Minggu, 01 Desember 2013

Visitasi Dokter

Akhirnya setelah dua pekan tak kunjung membaik, saya pasrah dengan keputusan bertandang ke dokter. Meski saya masih tetap dapat beraktivitas seperti biasa, namun orang-orang di sekeliling saya mulai khawatir. Tiap pagi dan petang, saya memiliki ritual tersendiri, yaitu mengeluarkan dahak dari tenggorokan --memuntahkan isi tenggorokan yang apabila kurang hati-hati, makanan dari kerongkongan pun ikut keluar. Ya, mana tahan keluarga lihat pemandangan seperti itu. :D

Berdasarkan diagnosa tadi, tenggorokan saya sudah memerah, badan menghangat cenderung panas, dan tekanan darah turun. "Banyak minum air putih, banyak makan buah dan sayur." Nasihat dokter yang tak pernah berubah sejak zaman baheula. Selanjutnya beliau memberikan tiga macam tablet untuk diminum tiga kali sehari. Lama sekali tidak seperti ini!

Kapan terakhir kali saya mengunjungi dokter?

Saya sama sekali tak ingat. Sudah lama sekali rasanya saya tidak mendatangi dokter. Terakhir kali mungkin saat masih kuliah. Semenjak keluarga kami mengenal herb medicine, intensitas ketergantungan terhadap dokter mulai berkurang. Selain itu kami juga memercayai bahwa tubuh kita memiliki sistem imun sendiri, juga mengenai sugesti untuk sembuh.

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat berbincang dengan kawan tentang kesehatan di Indonesia. Pembicaraan itu dimulai saat saya menceritakan kakak tingkat yang kini tinggal di Stockholm. Kini ia tengah mengandung di salah satu negara Eropa Utara itu. Melalui blog-nya, saya kerap menyimak perkembangan kesehatannya dan janin, juga sistem kesehatan di Stockholm sana. Takjub!

Kawan saya mengiyakan bahwa di Indonesia, kesehatan itu "terlalu bagus". Masyarakat kita dimanjakan dengan kesehatan. Sedikit-sedikit ke dokter, dan dokter begitu mudahnya memberikan antibiotik. Sementara di luar sana, dokter hanya akan memberikan resep apabila kesehatan sudah dinyatakan tidak dapat disembuhkan oleh sistem imun tubuh sendiri, lanjut kawan saya.

Pada kasus kehamilan kakak tingkat saya itu, saya pun mendapat cerita bahwa di sana, kondisi hamil tidak dimanjakan dengan teknologi USG. USG hanya dilakukan apabila benar-benar diperlukan karena akan berpengaruh terhadap kondisi bayi. Bayi akan merasa sangat terganggu. Benar saja, ia hanya disarankan melakukan USG sebanyak sekali dalam kondisi normal. Lain halnya dengan di Indonesia, dimana USG seperti telah menjadi gaya hidup bagi wanita yang tengah berbadan dua. Dan masih ada beberapa kasus semacam itu yang membuat saya berdecak. Apakah terdapat kesalahan edukasi di masyarakat kita?