Minggu, 22 September 2013

Words from Norrtalje

Moose atau Elk
Sudah beberapa bulan berlalu semenjak terakhir kali aku menerima kartupos dari Mbak Sekar, yang tinggal di Swedia. Oleh karena itu, aku cukup terkejut ketika melihat sepucuk kartu tersembul di meja kamarku sepulang dari kantor. Sudah lama aku tidak menerima kartupos dengan stiker biru bertuliskan "Prioritaire" atau "Priority" sesuai dengan bahasa nasional negara pengirim. Dengan melihat gambarnya saja, aku sudah berfirasat bahwa itu kartu yang dikirim dari mancanegara. Tipikal kartupos dalam negeri cukup mudah dikenali.

Her words
Di kartupos kali ini Mbak Sekar menceritakan tentang kehamilan pertamanya yang sebenarnya sudah aku ikuti pekan demi pekan perkembangannya di blog. Cukup terharu membacanya, serta merasakan rasa kesyukuran kedua kakak tingkat kuliahku ini. Cerita dari belahan dunia yang lain seringkali membuatku takjub, bukan saja tentang tantangan hidup jauh terpisah dari kampung halaman. Namun juga keragaman fenomena yang ditemui.

Seperti:
"Kartu pos ini bergambar Moose atau Elk, binatang khas Swedia. Di hutan belakang rumahku ada lho!"
Alam benakku sejenak kemudian terbawa ke alur bayangan yang biasanya hanya kutemui di film-film atau novel klasik. Rumah yang di belakangnya masih ada hutan! Anak kecil pada skenario film biasanya akan berlari ke sana ketika sedang kesal. Lalu menemukan pintu rahasia menuju Narnia atau tercebur ke dalam lubang menuju Wonderland. Layar lebar tersingkap dan petualangan besar segera dimulai!:D

Sabtu, 21 September 2013

Learn by Never-Ending-Support

 Since I found a new family there.

Perjalanan itu tak pernah berhenti dan tanpa pernah disangka-sangka alurnya. Ketika takdir membawaku bergabung dengan tim yang kini menjadi basisku belajar. Ya, belajar. Sejak hari pertama aku mengenal mereka, yang kini menjadi teman-temanku, tak henti-hentinya berbagai macam dukungan kurasakan dalam banyak cara dan rupa.

“Aku dulu juga seperti itu. Bahkan kukira justru di sinilah tempat kuliahku yang sebenarnya.”

“Ada CAD, SketchUp, 3DsMax, ArchiCad, dan Revit.” Dan kemudian mengalirlah cerita seputar hal itu yang membuatku bergidik. “Aku dulu punya teman, dia basic-nya bukan di 3D, tapi dia selalu belajar tentang itu. Sekarang kerjaan dia ya seputar itu, di Jakarta dia ngerjain apapun yang ada kaitannya sama 3D. Tebak berapa pendapatan dia untuk tiap proyek?”

“Ayo tingkatkan. Kamu pasti bisa. Aku aja bisa, kamu juga pasti bisa.”

Tiada bosan-bosannya tim kecil ini mengingatkan dan mensupportku. Satu bulan dan hampir tiap pekan pasti ada lontaran-lontaran semangat itu. Mungkin memang suasana ini yang selama ini kucari, dan pencarian panjangku akhirnya mendamparkanku di sini. Ketika senior bersedia membimbing juniornya, dan pimpinan memberikan kesempatan belajar dari NOL. Syarat yang kutemukan tersirat: sadar diri untuk senantiasa belajar.

Aku pun takjub dengan diriku sendiri. Semula aku keukeuh masih ingin bekerja dengan caraku sendiri, sebisaku sendiri. Dan mereka bilang, “Iya, gapapa.” Tapi tanpa sadar, mereka pun mulai meracuniku, mengiming-imingiku, dan tak henti-hentinya mengingatkanku untuk mempelajari cara yang baru (yang semula terpatri rumit di alam pikirku). Tapi pada akhirnya aku terjebak dengan cara mereka bekerja. Bertolak dari titik belakang, aku belajar, dan mereka bilang, “Nanti kalau sudah tahu caranya, kelebihannya, kamu pasti akan penasaran dan ketagihan.” And it works. Sekarang aku malu sekali melihat gambar pertamaku yang kuajukan ke pimpinan. Cita rasa gambar itu kini tampak begitu berbeda.
Banyak pilihan dalam hidup. Jika aku memilih salah satu, aku akan bertahan pada satu pilihan itu. Kecuali waktu akan menjebakku ke dalam pilihan lain. Dan setiap hal yang terpilih itu tetap ada konsekuensinya. Lalu jangan memaksaku untuk sempurna dalam dua hal sekaligus.”
“Kamu tidak akan pernah mendapatkan tempat lain dengan solidaritas seperti di sini. Yakin deh.”

Kata-kata yang tercetus beberapa hari di awal aku masuk kantor, mendadak tak henti-hentinya kurapal. Pasalnya belum sebulan aku mengenal mereka, tetapi tiba-tiba mereka hadir kemarin saat rumah kami berduka. The true solidarity. Tidak hanya perkara profesi yang menjadi bahan pembelajaran namun juga sosial. Aku yakin betul di kantor bukannya tidak ada pekerjaan yang menanti untuk segera diselesaikan. Tetapi, ya itulah...mereka.

:)

Kamis, 19 September 2013

Titik Nol

“Ketika anak baru mau berbakti, apa daya orang tua tak sanggup lagi menanti.”
--Pepatah Tionghoa

Hari ini.

Satu tahun (lebih empat hari) yang lalu, mbah kakung telah dipanggil menghadap Sang Pemilik setelah dalam kurun satu tahun kondisinya berangsur-angsur melemah. Dan hari ini, mbah putri pun telah menemui takdirnya untuk melanjutkan perjalanan menuju ke kehidupan yang abadi.

Dua tahun.
Bagi kami, utamanya bapak sebagai putra yang bertempat tinggal paling dekat, momen selama kurang lebih dua tahun merawat orang tua adalah bakti yang harus dipenuhi keikhlasan dengan luasnya kesabaran. Tak mudah, jujur sangat tak mudah mengingati semua perjalanan yang telah lalu. Tak mudah menepis keirian dengan saudara-saudara yang lain atas tanggung jawab yang sesungguhnya begitu mulia ini namun merasa “terpaksa” harus dipikul. Ketika keinginan- keinginan ini dan itu harus ditepis terlebih dahulu demi tugas ini. Ketika langkah-langkah ini dan itu harus dibebat sementara. Ketika harapan dan cita-cita yang telah tersemai musti dikondisikan dengan realitas.

Kami menjadi jarang bepergian bersama-sama dan merencanakan keluar rumah. Paling tidak satu orang diantara kami harus tinggal di rumah, lalu merekues kepada yang lain untuk lekas kembali. Kekhidmatan shalat Ied Fitri bersama umat muslim lain, tempo kemarin pun tak sempat kurasakan karena harus menunggui mbah putri. Ingin menitikkan air mata? Iya. Tetapi kuyakini ini adalah pengalaman demi pengalaman yang harus kulalui karena kelak ketika orang tua kita sendiri beranjak renta, kita pun akan mengalami hal serupa. And all that I know is it will be such a relief. Semua itu kini menjadi kenangan, kenangan yang tak akan pernah bisa diulang. Rekaman di tengah memori otak yang tak bisa disesali.

Sementara itu,  kondisi bed-rest memerlukan pelayanan dalam hampir setiap aktivitas. Minum, makan, duduk, bersih-bersih, A-Z dan tidak memandang waktu –entah pagi, siang, sore, senja, malam, atau dini hari. Titik nol. Semuanya seperti kembali layaknya saat terlahir ke dunia. Aku dan adikku seringkali berebutan saling tunjuk ketika salah satu dari kami dipanggil mbah putri. Bahkan beberapa hari belakangan aku dan ibu yang saling sikut-sikutan. Apalagi jika itu terjadi sepulang kami dari kantor. Lelah bekerja di kantor yang kuakui tidak seberapa jika dibandingkan dengan lelah mengerjakan pekerjaan rumah yang tiada habis-habisnya, tanpa sadar itu memengaruhi. Ilmu ikhlas dan sabar dalam hal ini benar-benar sulit ternyata.

Dan aku, kita, kami: rasanya masih terus harus belajar.
“Perjalanan adalah melihat rumah sendiri layaknya pengunjung yang penuh rasa ingin tahu, adalah menemukan diri sendiri yang selalu baru, adalah menyadari bahwa Titik Nol bukan berarti kita berhenti di situ. Kita semua adalah kawan seperjalanan, rekan seperjuangan yang berangkat dari Titik Nol, kembali ke Titik Nol. Titik nol dan titik akhir itu ternyata adalah titik yang sama. Tiada awal, tiada akhir. Yang ada adalah lingkaran sempurna, tanpa sudut tanpa batas. Kita jauh melanglang sesungguhnya hanya untuk kembali.”
--Agustinus Wibowo, Titik Nol.
Semoga kelak kami dan kita akan dipertemukan kembali dalam kebahagian, suka cita di jannah-Nya yang abadi. Aamiin.
Selamat melanjutkan perjalanan, mbah putri.

Selasa, 03 September 2013

Grandchild, Child, and Grandma


Lebih sederhana manakah antara merawat bayi yang baru saja lahir atau orang tua yang telah renta? Jika dikomparasikan dengan lingkup kebahagiaan, rasanya merawat bayi itu lebih menyenangkan?

Kini aku telah merasakan keduanya. Sembilan tahun yang lalu, tepat dalam transisi jenjang sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, adik bungsuku lahir. Sementara itu ibu tengah menyelesakan studi strata duanya. Tak ayal, saat ditinggalkan sendirian di rumah, akulah yang jadi “tukang jaga”. Sosok bayi di luar konteks rewel, ia hanya akan merengek ketika lapar, haus, atau buang air. Selebihnya biasanya ia akan tidur.

Berbeda dengan orang tua yang telah mengarungi bahtera kehidupannya selama berpuluh-puluh tahun. Di masa lanjut usianya, mereka akan cenderung memiliki keinginan-keinginan atas apa yang dirindukannya dan apa yang biasa dilakukannya semasa hidup sebelumnya. Rasa miris dan sedih juga cenderung lebih mudah muncul. Setelah kami sekeluarga merawat almarhum kakek yang lalu dipanggil-Nya tepat di bulan September tahun lalu; belum genap setahun kemudian, kami mendapat tugas besar untuk merawat nenek di tahun ini.

Ada sebaris kalimat yang sering diucapkan orang bahwa siklus hidup manusia itu berputar. Dari yang tidak ada akan kembali menjadi tidak ada. Dari yang bayi kelak di masa tua akan kembali lemah seperti saat setelah dilahirkan. Dan untuk itu, semuanya musti mempunyai kesabaran dan keikhlasan berlebih. Tiba-tiba sulit membayangkan apabila kelak di masa tuanya, tidak ada anak yang tinggal satu kota dengan orang tuanya. Beruntung, apabila di saat lemahnya, orang tua mau berpindah rumah dan tinggal bersama anak-anaknya. Jika tidak, tentu sang anak akan wira-wiri dengan kegiatan yang kadang tidak mampu dikompromikan.

Jurus telaten dan open (e dibaca seperti membaca e dalam paten) yang diuraikan ustadz di kantor beberapa hari lalu sepertinya juga harus dijadikan senjata dalam hal itu. Dua kata yang akan memupuk langkah darma bakti kepada orang tua. Dua kata yang akan mendongkrak kuota sabar dan ikhlas. Birrul walidain seperti itu berat, utamanya saat sebagai individu sudah dihadapkan pada kesibukan-kesibukan lain di luar perimeter tempat tinggal.

 “Urip iku mung mampir ngombe,” begitu kata dosen “kejawen” (arsitektur tradisional jawa) di bangku kuliah dulu yang kemarin sempat tercetus di bangku kantor. Ya, hidup itu hanya sebentar selayaknya seorang musafir yang beristirahat sejenak sebelum kemudian melanjutkan perjalanan panjangnya menuju tujuan yang abadi.

write is not just because i wanna to write
moreover, write is my healing process
i need that healing one as i want to tell this

Minggu, 01 September 2013

Warisan dan Profesi

Apa jadinya ketika tiba-tiba kita mendapatkan warisan yang rupanya jauh berbeda dengan ekspetasi kita pribadi dan kemudian tak bisa dikompromikan dengan profesi kita? Tiba-tiba saja pertanyaan itu menggeliat muncul ke permukaan otak. Hasilnya, mengingatkanku pada Madre-nya Dee yang berkisah mengenai sosok Tansen, seorang blogger dan peselancar di Bali yang menyenangi kebebasan hidup. Ia dipanggil ke Jakarta untuk menerima warisan berupa biang roti berusia puluhan tahun dari orang yang tidak pernah dikenalnya. Peselancar dan roti adalah hal yang sangat bertolak belakang bukan?


“Ini tempat duduk, meja, dan komputer kamu nanti ya,” kurang lebih begitu yang diucapkan manajer tim perencanaan dan perancangan yang juga seniorku di kantor awal pekan kemarin

Sebelumnya, ia telah memperkenalkanku juga kepada teman di meja sebelah kananku yang belum pernah berganti. Namanya Pak Oding, yang menjabat kepala bagian alias salah satu manajer juga. Sementara di meja sebelah kiriku belum ada penghuni tetap, konon masih dicari. Jadilah silih berganti orang yang singgah di situ.

Kerap kali aku melirik ke komputer beliau jika tengah penat. Seringnya mendapati tabel-tabel berjajajar rapi dengan barisan angka-angka bersarang di tiap kotaknya. Tapi beberapa kali kulihatnya membuka dokumen berisi garis yang membentuk bidang, dan berikutnya bidang yang membentuk ruang. Bilah-bilah pekerjaan yang sangat akrab dengan apa yang kuhadapi setiap hari.

“Itu bikin sendiri, Pak?” tanyaku iseng.

“Iya, untuk hiburan Mbak. Dulu saya belajar seperti ini dari Mas Endro, kalau Mas Endro sedang luang, saya sedikit-sedikit minta diajarin. Ya senang juga ketika akhirnya bisa bikin kusen atau kursi pakai ini,” katanya sumringah. Mas Endro adalah mantan seniorku yang telah keluar dan kini kugantikan memegang komputernya. Dari sedikit percakapan harian atas kata yang tak pernah bosan beliau ucapkan, “Belajar ini lah, kita harus kreatif sekarang, di kantor begini, nanti di rumah juga harus ada hal yang dilakukan.” Mungkin kata-kata tersebut pula yang menjadi salah satu mood-booster-ku kembali menulis di ruang ini. Dan mungkin suatu saat nanti saya juga musti belajar menata angka dan dokumen dari sosok Pak Oding ya? 

Dari beliau pula akhirnya aku menemukankembali terminologi yang sempat lama mengendap di dasar pikiran. Long life learning. Belajar sepanjang hayat, belajar tidak mengenal usia, belajar dari ayunan sampai liang lahat, atau belajar hingga ke negeri Cina. Tidak ada kata terlambat untuk belajar, dari siapapun dan dari manapun. Itu pula yang tempo hari sedikit disinggung dalam kajian pekanan di lobi kantor. Kata ustadz, belajar itu tidak hanya harus dengan niat. Tetapi juga harus titn, telatn, dan opn. Titn merujuk pada definisi bahwa sebagai pembelajar harus teliti memunguti hal-hal yang kecil dan sering diabaikan orang. Telatn dapat diterjemahkan dengan rajin dan tidak pernah bosan, juga tidak mudah menyerah. Sementara itu opn berarti mampu merawat hal-hal kecil yang telah dikumpulkan sedikit demi sedikit dengan semangat berlebih.

Lain waktu saat aku merasa kesulitan dengan suatu hal yang belum mampu kupecahkan dan tim juga belum menemukan solusi selain tebakan-tebakan mungkin ini-itu, akhirnya solusi yang muncul adalah, “Coba bertanya kepada teman-temanmu di ibukota itu. Mereka seharusnya punya jawabannya.” And it works. Belajar tidak memerlukan sekat ruang dan waktu ketika tiba pada titik aku bisa belajar jarak jauh dengan teman-teman yang terpisah ratusan kilometer.


Kembali kepada Madre, warisan dan profesi mungkin akan menjadi dua bagian yang sulit berkorelasi. Tetapi bila mengenal leluhur dan mencermati silsilah, tebakan-tebakan itu bisa jadi akan muncul dan mulai bisa mengira-ngira apa yang akan diperbuat dengan hal itu kelak. Lalu apa yang akan dilakukan dengan dua sisi yang tidak bertalian itu? Jawabannya mungkin hanya dua: mulai mempelajari hal itu sedari awal atau mencoba mencari-cari cara untuk membuat simpul.