Rabu, 30 Oktober 2013

Postcard Bomb!

Kemarin (29/10) sepulang dari kantor, adik saya menyodori beberapa pucuk kartupos. Lima kartupos. Jarang-jarang saya mendapati kiriman kartupos sekaligus seperti ini. Kemungkinan itu karena kartupos official yang tidak terkirim atau tidak dikirim oleh penerima alamat sebelumnya. Kejutannya ada pada tiga kartupos yang berasal dari negara-negara Asia.

Selama satu tahun lebih bergabung dengan komunitas Postcrossing, saya belum pernah mendapatkan kartupos dari negara-negara tetangga saya sendiri. Kebanyakan saya mendapatkan kartupos dari negara-negara benua biru, negeri Paman Sam, atau Rusia. Maka begitu saya menjumpai kartupos yang dikirim dari Taiwan, Jepang, dan Malaysia; rasanya sangat bahagia.

1. Canada
150 Years of Photography | 150 Ans de Photographie
Kartupos berjenis postage paid ini dikirim oleh Matt yang berdomisili di Ontario, Canada. Postage paid adalah pos berbayar dimana prangko sudah tercetak pada kartupos sehingga tidak perlu menempelnya lagi. Dalam kartu itu dia bercerita bahwa dia pernah bertandang ke Borneo. Borneo dan Indonesia begitu berbeda katanya, "..your area of the world is VERY different from mine! Our temperature can range from +35 C to -35C (plus wind chill)."

Postage paid.

2. Michigan, USA
Greetings from Michigan.
"A fascinating atmosphere in which to live or visit. Within the borders of the 26th state are contrast of exciting, dynamic cities, culture, and lighthouses with unspoiled wilderness and wildlife."
Global | USA | Forever | 2013

3. Taiwan
Painting postcard.
"This card was painted and designed by one student at my school. And my school turned lots of students' artworks into postcards. That's all because we encouraged students to participate in Postcrossing activities."
Synsepalum dulcificum.

4. Jepang
Cute cat :p

Sebenarnya saya kurang begitu menyukai kucing tapi di profil saya terlanjur mencantumkan opsi "animal" karena pernah mendapatkan kartupos bergambar tupai lucu dari Rusia. Dan lagi kartu ini datang dari Jepang!

Bentuk prangko Hello Kitty ini unik.

5. Malaysia
Grand Central Station | New York

Kartupos vintage yang pertama saya terima, tema arsitektur pula. Serasa benar-benar kembali ke tempo lalu. Hal yang paling saya kagumi dari potret ini adalah sorot tajam cahaya dari bukaan-bukaan di ketinggian dinding. Bagus!

Bunga Tiga Bulan - Hydrangea macrophylla
Terima kasih untuk bom kartupos pekan ini! Lain kali mau lagi :D

Selasa, 29 Oktober 2013

Lesehan Sayidan

Bantaran Sayidan
Rata-rata bantaran sungai di kota-kota besar Indonesia identik dengan pemukiman yang rapat hingga tak menyisakan sepetak ruang publik bagi masyarakatnya. Apalagi apabila melihat kota sekaliber Jakarta dengan sungai-sungai yang mengalir di mukanya. Pemerintah daerah pun sewajarnya  tak tinggal diam atas persoalan seperti ini. Bukan saja untuk menghindari resiko banjir ketika volume air naik di musim penghujan, melainkan juga upaya untuk mempercantik wajah kota (city beautification).

Dahulu, sewaktu masih menjadi penumpang kereta komuter Solo-Jogja dan sebaliknya, seorang bapak yang duduk di depan saya terlihat kagum seraya berujar, “Jogja itu tata kotanya bagus.” Saat itu kereta sedang melintas di atas Kali Code, dan dari tempat kami duduk terlihat komposisi jalan yang memutar dengan air mancur dan pergola, kontras dengan padatnya pemukiman di tepian Code. Solo pun melakukan hal serupa melalui walikotanya saat itu, Joko Widodo, yang kini menjabat Gubernur Jakarta. Taman Tirtonadi dan Taman Sekartaji merupakan dua contoh revitalisasi kawasan tepian sungai. Sayangnya terakhir kali saya ke sana, Taman Sekartaji bahkan sudah mangkrak dan taman mulai gersang. Rupanya mungkin ruang publik serupa taman kota bukan kebutuhan primer bagi warga.
Salah satu sudut bantaran.
Namun saya menemui penyelesaian yang cukup brilian kemarin sore (27/10). Selepas meet up dengan teman-teman kuliah di Vredeburg Fair,  kawasan cagar budaya Benteng Vredeburg, kami melanjutkan perjalanan dengan berwisata kuliner di Lesehan Sayidan, masih merupakan tepian Kali Code. Yaitu tepat di bawah sculpture Jembatan Sayidan. Lantai paving berlapis tikar atau tanggul sungai yang terdesain serupa tempat duduk. Ditambah tatanan meja-meja kecil dan atap asbes, saya terbawa ketakjuban tersendiri. Beberapa pohon tetap dibiarkan tumbuh sedang angin mengalir lepas dari arah sungai. WiFi kualitas excellent dan “restoran” buka nonstop 24 jam.

Berulang kali saya menyambangi bibir sungai yang hanya berjarak tak lebih dua meter dari meja kami. Seperti orang heran, saya mengamati pemandangan di sekitarnya. Jika jeli, sebenarnya sajian visual  yang saya terima sangat khas urban. Jajaran jemuran pakaian yang melambai di sana-sini. Antena televisi yang menjulur di sana-sini. Juga elevasi atap yang tak rapi. Tapi sungai yang cukup bening dan mengalir deras benar-benar menggugah selera. Saya tidak bisa mendeskripsikan bagaimana saya langsung menyukai tempat ini; tentu masih banyak restoran dengan sajian istimewa dan tata ruang yang jauh lebih elegan. Tetapi tempat ini sangat merakyat menurut saya.

UPPKS Lumintu I. Dinding tanggul jalan berpola ala jerapah yang menjadi sandaran saya mencantumkan aksara-aksara tersebut. Lalu saya mengaitkan dengan poin tempat ini bukan milik individu melainkan usaha bersama masyarakat kampung di situ. Berarti warga kampung ini telah mempunyai pemikiran yang lebih maju. Setidaknya di tengah kepadatan kota, masih tersedia ruang komunal tidak hanya bagi warga tetapi juga publik. Patut menjadi proyek percontohan untuk penyelesaian desain kawasan bantaran sungai yang sederhana tapi bernilai.
Deliciouso.
Sayang sekali. Ya, jujur saya menyayangkan bahwa saya ketinggalan mengenai hal ini. Beberapa bulan lalu saya sempat meriset cepat mengenai Kali Code dan pemukiman di sana sebagai materi sebuah majalah arsitektur (Ruang Arsitektur Free Magz). Riset jarak jauh yang saya lakukan karena saat itu masih berdomisili di Jakarta. Dan titik penting ini luput bahkan tak tersentuh sama sekali dari pencarian saya. Padahal saya telah mengambil kesimpulan dengan merangkum uraian Romo Mangun, arsitek sosial Kawasan Code Gondolayu, yaitu bahwa masyarakat bantaran Code dengan berbagai latar belakang yang menyertainya tidak mungkin digusur. Penggusuran hanya akan menimbulkan masalah baru: munculnya pemukiman liar. Sehingga alternatif solusi yang dapat dilakukan adalah memberdayakan setidaknya untuk meningkatkan taraf hidup. Seperti misalnya dengan kemunculan Lesehan Sayidan.

Minggu, 20 Oktober 2013

Ada Namaku di Sana

Semalam, selepas isya’ ada pesan singkat dari nomor yang belum kukenal:

Assalamu’alaikum wr. wb.
Berhubung akan diadakan Seminar Keislaman SKI FT UNS, kami panitia mengharapkan partisipasi saudara/i untuk menjadi donatur. Untuk info lebih lanjut silakan menghubungi Ana.
Syukran, jazakumullah. :)
#Panitia SK_SKIFT
Kalimat syahdu yang begitu khas, keteduhan dan kesahajaan. Ada haru yang menggelegak ketika muncul pesan dari adik-adik tingkat di almamater kampus. Mereka masih mengingatku, hanya itu yang terlintas di benak. Generasi berganti, mestinya aku sudah tidak mengenal nama-nama baru yang melanjutkan perjuangan di organisasi kampus. Ya, sudah lebih dari satu tahun aku meninggalkan bangku kampus. Kemungkinan aku dan generasi yang mengabdi kini telah terpaut selisih dua atau tiga tahun di bawahku. Apalagi usai meninggalkan kampus dan berkelana kesana kemari, aku sama sekali tidak berkomunikasi dengan mereka.

Kampus telah menorehkan sejarah panjang dan dalam di lembaran kisah hidupku. Siangnya sebelum kuterima pesan itu, aku sempat melihat postingan foto di Instagram kawan seangkatan. Foto itu menangkap fasad depan gedung rektorat, tempat dimana kami diterima menjadi mahasiswa dan tempat dimana kami dilepas setelah tuntas masa belajar. Tempat dimana kami mulai menimba segala macam ilmu dan menemukan jalan-jalan menuju tujuan kami selanjutnya.

“Kapanpun kalian merasa rindu, pulanglah kemari. Di sini jugalah rumah kalian.” 
Kurang lebih seperti itu kalimat yang menyertai foto rektorat. Aku tahu betul, kalimat itu dilontarkan oleh salah seorang dosen yang mengajar kami di tingkat akhir masa perkuliahan.

Sebelumnya, di “sesi” pertama, tiba-tiba seorang adik tingkat selisih tiga tahun di bawahku, mengirim pesan lewat layanan obrolan. Kamu bercerita bahwa kini kamu tengah menjalani tugas Kerja Praktik di kotaku bersama kawanmu, yang juga adik tingkatku. Tentu tidak lantas kamu bercerita tentang keberadaanmu di Jogja, sebelumnya kamu bertanya mengenai materi kuliah. Aku masih ingat, kepadamu jugalah kuhibahkan beberapa copy-an materi kuliah kala itu yang kukira tidak terlalu kubutuhkan kelak. Well, we need to meet and greet then.

Tak hanya itu, di “sesi” kedua, kemarin juga, organisasi terbesar dimana aku terlibat di dalamnya tiba-tiba muncul lagi di depan mataku. Adalah Forum Indonesia Muda (FIM), forum besar yang berisikan pemuda-pemuda terpilih dari seantero Indonesia (dan beberapa yang kini tinggal di luar negeri). Aku bergabung dengan FIM pada 2009, angkatan ke-VII. Saat itu aku masih kuliah semester tiga, begitu mudah mengingat semester tiga karena aku meninggalkan mata kuliah Interior Eksterior demi berangkat ke Jakarta.

Salah seorang diantara teman seangkatanku menginisiasi forum melalui media WhatsApp demi melanjutkan silaturahim yang sempat pudar.Beberapa media yang telah digagas sebelumnya seperti milis dan Facebook sudah tidak compatible lagi rasanya. Setiba di rumah sepulang dari kantor, mendadak chat sudah ramai. Tiga hari dua malam bersama, namun kesan yang tertinggal semoga akan abadi. Dan mereka masih juga mengingatku.

Who am I?
Aku tak tahu apa yang telah kutinggalkan untuk mereka di sana. Bahwa tiba-tiba roda kampus muncul kembali dalam putaran ceritaku. Apa-apa yang pernah kujalani dulu kini seperti memanggilku lagi melalui cara yang lain. Takdir berkehendak. I found the path back.

Adik-adikku, ketika kau memanggilku, “Mbak..” dari jauh sana, itu jauh lebih mengharukan. Itu membuatku ingin kembali ke sana, ke gedung dua. Menatap bersama guguran angsana yang dihembus gerimis, dari selasar belakang lantai dua. Atau berkisah tentang dosen-dosen kita tercinta, di jembatan lantai tiga diiringi hembusan angin sepoi-sepoi. Missing the moment we struggle together.

Why?


here

Kepada yang mempertanyakan dan (mungkin) bertanya-tanya mengapa Buih-Buih Kesunyian (yang selama ini kau jumpai) bermetamorfosa menjadi Untold Story.

Dear kamu,
Banyak cerita yang kini tak bisa kuungkapkan kepadamu,
Mungkin karena lidahku terlalu kelu.
Mungkin karena waktu yang kian meracau.
Mungkin karena sesuatu yang membedakan dengan dulu.

Healing. I am write to heal my soul. I have stated it long time ago in my profile.
But (often), I will not write anymore if I have got my another stuff to heal.
By tell to you, you, or you spontanously. And I will not repeat it once or twice, it is too hard. Moreover to write, it is very hard. Once I tell you, it is enough.
*to my best friend: that’s why I rarely to tell you all. Just you, you, or you.

Dan kini aku tak bisa lagi bercerita kepadamu seperti dulu.
Aku tak tahu.
Jadi, untuk semua yang tak kuceritakan kepadamu.
Di sinilah tempatku kembali berlabuh, seperti sekian masa yang telah lalu.

Maaf.

Sincerely yours,
F.

Senin, 14 Oktober 2013

Architecture Budgeting

"mari berbicara tentang tabu. hal yang tak perlu diumbar. hal yang menjadi rahasia umum. hal yang diperbincangkan diam-diam di belakang ketika jam makan siang.
mari berbicara tentang lembaran-lembaran yang dituhankan: dicari, dipuja, dipersalahkan atas segala hal.
mari berbicara tentang bagaimana idealisme tidak memiliki harga. angka berjajar penyambung hidup itu milik gambar-gambar indah yang kadang hanya ditambal-sulam.
jika yang terbaik adalah yang akan melarat dan tertinggal oleh budak-budak kapitalis, kemanakah keseimbangan logika dan harga diri?
apakah artinya integritas? apakah tak berkesinambungan dengan uang? apakah selalu berlawanan? mengapa keduanya tak bisa rujuk, hanya bisa saling mengunggulkan?
"punya saya materialnya paling mahal, impor dari itali. tentu presentase untuk saya menjadi lebih besar. estetika akan hadir dengan sendirinya, jika kualitas barang berasal dari merk ternama."
"punya saya memanfaatkan genius loci. arsitektur milik semua kalangan. estetika tidak tumbuh dari nilai materil. estetika adalah seni, dan seni lahir dari pemikiran, bukan uang yang dituhankan."
apa artinya HONOR jika idealisme dan integritas, sebagai akar dari budaya, menolak dijadikan komoditas, tapi di sisi lain,
kehidupan perlu diberi makan?
"
ditulis oleh rofianisa/vidour untuk IAI: Temu 1000 Arsitek Jakarta
 ***
Semalam tiba-tiba tercetus sekaligus terngiang sebuah pertanyaan:
“Ketersediaan budget pemilik proyek (owner) memengaruhi kualitas desain yang dihasilkan kah?”
 Belakangan rutinitas kantor menjadi ritual harian. Lalu dua pelaksana proyek non-kantor mengejar secara bersamaan. Aktivitas kantoran yang seketika kembali berbalik seperti dua bulanan sebelumnya tak ayal membuatku cukup gelagapan. Di satu sisi, aku ingin mengkeksplorasi desain sebaik-baiknya. Tetapi di sisi lain, ada hal-hal yang membuatku gagap bergerak. Terutama skeptis orang awam mengenai pelaku arsitektur. Pertanyaan di atas akhirnya berujung di laman salah satu jejaring sosial.

Profesi seperti apakah arsitektur di masyarakat kita?
Sudah lama tema ini menjadi polemik di kalangan arsitek profesional hingga arsitek pemula. Dan kini ketika aku memulai bergerak di ranah arsitektur yang sesungguhnya, aku mulai mengerti. Arsitektur bukan sekedar menarik garis menjadi bidang atau menggabungkan bidang-bidang menjadi massa sekaligus menyusun massa menjadi desain arsitektur itu sendiri. Di sana ada seni, di sana ada logika. Ya, arsitektur adalah seni berlogika. Di sana selayaknya ada penghargaan karena arsitektur adalah pertaruhan kenyamanan dan keamanan.

Kita harus bisa membuat orang menghargai profesi kita.
Aku mulai berkesah dengan teman-teman seprofesi. Dan pernyataan itu kembali tercetus ketika bahasan itu kukuak lagi. Kita harus bisa mengedukasi masyarakat tentang profesi kita sendiri. Pemahaman di awal tentu lebih baik. Siapapun sebenarnya bisa jadi arsitek. Tukang bangunan pun, ketika ia telah berkecimpung lama di bidangnya, ia bisa jadi arsitek (jika yang dimaksud sebagai arsitek hanyalah sekedar “membuat bangunan bisa berdiri”). Tetapi bukankah di sana ada seni? Dan itulah kenapa ada arsitek?

Eksplorasi desain bermutu tidak cukup dalam waktu singkat. Pun saat desain itu telah bermutu, jika budgeting tidak siap, tentu akan ada penurunan jenis material hingga pengurangan volume pekerjaan.

Lalu kemudian desain kita akan jadi biasa saja?
Mengingati perubahan wajah versi dana minim dan kemudahan pengerjaan, aku jadi teringat komentar dosen pembimbing studio pra-akhir tentang atap pelana yang membentang panjang sekali. “Apa bedanya bangunan itu dengan pabrik atau kandang ayam?” seloroh beliau saat itu. Seharusnya dengan segala keterbatasan yang ada, kita jadi lebih terpicu dan terpacu untuk lebih kreatif, menghasilkan karya yang “monumental”. Karya arsitektur yang bercita rasa tidak melulu harus bernilai materi tinggi. Kesederhanaan dan kesahajaan arsitektur justru menjadi poin plus bagi penghuninya kelak.

Baik, itu kesimpulannya. Tetapi kembali pada penghargaan terhadap arsiteknya, bagaimana dengan itu? Inilah ulasan yang memang tak habis-habisnya.

1:10

pegunungan di kejauhan sana
Siang itu aku tak menyadari bahwa semua pelaksana dan penanggungjawab proyek di lapangan muncul di kantor, sampai salah seorang dari mereka memanggilku untuk turut masuk ke dalam ruang komisaris dan direktur. Muncul tanda tanya dalam benakku, “Ada apa?”

“Ikut rapat,” katanya.
“Kamu cewek sendiri di dalam tuh,” sahut teman sebelah desk-ku.
Sembari berdiri dan mempersiapkan notes, aku menyeloroh, “Sudah biasa.”

Benar saja, di dalam sudah duduk tenang, komisaris utama, manager produksi, manager logistik, dua pelaksana, dan dua asisten pelaksana. Menyusul dua perencana yang masuk bersama denganku. Semuanya laki-laki, kecuali aku tentu saja. Menjadi minoritas diantara para kaum adam kini seakan menjadi rutinitas. Bukan saja mengenai job-desk di kantor, tetapi saat tiba waktunya terjun meninjau kondisi lapangan, aku pun harus menyesuaikan diri. Sewajarnya tentu saja. Tidak boleh manja, harus tahan dengan teriknya lapangan dan elevasi tanah yang naik turun, serta rumput-rumput liar yang masih tumbuh. Di lapangan yang lain, aku pun harus berdamai dengan debu. Rela saat keluar dari lapangan mengetahui sepatu sudah lusuh penuh debu tebal menempel. Juga tentang ritme makan, nah aku tahu kalau laki-laki itu makannya super-cepat. Dan aku super-sebaliknya!

Seringkali menyeruak pemikiran, apakah suatu saat nanti aku bisa-bisa jadi tomboy?

Terpikir perkara ini, aku jadi teringat waktu yang telah jauh di belakang. Saat rumah berproses merubah warna wajah. Aku memilih bergumul dengan cat dan kuas daripada piring gelas dan dapur. Alhasil ketika sewajarnya bapak yang memegang kuas dan menenteng ramuan cat; dan aku yang menggenggam spons cuci dan mengusap piring gelas, yang terjadi justru sebaliknya. Sampai aku lelah karena tinggiku belum mencapai dinding paling atas. Di lain waktu, begitu aku masuk teknik, bapak memanggilku untuk membantu memperbaiki engsel pintu yang jebol. “Kenapa bukan adik (yang laki-laki)?” protesku.

“Kan yang masuk teknik kamu,” sahut adikku.

Nah, ini nih. Dan bukan ini saja. Mungkin, aku paling tidak suka jika kemampuanku disangkut-pautkan dengan beberapa hal yang bersangkutan denganku. Sejak meniti bangku kuliah, mulai di permulaan, debutku seakan menjadi buah simalakama bagiku sendiri. Karena aku teknik maka akulah... Karena aku masuk X seharusnya aku Y. Karena aku pernah terlibat A maka sewajarnya aku B. Karena aku pernah di C maka aku semestinya mengerti D.  Right, itu benar. Tetapi ketika aku masuk A dan menemui C, aku belum tentu nyaman dengan lingkungan itu. Lalu aku tak akan bisa jadi B atau D. Bukan tak akan, tapi belum akan.

Aku yakin, aku bisa melakukannya jika saja aku mau. Tetapi aku memiliki pilihan-pilihan tersendiri atas apa yang kulakukan.

“...and if something proves of interest to you, you will not rest until you acquire a profound knowledge of this area.”

Akhirnya, itu berlaku buatku. Saat aku menggemari sesuatu, tanpa sadar itu sudah ter-set dalam keinginanku. Kartupos, kartupos, kartupos. Knitting, knitting, knitting.

And now: design, design, design. Seakan tiada hari tanpa menyapa .dwg, .skp, .max, .png, atau .jpg. Cuma waktu yang berbicara dan takdir yang menjawab ketika semua yang dulu kuhindari kini jadi pergumulanku sehari-hari. Dan ketika semua yang dulu jadi pergumulanku sehari-hari kini perlahan tertelan ...