Minggu, 20 Oktober 2013

Ada Namaku di Sana

Semalam, selepas isya’ ada pesan singkat dari nomor yang belum kukenal:

Assalamu’alaikum wr. wb.
Berhubung akan diadakan Seminar Keislaman SKI FT UNS, kami panitia mengharapkan partisipasi saudara/i untuk menjadi donatur. Untuk info lebih lanjut silakan menghubungi Ana.
Syukran, jazakumullah. :)
#Panitia SK_SKIFT
Kalimat syahdu yang begitu khas, keteduhan dan kesahajaan. Ada haru yang menggelegak ketika muncul pesan dari adik-adik tingkat di almamater kampus. Mereka masih mengingatku, hanya itu yang terlintas di benak. Generasi berganti, mestinya aku sudah tidak mengenal nama-nama baru yang melanjutkan perjuangan di organisasi kampus. Ya, sudah lebih dari satu tahun aku meninggalkan bangku kampus. Kemungkinan aku dan generasi yang mengabdi kini telah terpaut selisih dua atau tiga tahun di bawahku. Apalagi usai meninggalkan kampus dan berkelana kesana kemari, aku sama sekali tidak berkomunikasi dengan mereka.

Kampus telah menorehkan sejarah panjang dan dalam di lembaran kisah hidupku. Siangnya sebelum kuterima pesan itu, aku sempat melihat postingan foto di Instagram kawan seangkatan. Foto itu menangkap fasad depan gedung rektorat, tempat dimana kami diterima menjadi mahasiswa dan tempat dimana kami dilepas setelah tuntas masa belajar. Tempat dimana kami mulai menimba segala macam ilmu dan menemukan jalan-jalan menuju tujuan kami selanjutnya.

“Kapanpun kalian merasa rindu, pulanglah kemari. Di sini jugalah rumah kalian.” 
Kurang lebih seperti itu kalimat yang menyertai foto rektorat. Aku tahu betul, kalimat itu dilontarkan oleh salah seorang dosen yang mengajar kami di tingkat akhir masa perkuliahan.

Sebelumnya, di “sesi” pertama, tiba-tiba seorang adik tingkat selisih tiga tahun di bawahku, mengirim pesan lewat layanan obrolan. Kamu bercerita bahwa kini kamu tengah menjalani tugas Kerja Praktik di kotaku bersama kawanmu, yang juga adik tingkatku. Tentu tidak lantas kamu bercerita tentang keberadaanmu di Jogja, sebelumnya kamu bertanya mengenai materi kuliah. Aku masih ingat, kepadamu jugalah kuhibahkan beberapa copy-an materi kuliah kala itu yang kukira tidak terlalu kubutuhkan kelak. Well, we need to meet and greet then.

Tak hanya itu, di “sesi” kedua, kemarin juga, organisasi terbesar dimana aku terlibat di dalamnya tiba-tiba muncul lagi di depan mataku. Adalah Forum Indonesia Muda (FIM), forum besar yang berisikan pemuda-pemuda terpilih dari seantero Indonesia (dan beberapa yang kini tinggal di luar negeri). Aku bergabung dengan FIM pada 2009, angkatan ke-VII. Saat itu aku masih kuliah semester tiga, begitu mudah mengingat semester tiga karena aku meninggalkan mata kuliah Interior Eksterior demi berangkat ke Jakarta.

Salah seorang diantara teman seangkatanku menginisiasi forum melalui media WhatsApp demi melanjutkan silaturahim yang sempat pudar.Beberapa media yang telah digagas sebelumnya seperti milis dan Facebook sudah tidak compatible lagi rasanya. Setiba di rumah sepulang dari kantor, mendadak chat sudah ramai. Tiga hari dua malam bersama, namun kesan yang tertinggal semoga akan abadi. Dan mereka masih juga mengingatku.

Who am I?
Aku tak tahu apa yang telah kutinggalkan untuk mereka di sana. Bahwa tiba-tiba roda kampus muncul kembali dalam putaran ceritaku. Apa-apa yang pernah kujalani dulu kini seperti memanggilku lagi melalui cara yang lain. Takdir berkehendak. I found the path back.

Adik-adikku, ketika kau memanggilku, “Mbak..” dari jauh sana, itu jauh lebih mengharukan. Itu membuatku ingin kembali ke sana, ke gedung dua. Menatap bersama guguran angsana yang dihembus gerimis, dari selasar belakang lantai dua. Atau berkisah tentang dosen-dosen kita tercinta, di jembatan lantai tiga diiringi hembusan angin sepoi-sepoi. Missing the moment we struggle together.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar