Minggu, 01 September 2013

Warisan dan Profesi

Apa jadinya ketika tiba-tiba kita mendapatkan warisan yang rupanya jauh berbeda dengan ekspetasi kita pribadi dan kemudian tak bisa dikompromikan dengan profesi kita? Tiba-tiba saja pertanyaan itu menggeliat muncul ke permukaan otak. Hasilnya, mengingatkanku pada Madre-nya Dee yang berkisah mengenai sosok Tansen, seorang blogger dan peselancar di Bali yang menyenangi kebebasan hidup. Ia dipanggil ke Jakarta untuk menerima warisan berupa biang roti berusia puluhan tahun dari orang yang tidak pernah dikenalnya. Peselancar dan roti adalah hal yang sangat bertolak belakang bukan?


“Ini tempat duduk, meja, dan komputer kamu nanti ya,” kurang lebih begitu yang diucapkan manajer tim perencanaan dan perancangan yang juga seniorku di kantor awal pekan kemarin

Sebelumnya, ia telah memperkenalkanku juga kepada teman di meja sebelah kananku yang belum pernah berganti. Namanya Pak Oding, yang menjabat kepala bagian alias salah satu manajer juga. Sementara di meja sebelah kiriku belum ada penghuni tetap, konon masih dicari. Jadilah silih berganti orang yang singgah di situ.

Kerap kali aku melirik ke komputer beliau jika tengah penat. Seringnya mendapati tabel-tabel berjajajar rapi dengan barisan angka-angka bersarang di tiap kotaknya. Tapi beberapa kali kulihatnya membuka dokumen berisi garis yang membentuk bidang, dan berikutnya bidang yang membentuk ruang. Bilah-bilah pekerjaan yang sangat akrab dengan apa yang kuhadapi setiap hari.

“Itu bikin sendiri, Pak?” tanyaku iseng.

“Iya, untuk hiburan Mbak. Dulu saya belajar seperti ini dari Mas Endro, kalau Mas Endro sedang luang, saya sedikit-sedikit minta diajarin. Ya senang juga ketika akhirnya bisa bikin kusen atau kursi pakai ini,” katanya sumringah. Mas Endro adalah mantan seniorku yang telah keluar dan kini kugantikan memegang komputernya. Dari sedikit percakapan harian atas kata yang tak pernah bosan beliau ucapkan, “Belajar ini lah, kita harus kreatif sekarang, di kantor begini, nanti di rumah juga harus ada hal yang dilakukan.” Mungkin kata-kata tersebut pula yang menjadi salah satu mood-booster-ku kembali menulis di ruang ini. Dan mungkin suatu saat nanti saya juga musti belajar menata angka dan dokumen dari sosok Pak Oding ya? 

Dari beliau pula akhirnya aku menemukankembali terminologi yang sempat lama mengendap di dasar pikiran. Long life learning. Belajar sepanjang hayat, belajar tidak mengenal usia, belajar dari ayunan sampai liang lahat, atau belajar hingga ke negeri Cina. Tidak ada kata terlambat untuk belajar, dari siapapun dan dari manapun. Itu pula yang tempo hari sedikit disinggung dalam kajian pekanan di lobi kantor. Kata ustadz, belajar itu tidak hanya harus dengan niat. Tetapi juga harus titn, telatn, dan opn. Titn merujuk pada definisi bahwa sebagai pembelajar harus teliti memunguti hal-hal yang kecil dan sering diabaikan orang. Telatn dapat diterjemahkan dengan rajin dan tidak pernah bosan, juga tidak mudah menyerah. Sementara itu opn berarti mampu merawat hal-hal kecil yang telah dikumpulkan sedikit demi sedikit dengan semangat berlebih.

Lain waktu saat aku merasa kesulitan dengan suatu hal yang belum mampu kupecahkan dan tim juga belum menemukan solusi selain tebakan-tebakan mungkin ini-itu, akhirnya solusi yang muncul adalah, “Coba bertanya kepada teman-temanmu di ibukota itu. Mereka seharusnya punya jawabannya.” And it works. Belajar tidak memerlukan sekat ruang dan waktu ketika tiba pada titik aku bisa belajar jarak jauh dengan teman-teman yang terpisah ratusan kilometer.


Kembali kepada Madre, warisan dan profesi mungkin akan menjadi dua bagian yang sulit berkorelasi. Tetapi bila mengenal leluhur dan mencermati silsilah, tebakan-tebakan itu bisa jadi akan muncul dan mulai bisa mengira-ngira apa yang akan diperbuat dengan hal itu kelak. Lalu apa yang akan dilakukan dengan dua sisi yang tidak bertalian itu? Jawabannya mungkin hanya dua: mulai mempelajari hal itu sedari awal atau mencoba mencari-cari cara untuk membuat simpul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar