Rabu, 05 Juni 2013

Do You Dare to Live in Jakarta?



Satu tahun yang lalu engkau bilang:
gedung-gedung maha tinggi itu menyapamu
Lalu tukasku:
Tidak kurasa, ia membisu,
dan yang Mahatinggi hanyalah Engkau.
–Jakarta, 2 Juni 2013

Akhirnya saya menanggalkan Jakarta dari habitat semula. Mengganti pelbagai riwayat tempat tinggal, memperbaruinya dengan kota yang baru.

Namun, mencoret Jakarta tidaklah semudah membubuhkan dua garis hitam di atas jajaran tujuh huruf itu. Sebagai kota yang telah menggoreskan begitu banyak kenangan –meski hanya sejenak, ia mengajarkan saya banyak hal. Ia memperkenalkan saya pada dunia yang baru. Ia membukakan jendela dunia itu, mempersilakan, memberikan ruang nan lapang untuk sebuah saujana.

Saya rasa semua itu tidaklah sebanding dengan tetes peluh saat turut berjejalan di dalam moda transportasi seperti Commuter Line atau Trans Jakarta. Tidak pula dengan kekhawatiran atas hal-hal negatif yang mungkin saja terjadi dalam setiap perjalanan di kota tersebut, entah angkutan kota atau sekedar berjalan santai di trotoar seputar Bundaran Hotel Indonesia. Jakarta mengajarkan saya untuk waspada ketika Ia memutar adegan seorang mancanegara kehilangan dompetnya. Miris. Begitukah cerminan ibukota, yang selayaknya menjadi ruang penyambutan bagi tamu dari luar negeri?

Jakarta menahbiskan pula makna kesabaran. Ruas-ruas jalan yang senantiasa penuh dengan kendaraan. Tak jarang meluap ke tepian, hingga para pejalan kaki (seperti saya) kehilangan kenyamanannya. Belum lagi, bila jarak mengharuskan untuk menikmati jasa transportasi publik. Stagnan, tidak bergerak sama sekali selama beberapa menit yang kemudian berulang kembali beberapa kali (pula), adalah suatu kelaziman. Mahfum, apabila teriakan, gerutuan kesal, lengkingan klakson lalu meramaikan suasana yang sudah ramai. Maklum, jika hari telah senja, para sopir angkutan umum seringkali kehilangan kesabarannya. Apakah target setoran hari itu belum mencapai target?

Jakarta membawaku melihat kolong-kolong jalan layang, tepian rel, juga bantaran sungai. Ah, tidak usah sejauh itu. Cukuplah dalam setengah jam perjalanan di Metromini menuju Blok M dengan hiburan yang tak henti-hentinya silih berganti. Para pengamen atau pedagangan asongan, laki-laki maupun wanita, beragam usia, dengan sejuta ‘kreativitas’ yang mereka tawarkan. Ucap saya di dalam hati: ada-ada saja cara mereka mengais rezeki untuk menyambung kehidupan. Inikah wajah Jakarta? Mengapa harus Jakarta?

Jakarta adalah ruang prestisius. Bangunan-bangunan tinggi menjulang megah. Central business district terus-menerus dikembangkan. Mal dan apartemen bermunculan seperti jamur di musim penghujan. Kompetisi pelik pada setiap lini massa dan masa.  

Dan Jakarta adalah kota yang secara tidak sadar telah melakukan pembodohan publik. Jakarta adalah kota metropolitan yang seakan tidak ingin dijuluki Jawa.
“Aku  ingin ke Jawa?” ucap seorang kawan.
“Memangnya sekarang kamu tidak sedang di Jawa?”
Jakarta memang bukan di Jawa ya, dan Jawa tidak memangku Jakarta. Sering ingin menghela napas panjang kalau sudah begini. Demi prestige?

Mencoba hidup di Jakarta, rasanya bukan sesuatu yang salah. Saya lalu teringat celetukan paman beberapa waktu yang lalu. Beliau berkata bahwa kelak saat saya meninggalkan Jakarta dan kembali ke rumah, saya akan mengerti bersyukur. Dan itu benar. Apabila banyak orang berargumen bahwa Jakarta adalah kota yang keras, kota yang tidak ramah, hal itu pun benar. Jakarta serupa ruang sempit yang tidak muat untuk menyelonjorkan kaki. Jakarta bagaikan rumah yang sesak untuk bernapas.

Tetapi,
"Aku tak diperbolehkan ke Jakarta," seru serempak kawan-kawan.
Lalu aku hanya tersenyum.
Jakarta telah menyimpulkan lengkung cekung di sini.
:)

3 komentar: