Senin, 26 November 2012

Kotagede, Perjumpaan di Balik Modernitas

Berbicara tentang Kotagede rasanya tidak luput dari kata "perak" dengan deretan kubikal yang menjajakan berbagai kreasi dari logam tersebut. Kawasan Kotagede di sisi selatan Kota Yogyakarta ini memang sangat termasyhur dengan industri peraknya. Namun di sudut yang lain terdapat satu titik wisata yang bagi saya cukup tersembunyi di balik keriuhan penjaja perak. Di sanalah terletak kompleks Masjid Kotagede yang menyatu dengan Makam Raja Mataram.
pintu gerbang masuk kompleks
Pintu gerbang masuknya mungil namun kokoh seperti kori atau candi bentar pada bangunan Bali. Hanya dapat dilalui dua orang secara beriringan dengan tinggi pintu yang tergolong sedang --hal ini mengingatkan saya pada konsep bangunan Jawa bahwa pintu yang dibuat rendah memiliki maksud agar para tamu menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan kepada tuan rumah. Daun pintu yang terbuat dari kayu penuh dengan ukiran pada dua sisinya. Terasa sangat tradisional ketika mengamati engsel putarnya yang juga dari kayu serta pengunci daun pintu seperti rumah-rumah tempo dulu.
pengunci pintu
engsel putar
 ***

masjid kotagede
Memasuki pelataran masjid akan dijumpai sculpture berupa tugu jam berwarna hijau muda diantara beberapa pohon perindang. Di sisi kiri dan kanan terdapat bangunan tunggal seperti balai-balai tanpa tembok sebagai area peristirahatan. Pada bagian depan masjid tersaji kolam yang membatasi bagian depan beranda masjid yang harus dilintasi untuk masuk area masjid. Masjid yang dibangun pada tahun 1856-1926 ini didominasi warna hijau tua dan putih mengacu pada warna yang digunakan di Keraton Yogyakarta.
tugu jam
Material pagar yang membentuk laksana labirin mini didominasi batu bata ekspos dengan beberapa ornamen yang tersusun sesuai pola tertentu. Ornamen berupa corak flora dan barong menghiasi beberapa sisi pagar. Labirin mini itu membawa saya menuju area di samping masjid yang dibatasi dengan pagar tinggi. Di sanalah area pemakaman Raja Mataram berada. Salah satunya adalah makam Kandjeng Panembahan Senopati yang bertahta di Mataram pada tahun 1579 dan wafat pada tahun 1601. Namun saat saya berkunjung ke sana bertepatan dengan waktu shalat jum'at sehingga makam ditutup selama satu jam. Lagi pula untuk memasuki area pemakaman kamera dan peralatan dokumentasi harus disimpan.
pola-pola ornamen pada pagar
Saya pun berputar haluan menuju gerbang di sisi yang lain. Pelataran di depan saya terletak agak ke bawah, jadi saya harus menuruni beberapa anak tangga untuk sampai di pelataran berikutnya. Ternyata itu adalah kolam-kolam pemandian yang terdiri dari sendang wadon (perempuan) dan sendang lanang (laki-laki) dengan dua balai di dekatnya, salah satunya disebut balai kencur. Sendang wadon dan sendang lanang terletak terpisah dengan pembatas berupa pagar. Sendang wadon terkesan lebih tertutup dengan atap limasan yang melingkupi kolam. 
sendang lanang

Tak ketinggalan, di dekat sendang wadon saya menjumpai dua buah "offerings". Tradisi ini masih menjadi kepercayaan bagi para abdi dalem yang menjaga kawasan ini. Sebuah fenomena yang sungguh berbeda dari perjumpaan dengan perak di luar pagar yang begitu modern.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar