Sabtu, 27 Juli 2013

Jakarta #4: Pejalan Kaki


Berbicara mengenai transportasi dan jalanan ibukota mestinya menjadi persoalan yang sangat serius. Tak dapat dielakkan bahwa permasalahan moda transportasi sudah masyhur ke segala penjuru. Bahkan konon Jakarta dinobatkan sebagai kota ketiga di dunia dengan tingkat keruwetan yang sangat tinggi.

Jika di kampung halaman, jalanan selebar tiga meter cukup menjadi jalur alternatif yang sangat lengang. Maka di ibukota jalanan tersebut bisa menjadi jalan utama yang padat merayap. Bahkan mayoritas ruas jalan sudah tidak menyisakan ruang bagi pejalan kaki. Sepeda motor yang sangat lincah dan gesit menyalip kendaraan roda empat pun turut memanfaatkan trotoar. Belum lagi ruas-ruas jalan yang lebih parah, tidak memberikan trotoar. Alih-alih justru badan jalan langsung berbatasan dengan saluran air yang bisa dibayangkan warnanya: cokelat kehitaman. Dan sayangnya itulah yang terjadi di lingkungan tempat tinggal saya.

Memilih moda transportasi umum sebagai alternatif tentu saja bukan pilihan yang buruk. Namun bukannya tanpa kekurangan, stok kesabaran harus ekstra. Jarak dekat dapat tertempuh dalam waktu yang berlipat dari estimasi pada waktu-waktu tertentu, utamanya pagi dan petang. Apalagi saat Sabtu malam yang populer dengan istilah SatniteSaturday night. Sabtu malam rentan dengan padatnya kendaraan, paling parah saat kendaraan tidak dapat bergerak sedikit pun selama beberapa menit.

Apabila sudah seperti itu, perlu strategi tersendiri untuk menghindari kebosanan di dalam angkutan umum. Entah mendengarkan musik, berselancar di dunia maya, sekadar chit-chat dengan kawan-kawan, atau melongok ke luar jendela dan cukup menikmati saja perjalanan itu. Namun yang wajib diperhatikan kala menggunakan piranti teknologi di ruang publik, harus disertai kehati-hatian yang ekstra pula. Meski belum pernah mengalami sendiri, berita-berita negatif yang berseliweran melalui berbagai media sudah cukup menjadi bekal.

Hari-hari awal di ibukota saya memilih untuk bepergian ke kantor on foot, jalan kaki. Jarak ke kantor tidak terlalu jauh, lima belas menit berjalan kaki. Lumayan juga untuk sekedar berolahraga, sambil menyelam minum air. Nikmatnya tentu saja lebih menghemat pengeluaran harian. Dengan berkorban jalan kaki? Tidak. Berjalan kaki pada akhirnya menjadi suatu hal yang menyenangkan bagi saya. Hidup seorang diri membuat saya merasa tak perlu mengasihani diri sendiri secara berlebihan. Tak perlu merengek kehausan, jika saya masih bisa mendapatkan air minum. Tak perlu melonjak kelelahan, jika saya nantinya akan menemukan tempat duduk.

Tapi, ya tentunya masih ada tetapi. Tetapi polusi udara Jakarta begitu buruk. Tetapi harus berhati-hati berbaur dengan padatnya berbagai macam kendaraan yang lain. Tetapi udara panas dan tidak ada pohon-pohon perindang. Tetapi harus waspada dengan berbagai hal yang mungkin akan terjadi. –Tetapi hal itu tidak bisa memupus niat saya untuk tetap berjalan kaki. Hehe.

Selasa, 16 Juli 2013

Jakarta #3: Seperti Orang Hilang


Petualangan pagi pertama saya di ibukota dimulai dengan sambutan semburat cahaya matahari. Tidak ada lagi kokok ayam yang saling bersahutan atau tetes-tetes embun yang masih menempel di muka daun. Sepanjang pandang mata hanya bangunan-bangunan rapat hingga hanya tersisa sedikit lahan untuk tempat bertumbuh pohon hijau. Kendaraan pun mulai ramai berjalan pelan, terlalu sulit untuk saling menyalip.

Ini adalah kisah yang paling resah dan paling ingin kusembunyikan, gejolak-gejolak yang mampu menggoyahkan langkah dan membuat menyerah. Sebelum mendapatkan tempat tinggal sementara di Jakarta, saya memutuskan transit sejenak. Di mana? Keputusan terakhir yang saya ambil, di kost temannya teman saya. Cukup asing sebenarnya karena kami belum pernah sekalipun bertemu. Saya hanya mengandalkan apa yang namanya trust (mungkin).

