel lempeng berwarna emas dengan tulisan: Kantor Notaris. Arsitektur Bangunan Kolonial sebagai penunjang kawasan kota lama. Siapa sangka rumah kecil yang sama sekali tidak tampak seperti kantor ini ternyata warisan cagar budaya. Aku tidak yakin menemukan hal tersebut apabila memilih tidak berjalan.


 Detail lain yang kudapatkan adalah bangunan tua dengan dekorasi serupa kastil berwarna biru, kuning, dan biru. Tentu bukan pemandangan arsitektur yang lazim di masa kini langgam seperti itu. Namun aku merasa bahagia dapat melihat dan mengambil gambar tentang “kastil” itu. Dan banyak hal serupa yang membuat acara berjalan kakiku tidak membosankan.


Memasuki kawasan Tugu Pahlawan, kami disambut replika reruntuhan bangunan dengan patung proklamator Indonesia, Ir Soekarno dan Mohammad Hatta. Di belakangnya terpancang tiang-tiang dengan goresan tulisan merah tentang semboyan-semboyan perjuangan bangsa Indonesia, seperti rawe-rawe rantas, malang-malang poetoeng; merdeka ataoe mati!; hingga semboyan berbahasa Inggris: allied forces go away dan once and forever the indonesian republic!




Terdapat dua tempat yang dapat dikunjungi di kawasan Tugu Pahlawan, yaitu Tugu Pahlawan itu sendiri dan museum yang terletak di bawah area tugu. Sepintas museum dengan cungkup di atasnya itu seperti Musée du Louvre, kata Fa. Lalu aku terpantik dan membayangkan bahwa Tugu Pahlawan ini serupa kawasan Trafalgar Square. Semoga tidak terlalu berlebihan.


Area museum dilingkari oleh kolam yang tidak terlalu besar tetapi cukup dalam. Tampak anak-anak kecil duduk di tepi kolam sembari memancing. Hari saat aku berkunjung bertepatan dengan hari libur nasional sehingga museum ditutup. Bukan hanya kami saja yang kecewa melainkan juga sepasang turis yang berasal dari Singapura. Tampak benar raut wajah dan mimik bicara kecewa.


Selain itu di depan tugu tengah dilangsungkan acara peringatan tahun baru Islam. Tenda besar dipasang hampir menutupi separuh badan tugu. Mulanya agak susah mencari sudut yang tepat untuk mengabadikan Tugu Pahlawan tanpa direpoti oleh tenda itu. Akhirnya pelan-pelan aku pun memutari tugu dan mengambil gambar dari belakang. Voila!

[5] Surabaya: Jalan Gula


dengan berjalan, kita akan mengerti bagaimana rupa warna dunia itu



Ada satu kawasan yang sempat muncul dalam risetku untuk perjalanan ke Surabaya. Kawasan itu bernama Jalan Gula, serupa jalan dengan dinding-dinding kuno di kiri kanannya. Tempat yang tenar karena sering digunakan sebagai lokasi pengambilan foto pre-wedding. Sekilas tekstur rupa tempat itu tak jauh berbeda dengan kawasan Taman Sari di Yogyakarta. Tak ada salahnya aku mengunjunginya karena lokasinya pun tak jauh dari House of Sampoerna. Meski hanya sekedar melihat bagaimana rupa tempat itu.

Maka begitulah kami berjalan. Aku dan Fa sempat melihat gerbang megah berhias naga emas, atap melengkung di ujung khas cina, dan dominasi warna merah, bertuliskan Kya-Kya yang sepertinya pintu menuju kawasan pecinan. Namun gerbang itu harus diabaikan terlebih dahulu, sudah ada tujuan yang harus dicapai. Kami berjalan tidak terlalu jauh dari Kya-Kya, hingga di kejauhan nampak sebuah gang dengan anak-anak muda menenteng kamera dan sebagiannya berpose. Lebih jauh melangkah, di tengah gang terdapat pasangan yang sedang mengambil foto bersama fotografer profesional.


Sebenarnya Jalan Gula ini hanyalah sepotong gang sempit nan pendek dengan dinding-dinding tua yang sangat tebal strukturnya dan berpintu jendela polos tanpa finishing. Beberapa bagian plesteran dindingnya sudah terkelupas sehingga menampakkan tatanan batu bata di dalamnya yang sudah keropos sana sini. Dinding yang masih berplester pun sudah lusuh dan berlumut. Bisa dikatakan pada hal rustic tersebut kawasan ini menjadi daya tarik.

Saat memasuki Jalan Gula, ada satu bagian dinding bertuliskan "For The Fairest". Entah siapa yang menuliskannya dan mengapa dituliskan kalimat tersebut. Yang pasti torehan tulisan hitam tersebut mampu turut membangkitkan romantika masa lalu ruang itu.



Apabila berjalan lebih jauh ke dalam, suasana kian sepi. Pintu-pintu yang berrepetisi pada muka ruko-ruko tua dengan bentuk yang sama pun tertutup rapat. Sepertinya orang-orang di kawasan ini membutuhkan privasi lebih. Ada hal yang menarik, rolling door pada ruko-ruko itu berbentuk sama dan bertahan dengan bentuk yang sama namun berbeda-beda warna. Warna-warna yang dipilih untuk pintu-pintu itu juga bukan warna mencolok namun cenderung jenis warna pastel teduh.


Tidak banyak memang yang dapat dieksplorasi dari tempat ini. Namun bukankah ruang tidak selalu berbicara mengenai besar kecilnya. Seringkali ruang justru akan bercerita tentang rasa dan pengalamam menjelajah. Bangunan di kiri kanan Jalan Gula ini tinggi menjulang, angkuh dan tidak proporsional dengan lebar jalan yang membelahnya --yang menjadi selebar gang. Tetapi lumut-lumut yang menyelimutinya adalah seni alami yang membawa rasa damai selain aura bangunan tua. Lalu aku melihat cahaya matahari menyisip di sela-sela dedaunan yang tumbuh di atap. Cahaya ketenangan.[]



Sabtu, 15 November 2014

[4] Surabaya: House of Sampoerna Melewati Kalisosok


Ketika meniatkan diri menginjakkan kaki di kota lain, teramat sayang jika melewatkan waktu berlalu begitu saja. Begitu juga saat aku sampai di Jembatan Merah dan Fa masih di dalam perjalanan. Aku memutuskan untuk mengitari taman di depan Jembatan Merah Plaza. Taman Jayengrono namanya. Taman itu cukup sejuk di tengah udara sepenggalah matahari Surabaya yang mulai memanas. Pada beberapa titik terdapat air mancur yang memuntahkan air yang sebentar-sebentar memercik.



Where is the red bridge?” Pertanyaan itu sebenarnya masih menggaung semenjak aku diturunkan dari angkot tadi. Tidak lain karena sedari tadi aku sama sekali tidak melihat jembatan berwarna merah. Setelah aku menembus bagian depan Jayengrono, barulah terlihat sebuah jembatan dengan cat merah. Konon, di jembatan inilah Brigjen Mallaby tewas. Pertempuran berdarah inilah asal usul penamaan Jembatan Merah. Dalam versi yang lain, jembatan ini bernama seperti itu karena memang sudah dicat warna merah sejak pertama kali dibuat.


Setelah puas menengok Jembatan Merah, aku pun kembali ke Jayengrono. Tidak lama kemudian, Fa datang dari ujung kanan taman. Surprise! Akhirnya kami bertemu. Aku membayangkan semoga suatu saat, kami akan datang dari Inggris dan Jerman, lalu memutuskan bertemu di Perancis. Aamiin.

Segera kami melanjutkan berjalan, mengejar tur pertama Surabaya Heritage Track yang diinisiasi House of Sampoerna. Dalam langkah-langkah kami menuju House of Sampoerna, kami melewati bangunan tua yang kompleksnya terkesan luas dengan menara-menara pandang di ujung-ujungnya seperti tipikal penjara pada umumnya. Itulah Penjara Kalisosok. Kalisosok sempat masuk bucket list-ku, tak sengaja sempat juga melintasinya, merasakan ruang-ruang masa lalunya meski hanya dari jalan-jalan di sekitarnya.


Sesampai di House of Sampoerna masih belum banyak orang berlalu-lalang. Syukurlah, baru ada tiga nama dalam daftar peserta tur pagi dengan tiga tempat perhentian, Balai Pemuda, Balaikota Surabaya, dan De Javasche Bank. Namun dikarenakan hari itu adalah hari tahun baru Islam, Balaikota Surabaya tidak dapat dikunjungi.


Ternyata Surabaya cukup banyak memiliki sociteit, beberapa kali pemandu tur menjelaskan bahwa gedung ini dan itu dulunya adalah sociteit. Sociteit adalah tempat untuk berpesta sembari berdansa para noni dan meneer di jaman pendudukan Belanda. Diantaranya De Simpangsche Sociteit yang kini menjadi Balai Pemuda dan Gedung Internatio yang berwarna merah putih. Surabaya memang kaya bangunan kolonial, berulang kali mendengar pemandu menyebut beberapa tempat dengan penamaannya di masa lalu yang serasa membawaku ke kehidupan pada masa itu.


Selain program tur, terdapat juga Museum House of Sampoerna. Di dalamnya terdapat berbagai macam benda kuno, baik yang berhubungan dengan produksi rokok maupun tidak. Melalui lantai atas, kami dapat melihat ruang proses bagaimana rokok diproduksi. Sayangnya, saat itu hari libur sehingga para pegawai tidak bekerja.

Hari menjelang siang saat kami memutuskan untuk meninggalkan House of Sampoerna. Mau ke mana kita? Makan! Hingga akhirnya dalam perjalanan kembali ke Jembatan Merah kami menemukan Gereja Katolik Kelahiran Santa Perawan Maria di daerah Kepanjen, dekat Kantor Pos Besar Surabaya. Gereja dengan arsitektur neo-gothic ini mengingatkanku pada Gereja Katedral Jakarta yang terletak di seberang Masjid Istiqlal.


Di depan gereja itulah kami melahap lontong balap, makanan khas Surabaya yang kucicipi pertama kali, yang kalau dipikir-pikir mirip juga dengan ketoprak langganan di belakang kampus dulu. Ups, tetap tandas dan licin piringnya.[]

Minggu, 09 November 2014

[3] Surabaya: Mulai Berjalan



“Perjalanan adalah proses menjadi kreatif dengan menemukan jalan terbaik pada kondisi terbatas.” Setidaknya itu yang dapat kuambil dari buku 30 Paspor di Kelas Sang Profesor.


Menjelang pukul empat pagi, tersisa aku; seorang lelaki muda dengan tas, koper, dan ransel; serta seorang tukang ojek. Kami duduk terpisah-pisah. Tidak ada percakapan apapun kecuali sejenak tadi bapak ojek sempat menawariku jasanya. Orang-orang pun mulai berdatangan meski stasiun tampak masih sepi dan gerbang parkir masih ditutup.

Lelaki muda itu, berdiri dan meminta bantuanku sebentar untuk menjaga separuh bawaannya. Sementara ia akan membawa separuhnya “ke sana”, entah ke mana yang ia maksud. Aku pun mengiyakan saja. Berikutnya ia kembali seraya mengatakan bahwa ia tadi menuju ke peron keberangkatan. Aku pun turut beringsut menuju arah yang sama. Di sana aku dapat tersenyum lebih lega, kembali mendapatkan kursi peron, dan sedikit keramaian.

Sejam kemudian, sambil melahap sepotong roti keju dan menyeruput sebotol kecil susu strawberry, aku menghubungi Ecci. Ecci adalah teman sekantorku saat di Jakarta, namun kami belum pernah bertemu. Aku lebih mengenalnya melalui media sosial belum lama ini. Saat aku memutuskan resign dari Imelda Akmal Architectural Writer Studio setahun lalu, Ecci masuk hampir sebulan kemudian. Tlisipan, kata orang Jawa.

“Cci, aku udah hampir mati gaya nih. Dekat Gubeng sini ada tempat yang bisa buat jalan-jalan pagi nggak?”

Aku baru akan bertemu Fa sekitar pukul tujuh atau delapan di Jembatan Merah Plaza. Sebelum itu sudah seharusnya aku berjalan dulu sendirian, demi waktu yang tidak terbuang percuma. Ecci merekomendasikan Monumen Kapal Selam dan taman kota di belakang monumen (aku lupa namanya). Sebelum aku berangkat, Ecci juga sempat mengundangku datang ke acaranya teman-teman Goodreads Surabaya di Perpustakaan Bank Indonesia dan acaranya Ibu DK Wardhani, dosen arsitektur ITB yang sekarang menjadi dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Brawijaya, di Royal Plaza Surabaya. Namun aku belum bisa menjanjikan datang.

 

Selamat pagi, Surabaya!
Tepat pukul enam, aku bergerak. Aku keluar dari stasiun dan menghirup udara pagi Surabaya. Keren! Udara kota yang berbeda. Jalanan masih lengang. Aku tak yakin akan melakukannya di kotaku sendiri dan seorang diri. Hotel Sahid menyapaku pertama kali. Lengkung-lengkung di baris teratas bukaan terasa mengembalikan pada sejarah bangsa ini, kolonialisme. Berikutnya tampak bangunan tinggi menjulang, seperti apartemen dengan langgam lebih modern. Sungai lebar dengan semburat kekuningan memantul di permukaannya meski tidak terlalu bersih. Sedih. Pada satu sisi sungai terdapat jalan dengan pagar bercat oranye yang mengarah ke bangunan maha besar nan modern, Convention & Exhibition. Sementara di sisi lain, terdapat sebuah dermaga kecil berwarna merah dengan satu perahu kecil berwarna sama. Am I in Venice?




Dan yang kucari akhirnya tampak di depan mata. Monumen Kapal Selam! Sebenarnya monumen ini baru dibuka pukul delapan, tetapi mengunjungi dan menengok kapal raksasa dari luar pagar sudah membuatku puas. Kapal itu berwarna hijau hitam bertuliskan Pasopati di ujung atasnya. Terdapat beberapa tangga yang mungkin menghubungkan dengan pintu masuk. Selain aku, beberapa orang yang sepertinya juga berasal dari Surabaya berfoto-foto dengan latar si kapal.


Tak lupa aku mengirimkan beberapa foto ke grup obrolan sahabat-sepuluh-tahun disertai caption, “Seperti anak hilang ya?”

Yuli menimpali, “Bukannya sudah biasa?” Kutelan bulat-bulat saja tawa yang hampir pecah.



Aku hanya sejenak mengitari depan Monumen Kapal Selam karena penasaran dengan “jalan oranye”. Jalan itu tampak baru, atau memang baru saja dirapikan? Dan bersih, ramah pejalan kaki. Sesekali aku berpapasan atau dilewati orang-orang yang jogging dan bersepeda. Pandanganku segera beralih pada tiang-tiang yang digantungi pot-pot berisi tanaman yang masih kecil. City beautification. Demi memperoleh suhu udara yang lebih sejuk dan memperbesar area hijau, usaha itu patut diapresiasi.

Sekitar setengah perjalanan jika aku akan ke Convention & Exhibition, aku berbalik arah. Tinggal setengah jam dari waktu yang aku dan Fa sepakati bertemu, dan aku belum memastikan dengan apa aku akan ke Jembatan Merah Plaza. Aku kembali ke stasiun, mencari orang yang dapat menunjukkan angkot mana yang harus kutumpangi. Sebelumnya aku juga sudah bertanya kepada Ecci, dia memberitahuku untuk naik angkot yang bertuliskan N. Tapi sedari tadi, aku tak satu pun menjumpai tulisan N pada angkot.

Berbicara mengenai transportasi, Surabaya ini unik. Aku sempat mencari tahu melalui internet, yang kutemukan istilah-istilah yang membuat dahi berkerut: diantaranya Lyn dan Bison. Seperti apa bentuknya, aku tak tahu. Bagaimana sistemnya, apalagi. Aku pun tak tahu mengapa orang Surabaya tidak menggeneralisasikan saja dengan sebutan angkot. Saat aku bertanya kepada bapak penjual koran, aku pun harus menanyakan lebih detail seperti apa bentuk dan rupa si N itu. Hingga akhirnya aku harus kembali lagi ke arah Hotel Sahid demi menemukan angkot N, sebut sajalah angkot. Saat aku menemukan tulisan N pada kendaraan publik itu, ternyata bentuknya juga seperti angkot di kota-kota lain. Lhah...

Sebagai manusia asing di kota itu, aku memlih tempat duduk di belakang sopir. Ini adalah trik agar aku lebih leluasa bertanya kepada sopir dimana dan kapan aku harus turun. Seperempat jam kemudian aku menjadi penumpang terakhir, sampai bapak sopir bertanya, “Mbak e JMP?”

“Iya, Pak,” sahutku.

Mandhap mriki,” aku tercengang. Bahasanya sama? Dan hanya sekali itu aku mengerti bahasa daerah ketika berada di Surabaya. Sebelum dan setelahnya, hanya melongo jika diajak bercakap atau ditanya orang setempat. []