Selasa, 26 November 2013

Decision


...

Mungkin saja,
untuk sepiring hal yang akan menjadi bahan pertentangan.
Mungkin saja,
untuk segelas kata bernama kepantasan.
Mungkin saja,
untuk sepetak pulau-pulau bernama kasta.
Mungkin saja,
untuk sepotong cita yang tak nampak di logika otak.

Dan mereka tak butuh seteguk pun cibiran atau cacian.
Cukup penghargaan atas pilihan yang tak masuk akal.

Mungkin saja,
apa yang bagiku, bagimu, bagi kita, bagi kami, bagi mereka nampak baik
belum tentu baik menurut Sang Maha Sutradara.


so that I just follow those path for this reason...

Female Feature

Kompas Online dalam rubrik Female (26/11) menyodorkan feature melalui akun jejaring sosial seorang kawan kuliah, dengan kalimat pembuka:
"Salah satu alasan perempuan menunda pernikahan adalah mereka enggan merelakan karier untuk sepenuhnya mendedikasikan waktu mengurus rumah tangga. Pemikiran seperti ini diduga karena pandangan banyak orang yang menyepelekan bahwa ibu rumah tangga bukanlah pekerjaan apalagi pencapaian."
 Berikutnya:
"Beberapa waktu lalu, seperti dilansir oleh Daily Mail, majalah Parents menggelar survei terhadap sejumlah responden ibu rumah tangga. Selanjutnya, hasil poling mengungkapkan bahwa 92 persen ibu rumah tangga mengatakan, pekerjaan mereka lebih sulit dibandingkan perempuan kantoran. Pernyataan ini didukung oleh 500 perempuan lainnya, yang setuju bahwa pekerjaan paling berat di dunia adalah menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga."
Lalu?
Iya, benar! Pekerjaan tersulit dan terumit adalah mengurusi rumah sekalipun tanpa imbuhan "tangga" sekaligus mengerjakan pekerjaan kantor. Hari ini (26/11) tepat tiga bulan saya kembali melalui hari-hari dengan aktivitas di tempat bernama: kantor --lima setengah hari dalam sepekan. Dan tiga bulan sebelumnya, saya sempat merasakan tiga bulan berada di rumah, terkungkung dengan aktivitas yang itu-itu saja, yang tidak ada habisnya, yang tidak mengenal jam istirahat maupun hari libur.

Bekerja di kantor, duduk di belakang meja, hanya sesekali bertandang ke lapangan. Itu jauh lebih menyenangkan meskipun sama melelahkannya daripada mengerjakan pekerjaan rumah yang itu-itu saja dan di tempat itu-itu saja, begitu membosankannya. Begitu sejujurnya. Tapi tidak begitu seharusnya. Jika pekerjaan kantor ditambah pekerjaan rumah? Begini ceritanya.

Saya masih jelas teringat saat rutinitas kantor baru berlangsung selama sepekan. Ibu mulai memutar otak atas suasana rumah yang mulai nampak seperti kapal pecah. Seperti sudah tidak ada waktu lagi untuk membereskan semuanya di dalam rumah sebesar ini. Beliau bertanya kepada saya, "Bagaimana jika menghadirkan pembantu?" Spontan saya masih bisa bilang, "Tidak usah." Dalam hati saya merasa masih bisa meng-handle semuanya, selain juga karena saya tidak begitu berkeinginanan akan kehadiran orang lain. Tapi pekan-pekan selanjutnya kapal itu kian pecah. Saya dan ibu baru akan tiba di rumah paling tidak kala adzan maghrib berkumandang. Apalagi ditambah kenaikan jabatan beliau beberapa bulan lalu. Bisa jadi beliau akan pulang lebih larut akibat pekerjaan yang lebih padat. Oleh karenanya, ibu menanting saya kembali sampai akhirnya saya menyerah. Baiklah, mom.

Jaidlah kini hadir pembantu-pembantu paruh waktu untuk sepotong dua potong pekerjaan rumah tangga. Mbak A bertugas menyetrika setiap hari Minggu, sementara Mbak B bertugas menyapu halaman-halaman setiap dua tiga hari sekali. Selain itu? Biarlah waktu pagi di hari libur kami menjadi hari tersibuk sedunia sekaligus peak-hour kami selama sepekan. Pekerjaan weekday rumah menjadi gunung di akhir pekan. Dan tetap saja tidak semuanya terjangkau oleh tangan-tangan kami karena di hari libur pun kini terkadang masih ada aktivitas di luar rumah.

Dua hari yang lalu pun saya sempat menceritakan kondisi ini kepada sahabat karib saya. Bersama sepotong Forte Noire, ia pun mengakui mengalami hal serupa. Ia bekerja di luar kota, hanya dua pekan sekali dapat pulang ke rumah. Ibunya yang tinggal seorang diri --ayahnya telah berpulang, kakaknya telah berkeluarga, pun memiliki pekerjaan di luar rumah. Ya mau bagaimana lagi --begitu saja akhir kesimpulannya.
"Kemudian sekitar 33 persen perempuan yang baru saja melahirkan mengaku mengalami dilema tingkat tinggi saat dihadapkan pada pilihan merawat bayi di rumah atau meneruskan karier. Menurut mereka, pilihan sulit ini karena mereka memiliki kekhawatiran, apakah akan menjadi seorang ibu teladan bagi buah hatinya atau tidak.
Maka, dari hasil poling, 66 persen responden yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga sering menyembunyikan rasa panik akan kondisi keuangan keluarga. Survei pun menguak data yang melaporkan sekitar 28 persen ibu rumah tangga acap kali direndahkan oleh kerabat dan sahabat yang bekerja kantoran, dipandang sebagai pemalas karena tidak bisa membantu suami dalam mencari nafkah."
Maka, jangan heran jika kini teras rumah kami seringkali berdebu di kala weekday! Seperti pemalas mengurusi rumah tetapi terlihat rajin di kantor kan? :Dv
"Padahal, menjadi ibu rumah tangga sama sulitnya dengan berbagai profesi di perusahaan, tetapi tidak mendapatkan benefit dan fasilitas seperti perempuan karier lainnya. Ibu rumah tangga tidak memiliki asuransi kesehatan, tidak memiliki gaji bulanan, tidak memiliki "privillege" untuk menghabiskan beberapa jam di salon pada akhir pekan, karena tidak ada hari libur untuk mereka!"

Minggu, 10 November 2013

Montase

Langit gelap. Gerimis baru saja berlalu meski gemuruh masih bersahut-sahutan di angkasa. Hembusan udara dari secuil void rumah ini membawakan segarnya aroma petrichor. Aku masih di sini. Duduk bersila di atas kursi rotan, berteman segelas kopi herbal sembari menatap layar, menarikan jemari, mengadu kepada entah siapa. Di sisiku, dua daun jendela kubiarkan terbuka. Alunan musik pada playlist saudara lelakiku silih berganti berputar lewat headset yang kugantung di daun telinga. Ahh..membayangkan saja suasana seperti di RedBerries dekat kantor.

When you're at the end of the road
And you lost all sense of control
And your thoughts have taken their toll
When your mind breaks the spirit of your soul

Your faith walks on broken glass                                   
And the hangover doesn't pass
Nothing's ever built to last
You're in ruins

(Greenday, 21 Guns)

Besok hari Senin. Besok masuk kerja lagi seperti biasa. Job-list untuk hari esok sudah selesai kukerjakan kemarin. Dan besok aku pasti akan mulai bereksperimen lagi dengan mainan baruku: 3D Visualization. Jam kerja selesai, lalu pulang. Hanya seperti itukah siklus hidupku sekarang? Kerja-pulang-istirahat berulang dan berulang. Memang masih ada kartupos dan knitting yang menjadi pelampiasan lanjutan. Tapi ... ada sesuatu yang belum membuatku puas. Hanya begitu saja?

***

Parade jeep.
Sepekan yang lalu (02/11) kantorku baru saja menyelenggarakan outbond. Sehari sebelum hari outbond tiba, salah satu jajaran petinggi di kantorku bertanya kepadaku, “Besok pakai rok?” Dan aku tetap pada pendirianku, “Iya, pakai rok. Sudah terbiasa outbond pakai rok kok.” Why not? Di titik itu aku seperti diuji idealismeku.  Pada lingkup pekerjaanku, aku sudah membawa perbedaan tersendiri, ketika dalam divisi perencanaan dan produksi aku perempuan sendiri. Lalu ketika bersama dengan teman-teman perempuan (yang memang tidak banyak) aku pun membawa perbedaan dengan “ciri feminimku”, begitu mereka bilang: rok.

Tapi outbond itu benar-benar membuatku “melayang”.

Ketika timku berhasil memenangkan suatu sesi permainan atau mampu memecahkan teka-teki, dengan spontan aku berjingkrakan. Heboh. Lalu saat tersadar, hatiku akan berkata, “Aku baru saja ngapain?” Tetapi tidak juga mampu membendung ekspresi kegembiraanku hari itu. Benar, aku sangat bahagia hari itu.

Ketika agenda secara tiba-tiba berlanjut dengan petualangan Lava Tour Merapi, aku diam-diam tak sabar menanti datangnya jeep. Aku seperti tak juga lelah. Rasa lelah itu telah terlibas luapan semangat yang tiba-tiba hadir. Hingga setelah penantian satu jam, datanglah jeep merah yang akhirnya membawaku menerabas terjalnya sisa erupsi merapi. Namun tak puas hanya duduk di atas jeep, aku memutuskan berdiri di atas jeep. Menikmati sensasi bergelinjangnya jeep sepanjang dua setengah jam perjalanan. Merasakan terpaan angin gunung menjelang senja itu. Memburu rahasia yang tersembunyi pada sisi-sisi Merapi atau gelapnya bunker, juga licinnya pasir.

Cutout diriku di atas jeep.
Puas!

“Keren!” ucapku pada seorang senior setelah turun dari jeep. Feminimismeku membingkai frasa yang lain hari itu.

“Ternyata di balik feminimismemu, begitu bertemu alam atau sesuatu yang menantang, kamu punya sisi yang “liar” juga. Tapi nggak apa-apa, berarti kamu sosok yang kuat.” – “Ternyata kalau berpapasan dengan lensa kamera, kamu nggak bisa berpaling ya.” – “Ayo outbond lagi; ayo ke Merapi lagi; ayo...”

Ketahuan deh yang sebenarnya! Tapi aku mendapatkan tembakan semangat yang super.

***

Momentum!
Setelah itu.

Ya, setelah itu aku seperti merasakan jiwaku yang dulu. Jiwaku yang sulit berhenti bergerak. Jiwa masa muda, jiwa masa kuliah. Alam dan komunitas seperti sudah menyatu dalam hari-hariku. Dan karena itu pula, mulai muncul pikiran yang sangat menghentak alam pikirku: hanya begini saja hidupku sekarang? Monoton sekali.

Dan..sulit memang menautkan waktu bekerja dengan aktivitas lain. Seharusnya serentetan rencana masih menunggu untuk dihunjamkan aksi. Sayang sekali aku melewatkan perayaan Satu Dekade Forum Indonesia Muda sepekan yang lalu. :(

Tapi, tunggu aku pada episode yang baru. Fight!