Rasa segan mendadak hadir saat saya tiba di sana lebih pagi dari waktu yang diperkirakan. Saya tiba pukul enam pagi. Menjumpainya untuk pertama kali, dan rehat sejenak. Sebelum akhirnya saya terbangun dan merasa terlalu siang untuk berputar ke lokasi calon tempat tinggal saya di rantau yang sebenarnya. Jujur, kecewa kepada diri sendiri. Apa yang sudah dimulai, harus segera diselesaikan. Bergegas saya berangkat untuk petualangan perdana di belantara ibukota.

Dengan berbekal peta hasil mencetak dari sebuah situs di internet, saya nekat. Sendirian? Ya. Saya naik angkot putih dengan kode C9 kalau tidak salah ingat, jurusan mana, saya pun lupa. Benar-benar buta arah. Hingga akhirnya saya dioper ke angkot berwarna biru muda yang kemudian saya tahu itu menguasai rute Ciputat-Pasar Jumat-Kebayoran. Seturunnya dari armada itu, hujan mendadak turun deras sekali. Beruntung “pemandu” dadakan saya, seorang anak kecil yang saya temui di angkot tadi memilih pemberhentian di halte. Dan itu berarti saya sudah sedikit lebih dekat dengan destinasi.

Halte itu ramai. Tapi saya merasa sendirian, sepi. Ingin menangis seiring jatuhnya limpahan air dari langit. Apakah saya akan semudah itu menyerah? Hingga jarum jam bergeser dari angka dua belas, hujan tak jua reda. Lalu sampai jam berapa kah saya harus bertahan ‘tak bergerak’ di sini. Seakan selama beberapa waktu itu saya hanya menghitung tik tok detik sang waktu. Cemas, khawatir, takut, senyap jadi satu.

Begitu jarum jam mulai bergeser menjauhi angka satu...
Syukur, hujan mereda. Saya dan anak kecil itu pun berpisah dan belum bertemu kembali. Saya langkahkan kaki, usai menanyakan kembali arah menuju destinasi saya. Sempat terdapat simpang siurnya informasi. Ternyata orang setempat pun tak begitu familiar dengan daerahnya sendiri. Selamat datang di angkot merah KWK 08. The most favourite angkot then. Dengan angkot itu akhirnya saya menemukan destinasi saya.

Dan perjalanan belum usai, kawan. Kemana saya akan mencari tempat tinggal sementara. Ask someone who you believe! Dari sana saya mengenal bapak penjual mollen di depan kantor yang ternyata asli Jawa Tengah, logat ngapak-ngapak seketika kental. Lalu mbak penjual nasi yang asli Pemalang, akhirnya menjadi tetangga selama sebulan pertama di Jakarta. Dan tak lupa bapak penjaja bubur ayam yang juga orang Jawa Tengah, yang begitu baik hati. Tahukah kamu, ada kebahagiaan tersendiri saat kita merantau, lalu di rantau itu bertemu dengan sosok-sosok dari daerah yang hampir sama. Paling tidak memiliki bahasa ibu yang tipikal.

Baiklah, setelah dalam gerimis menjelang sore yang akan sangat dramatis jika diabadikan saya berputar-putar dari satu gang ke gang yang lain: saya mendapat tempat tinggal sementara. Paling tidak saya sudah menyelesaikan tantangan itu. Meski tidak well-done. Meski saya pulang kembali ke tempat transit pun diiringi dengan hujan yang kian deras mengganas. Payung pun tak kuasa menahan hempasan air, alih-alih justru terbawa angin.

At last: akhirnya malam harinya kami, saya dan teman baru saya, crash. Rasanya tak perlu saya ceritakan kawan. Saya tidak tega kamu mendengarnya. Benar jika malam itu kamu mengira saya menangis, tapi itu tangis kebahagiaan dan kesedihan, kawan. :)

PS: thanks and sorry for whoever include in this journal, please don’t mind, you’ve made me better and stronger.

Senin, 15 Juli 2013

Storey of Story #3


Kawan, hari ini Dinda telah berjanji akan mengajakku berkunjung ke rumahnya, rumah ayah bundanya lebih tepatnya. Kami telah menyepakati untuk bertemu di bawah jajaran pokok-pokok pohon randu. Dan di situlah aku berada saat ini. Menunggunya.

Beruntung tak lama kemudian sosok gadis kecil itu muncul dari tikungan jalan. Kepalanya samar terlihat menyembul di balik pucuk-pucuk ilalang. Langkah kakinya naik turun, membuatnya terlihat begitu lucu. Begitu aku melambaikan tangan padanya, sontak ia segera berlari. Larinya tak cepat. Ia pernah mengadu padaku jika ia selalu kalah kalau ada perlombaan lari di sekolah atau saat perayaan tujuh belas Agustus-an. Karenanya ia sangat tidak suka pelajaran olahraga. Prestasinya selalu lemah di sana.

Senyum simpulnya tiba-tiba saja sudah hadir di depan mukaku. Tangan mungilnya segera menarik tanganku, menggenggamnya, lalu menarikku berdiri. Kami berjalan pelan bersisian ditemani hangatnya mentari. Ia terdiam tak bicara. Hanya langkah kakinya yang menjadi penunjuk arah ke mana aku harus turut menjangkah. Dan genggaman tangannya tak surut, Dinda justru semakin erat menggenggam tanganku. Seolah bocah kecil itu takut jikalau tiba-tiba aku melepaskan genggaman dan berlari meninggalkannya. Sejenak kemudian sebelah tangannya menunjuk pada satu arah. Tampak cerukan tak berpagar di sisi jalan depan sana. Pohon-pohon lebat mengelilinginya, melinjo, pisang, belimbing, dan aku berdebar saat melihat kamboja di sana. Bulu kudukku berdiri, sedikit gemetar. Dinda kian cepat melangkah, tak gentar. Kian bergegas dan sedikit berlari.

Di balik cerukan itu, bangunan tua berdiri. Berdinding anyaman bambu yang dilipit di antara tiang-tiang kayu yang berpijak pada umpak batu. Bagian depan rumah semuanya dihiasi daun-daun pintu yang jika semuanya dibuka, satu sisi rumah akan hilang. Lantainya terbuat dari semen kasar yang sudah kecokelatan karena lamanya usia. Sebagian lantai bahkan masih berupa tanah yang telah memadat berwarna kehitaman. Namun penglihatanku tak luput dari ukiran sederhana penyangga atap. Di beberapa bagian nampak untaian aksara yang entah apa artinya.

“Di sinilah aku tinggal, bersama ayah, bunda, adik, dan Kitty.”

Dinda sumringah di sampingku sudah dengan Kitty kesayangannya yang tak bosan ia ceritakan. Sepertinya hanya itulah mainan satu-satunya selain balok-balok susun hadiah dari pamannya yang bekerja di ibukota. Kalau begitu, lalu wayang-wayang daun nangkanya itu adalah benar-benar sepenggal kreativitasnya dalam keterbatasan, batinku.

Aku mendadak kelu.

Jakarta #2: Perjumpaan Kembali


Jakarta dengan segala kerumitannya kembali menarik saya untuk melaju bersama putaran masanya. Beberapa bulan pasca pulang dari kegiatan di Bogor, Jakarta kembali memanggil saya. Saya kembali ke Jakarta, saya akan tinggal di sana. Entah akan berapa lama. Seperti kebanyakan manusia di seantero negeri pertiwi ini, Jakarta menjadi salah satu tempat untuk mengadu nasib dan mempertaruhkan masa depan. Dan saya akan mencobanya, to work in the capital city.

Sebelum berangkat, ibu sempat meyakinkan saya apakah benar saya sungguh-sungguh akan berangkat ke Jakarta? Apakah yakin berani berangkat seorang diri? Saya tak tahu sebenarnya seperti apa perasaan ibu saat itu. Mungkinkah beliau merasa berat melepas saya pergi sedikit lebih jauh lagi dari kota-kota yang sempat saya rantaui? Bukan sedikit lebih jauh mungkin masalahnya, melainkan Jakarta dengan segala bentuk citranya. Beberapa ibu yang di kemudian hari saya temui, mengungkapkan, “Ya, bagaimana kalau jauh sama anak, pikirannya jadi kemana-mana.” Tetapi pakaian saya sudah rapi dikemas, dan saya bersiap berangkat.

Perjalanan ke barat melalui jalan darat non rel rasanya sudah tidak asing lagi bagi saya. Meski tak ingat alurnya secara pasti, namun saya tak asing lagi dengan jalan-jalan yang harus saya lalui. Jalur di Kebumen yang berkerikil dan berlubang-lubang atau liukan-liukan medan kala mendaki perbukitan demi perbukitan di Garut. Itu bila melalui jalur selatan Pulau Jawa. Berbeda halnya dengan jalur utara, aroma udaranya kental dengan laut, terasa asin. Pertautan kedua jalur akan terjumpai pasca melalui tepian Bandung atau Sumedang, dan memasuki pintu tol Cikampek-Jakarta. Nuansa ibukota mulai terasa.

Keberangkatan kembali ke Jakarta ini, saya memilih moda transportasi travel. Yeah cause I am traveller? Alasan terbesar saya sebenarnya karena lebih praktis, sopir akan mengantar penumpang hingga ke depan pintu apalagi tujuan saya lumayan jauh dari stasiun besar. Jadi, tak perlu lagi repot-repot menjinjing tas superb kesana kemari serta bergonta-ganti angkutan. Selain itu, lampu yang dimatikan dan kuota penumpang yang terbatas menjadi opsi selanjutnya. Bisa lebih leluasa menutup mata. Tidak seperti kereta api dengan lampu yang senantiasa menyala. Well, saya juga kurang suka jika kemudian ada kebijakan lampu kereta dimatikan. Terlalu riskan dengan skala badan gerbong yang besar.

Apabila ada kelebihannya tentu ada kekurangannya. Kendaraan travel ini akan berulang berhenti, paling tidak sebanyak tiga kali. Sekitar pukul delapan malam, tengah malam, dan pukul lima pagi. Belum lagi, kalau terjebak jalanan yang macet. Entah macet karena volume kendaraan tak sebanding dengan jalan raya yang disediakan atau pun terjadinya kecelakaan lalu lintas. Selain itu, prinsip travel adalah menjemput dan mengantar penumpang sampai depan pintu. Oleh karenanya harus ekstra sabar sampai sopir menyelesaikan tugas penjemputan dan kursi penuh dan kemudian menunggu antrian pengantaran. Tak jarang sampai tujuan ketika matahari sudah sepenggalah naik.

Tujuan di Jakarta Timur biasanya akan diantarkan paling awal. Sementara itu, Jakarta Utara dan Jakarta Selatan akan dikoordinasikan dengan sopir yang lain. Biasanya sopir akan membagi penumpangnya sesuai tujuan yang searah. Pasrah, tujuan saya adalah Jakarta Selatan sedikit keluar batas administrasi kota. Diantarkan hampir terakhir, dan terkena charge lagi, dan itu sudah wajar.

Menjumpai Jakarta di pagi hari adalah suatu ketakjuban tersendiri. Berbaur dengan kemacetannya yang sudah menjadi makanan sehari-hari. Menghirup udaranya yang sudah terkontaminasi polusi. Dan menatap langit siangnya yang tak lagi biru sebiru-birunya. Satu hal yang kemudian saya rindukan adalah bahwa saya tak bisa lagi menatap bintang-bintang di kala malam menjelang.

Sabtu, 13 Juli 2013

Jakarta #1: Halo Jakarta!


Pada awalnya, Jakarta bukanlah kota yang kuingini untuk tinggal atau sekedar bertandang beberapa lama. Meski saya telah beberapa kali bertandang ke ibukota saat masih bocah, ingatan saya terbatas. Tak banyak yang saya kenang tentang kota itu di masa lalu selain megahnya Stasiun Gambir, telunjuk om yang mengacung ke puncak Monas, dan eksterior kubah Istiqlal. Beranjak dewasa, mini-metropolis itu telah membentuk perspektif pandang saya ke dalam suatu hal yang sama sekali bukan fatamorgana. Euforia ibukota kian hari kian lekat dalam percakapan sana sini. Saya angkat tangan, tidak siap dengan tantangan yang menghadang di depan. Saya memang seharusnya tahu jika saya tak boleh berkata begitu sebelum saya mencecapnya sendiri.

Bahkan tawaran bekerja di sebuah gedung prestisius di salah satu kawasan central business district pun saya abaikan. Sebegitukah Jakarta menjadi momok bagi saya? Beberapa bulan pun akhirnya berlalu hingga akhirnya saya terdampar di kota hujan, Bogor, selama sebulan. Satu hal yang membesarkan hati saya saat itu hanyalah: saya memiliki saudara di sana. Dan dari Bogor lah saya akhirnya mengenal Jakarta lebih dekat. Suatu kali saya nekat menjumpai seorang kawan yang bahkan tak ada rencana sebelumnya, jujur sebenarnya demi undangan dadakan untuk mengikuti tapping Mario Teguh selama sehari penuh.

Berbekal panduan jalur perjalanan, maka berangkatlah saya ke Jakarta pada satu senja akhir pekan. Itulah kali pertama saya mengenal Trans Pakuan Bellanova-Bogor Kota; mencicip angkot dari kota seribu angkot; dan juga berdesakan di dalam KRL. Gedung-gedung maha tinggi kemudian akrab menyapa, berbaur dengan langit kelabu. Bukan langit sendu, namun langit yang berwarna kelabu. Sebegitu berbedanya warna langit ibukota dengan kota satelitnya, batin saya saat itu. Kereta komuter itu akhirnya tiba di stasiun besar Tanah Abang, sempat terpikir apakah saya turun saja di stasiun Sudirman atau Karet yang tidak begitu jauh dari kontrakan kawan. Tetapi dengan pertimbangan familiarnya rute, akhirnya saya menuruti saja kata teman. Stasiun Tanah Abang. Period.

Geliat ibukota begitu terasa saat melihat orang-orang berlarian sana sini demi mengejar jadwal kereta. Ya, setelah bertahun-tahun saya bergelut dengan moda transportasi ini, saya pun mengakui bahwa kereta adalah salah satu hal yang mampu mengajarkan kepada penumpang-penumpangnya arti tepat waktu. Saat hampir terlambat dan kereta bersiap berangkat, selagi pintu belum tertutup kita masih bisa melompat. Beberapa detik terlambat, kereta mulai berjalan lambat, maka itulah penyesalan terhebat. Jakarta memberikan sensasi yang berbeda lagi, berdesak-desakan setidaknya selama satu jam adalah pemakluman.

Sampai akhirnya kereta tiba di pemberhentian terakhir, stasiun tujuan saya. Saya tersadar jika saya telah sampai di jantung ibukota, Jakarta Pusat. Selanjutnya? Saya tidak tahu arah. Sama sekali buta, dan itu tak terpikirkan sebelumnya. Apa mau dikata, ask someone who you believe. Meski begitu tetap saja saya salah arah, berulang kali bertanya. Terkadang saat kau sendiri dan dalam keadaan terpaksa, kau justru bisa melakukan hal-hal yang tak kau kira terjadi.

Beberapa saat kemudian saya sudah berada di atas angkot, hanya terdiri dari sopir dan satu penumpang di sampingnya yang menggendong balita. Tanah Abang, Karet Bivak, Benhil, dan akhirnya sekitar setengah jam kemudian sampailah saya di depan Kantor PAM lama. Itulah meeting point yang kami sepakati. Sementara itu dari sudut jalan yang berlawanan, tampak berjalanlah salah satu kawan karib saya selama kuliah. Setelah kulambaikan sebelah tangan, akhirnya berlarilah kami saling menjumpai satu sama lain, berlari bombay.

Dan hug! Tak peduli orang yang berlalu lalang di sekitar kami. Yang saya pikirkan hanyalah saya telah menaklukkan perjalanan solo pertama saya ke Jakarta dan menjumpai kawan yang sudah lama tak bersua. Saya telah menyelesaikan tantangan yang saya tentukan sendiri, saya buat sendiri, dan saya lampaui sendiri. Ya, akhirnya, “Halo Jakarta!”

Storey of Story #2

here
Konon orang bilang jika langit biru merona pertanda hari yang cerah. Benarkah? Apakah benar juga, premis bahwa mendung lekat dengan kelam dan buram, tak ada harapan. Dengan kata lain mendung memiliki aura negatif?

Apapun itu, benak kecil Dinda tak pernah menyuarakan persepsi itu. Kapasitas otaknya masih jauh untuk bisa menjangkau permasalahan 'serumit' layaknya langit biru dan ceria. Baginya, langit biru atau pun mendung toh sama saja. Tak ada bedanya. Saat langit biru, ia bisa bebas bermain-main ke kali, sekedar berkecipak bersama riak-riak air dari kaki Merapi. Atau menangkapi ikan-ikan alam yang gesit melesat begitu tangannya mendekat. Ketika ia telah puas, lalu ia akan menceritakan padaku, mengenalkan hasil tangkapannya hari itu, beberapa macam ikan kecil sampai dengan bayi-bayinya; udang; hingga kepiting. Dan aku baru tahu bila kali kecil itu menyimpan banyak misteri.

Begitu pula saat mendung, besar harapannya agar gerimis kecil segera menetes, membelai lembut kedua pipi mungilnya. Lalu ia akan berdendang riang di bawah shower raksasa, berlarian tanpa alas kaki di atas tanah halaman rumah. Baginya, hujan-hujanan adalah salah satu cara mengekspresikan kegembiraan. Meski ayah bundanya terkadang khawatir ia akan sakit bila terlalu lama terpapar hujan. Toh ia tetap bandel dan tersenyum hingga badannya akan menggigil kedinginan.

Melihatnya senantiasa riang, seakan terasa bahwa semesta begitu indah. Indah dalam sekejap. Lalu lupa saat mengingat jatuh bangun perjalanan di usia yang tak lagi muda. Aku, pun engkau, rasanya pun pernah mengalami suatu masa panjang seperti yang pernah Dinda alami. Ketika beban hidup tak terasa di pundak. Tapi aku tahu apa yang harus aku tahu dari sosok Dinda, mesti memikirkan hal yang baik-baik. Bahasa kerennya orang mancanegara katanya adalah: positive thinking. Meski memang memikirkan hal yang baik-baik tak selalu baik.

Partitur hidup. Aku jadi teringat seorang kawan yang pernah mengangkat tema partitur sebagai judul tugas akhirnya. Bentuk tertulis pada komposisi musik, not-not di atas garis-garis paranada, itulah partitur yang sebenarnya. Music is my life, sudah jamak orang mengamini pernyataan itu. Bagiku, ya musik adalah hidupku. Musik adalah jalinan nada yang naik turun sesuai keinginan Sang Pencipta. Komposisinya tentu akan menghasilkan ritme yang memesona. Aku percaya itu. Dan Dinda adalah salah satu not di lagu itu.

Stay rock on!

Jumat, 12 Juli 2013

Storey of Story #1



Pagi yang cerah, matahari merekah, bersinar melampaui cakrawala. Namun hal itu tak dihiraukannya saat itu.  Pikirannya tertuju pada sesuatu di bawah pohon sana. Izinkan kusebut namanya Dinda. Ya, Dinda, ia terlalu sibuk memunguti daun demi daun nangka yang satu per satu gugur terhempas angin. Daun berwarna cokelat yang telah uzur itu ia susun rapi di tangan mungilnya, layaknya menata lembaran kartu atau uang kertas. Daun-daun tua itu telah kering dan kaku, terlalu mudah rapuh jika digenggam terlalu kuat. Merasa tangan sudah tak muat lagi menampung lembaran daun berlebih, lalu ia berjalan menjauh dari batang pohon.

Dinda menghitung daun-daun yang telah berhasil ia kumpulkan itu. Di belakangnya, tepatnya di dinding tua yang terbuat dari anyaman bambu, daun-daun yang lain telah berjajar rapi. Rapi bagi ukuran Dinda tentu saja. Itu adalah pekerjaan Dinda hari kemarin. Sama seperti hari ini, selama tinggal di rumah eyangnya sejak dua hari yang lalu, ia senantiasa mengumpulkan daun-daun nangka. Bukan agar eyang tak perlu susah payah menyapu halaman samping rumahnya, perkara itu justru sama sekali tak ada di dalam benaknya.

Mungkin Dinda hanya kehilangan mainannya sehari-hari. Boneka Kitty teman tidurnya, si kucing tak bermulut, atau pun balok-balok susun. Meski rumah ayah tak jauh dari rumah eyang dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki, Dinda merasa itu tak perlu dilakukannya. Ia juga lupa bagaimana awal mula ia memiliki ide mengumpulkan daun nangka dan menjejernya di dinding luar rumah eyang. Susunan dedaunan itu bahkan telah melampau tinggi badannya sendiri. Bangku panjang dari gelondongan bambu yang sengaja diletakkan di situ untuk sekedar duduk-duduk santai kala sore, telah membantunya menjalankan misi.

Begitu juga hari ini. Ia terus menambahkan daun-daun itu dengan jalan menyelipkan tangkai daun ke balik lipatan anyaman dinding bambu. Eyangnya yang turut menemaninya pun hanya tersenyum, tak memberikan komentar apapun, atau bahkan melarangnya agar dinding itu tidak terkesan berantakan. Seolah eyang mengamini tingkah Dinda setelah kemarin Dinda berkata, "Eyang, daun ini bentuknya seperti wayang. Warnanya juga cokelat."

Entah sampai kapan Dinda akan menyudahi permainan barunya, mainan yang tak dijual di mana pun, mainan yang ia buat sendiri. Sampai lelah mungkin?