Sabtu, 13 Juli 2013

Jakarta #1: Halo Jakarta!


Pada awalnya, Jakarta bukanlah kota yang kuingini untuk tinggal atau sekedar bertandang beberapa lama. Meski saya telah beberapa kali bertandang ke ibukota saat masih bocah, ingatan saya terbatas. Tak banyak yang saya kenang tentang kota itu di masa lalu selain megahnya Stasiun Gambir, telunjuk om yang mengacung ke puncak Monas, dan eksterior kubah Istiqlal. Beranjak dewasa, mini-metropolis itu telah membentuk perspektif pandang saya ke dalam suatu hal yang sama sekali bukan fatamorgana. Euforia ibukota kian hari kian lekat dalam percakapan sana sini. Saya angkat tangan, tidak siap dengan tantangan yang menghadang di depan. Saya memang seharusnya tahu jika saya tak boleh berkata begitu sebelum saya mencecapnya sendiri.

Bahkan tawaran bekerja di sebuah gedung prestisius di salah satu kawasan central business district pun saya abaikan. Sebegitukah Jakarta menjadi momok bagi saya? Beberapa bulan pun akhirnya berlalu hingga akhirnya saya terdampar di kota hujan, Bogor, selama sebulan. Satu hal yang membesarkan hati saya saat itu hanyalah: saya memiliki saudara di sana. Dan dari Bogor lah saya akhirnya mengenal Jakarta lebih dekat. Suatu kali saya nekat menjumpai seorang kawan yang bahkan tak ada rencana sebelumnya, jujur sebenarnya demi undangan dadakan untuk mengikuti tapping Mario Teguh selama sehari penuh.

Berbekal panduan jalur perjalanan, maka berangkatlah saya ke Jakarta pada satu senja akhir pekan. Itulah kali pertama saya mengenal Trans Pakuan Bellanova-Bogor Kota; mencicip angkot dari kota seribu angkot; dan juga berdesakan di dalam KRL. Gedung-gedung maha tinggi kemudian akrab menyapa, berbaur dengan langit kelabu. Bukan langit sendu, namun langit yang berwarna kelabu. Sebegitu berbedanya warna langit ibukota dengan kota satelitnya, batin saya saat itu. Kereta komuter itu akhirnya tiba di stasiun besar Tanah Abang, sempat terpikir apakah saya turun saja di stasiun Sudirman atau Karet yang tidak begitu jauh dari kontrakan kawan. Tetapi dengan pertimbangan familiarnya rute, akhirnya saya menuruti saja kata teman. Stasiun Tanah Abang. Period.

Geliat ibukota begitu terasa saat melihat orang-orang berlarian sana sini demi mengejar jadwal kereta. Ya, setelah bertahun-tahun saya bergelut dengan moda transportasi ini, saya pun mengakui bahwa kereta adalah salah satu hal yang mampu mengajarkan kepada penumpang-penumpangnya arti tepat waktu. Saat hampir terlambat dan kereta bersiap berangkat, selagi pintu belum tertutup kita masih bisa melompat. Beberapa detik terlambat, kereta mulai berjalan lambat, maka itulah penyesalan terhebat. Jakarta memberikan sensasi yang berbeda lagi, berdesak-desakan setidaknya selama satu jam adalah pemakluman.

Sampai akhirnya kereta tiba di pemberhentian terakhir, stasiun tujuan saya. Saya tersadar jika saya telah sampai di jantung ibukota, Jakarta Pusat. Selanjutnya? Saya tidak tahu arah. Sama sekali buta, dan itu tak terpikirkan sebelumnya. Apa mau dikata, ask someone who you believe. Meski begitu tetap saja saya salah arah, berulang kali bertanya. Terkadang saat kau sendiri dan dalam keadaan terpaksa, kau justru bisa melakukan hal-hal yang tak kau kira terjadi.

Beberapa saat kemudian saya sudah berada di atas angkot, hanya terdiri dari sopir dan satu penumpang di sampingnya yang menggendong balita. Tanah Abang, Karet Bivak, Benhil, dan akhirnya sekitar setengah jam kemudian sampailah saya di depan Kantor PAM lama. Itulah meeting point yang kami sepakati. Sementara itu dari sudut jalan yang berlawanan, tampak berjalanlah salah satu kawan karib saya selama kuliah. Setelah kulambaikan sebelah tangan, akhirnya berlarilah kami saling menjumpai satu sama lain, berlari bombay.

Dan hug! Tak peduli orang yang berlalu lalang di sekitar kami. Yang saya pikirkan hanyalah saya telah menaklukkan perjalanan solo pertama saya ke Jakarta dan menjumpai kawan yang sudah lama tak bersua. Saya telah menyelesaikan tantangan yang saya tentukan sendiri, saya buat sendiri, dan saya lampaui sendiri. Ya, akhirnya, “Halo Jakarta!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar