Rabu, 26 September 2012

Kepulangan

blendungmycity.com
"Apa rasanya ketika seseorang yang sebelumnya setiap hari kita jumpai, lalu detik itu juga takdir berkata bahwa kesempatan untuk menjumpainya telah habis?"
Aku baru saja merasakannya. Ada sesuatu yang benar-benar hilang lalu tidak tahu harus kemana mencarinya lagi. Sesuatu yang lenyap tanpa pertanda atau peringatan apapun, lalu butuh keikhlasan untuk menerima keputusan besar itu.

Engkau yang setahun belakangan kujumpai dalam setiap langkahku di rumah. Engkau yang kusaksikan semakin merapuh seiring masa yang semakin memutar ke depan. Engkau yang kemudian kulihat mengerang karena sakit di akhir waktumu. Entah mengapa aku yang selalu meneteskan bulir kristal bening dari kelopak mata ketika menatapmu, menggenggam jemarimu. Aku pun tak tahu. Hingga akhirnya aku tak sanggup untuk berada dalam posisi sangat dekat di sisimu.

Dan waktu yang dijanjikanNya kepada setiap insan pun tiba. Engkau pergi dengan begitu tenang... Engkau pergi untuk selamanya. Meninggalkan segala apa yang ada di sekelilingmu. Engkau telah beranjak pulang menuju rumahmu yang sesungguhnya...

"Kita baru akan merasakan kehilangan, ketika apa yang telah kita miliki telah pergi, dan tak pernah kembali."

Minggu, 09 September 2012

Re-sign

Resign.
Akhirnya aku mengenali kata itu. Kosakata yang semenjak lepas dari bangku kuliah seringkali membayang-bayangiku melalui cerita-cerita kawan seperjuangan atau kakak-kakak yang telah lebih dulu melangkah. Mungkin tidak sedikit yang heran dan menyayangkan keputusanku ini di tengah persaingan dunia kerja. Namun keputusan ini telah kubulatkan, restu bapak dan ibu pun sudah di tangan. 

Bukan tanpa sebab ketika aku membulatkan tekad untuk mengatakan buliran kata-kata yang memiliki satu kesimpulan: resign. Dan ada sejumput idealisme yang masih terus merasuk di dalam jiwaku. Entah kapan aku akan mulai sedikit menyerah dengan perkara idealisme ini. Saat aku telah memutuskan suatu hal yang menyangkut prinsip, sulit bagiku untuk merubahnya sedikit. Apalagi membatalkannya, tak semudah membalikkan telapak tangan.

Masih kuingat dengan jelas percakapan (mungkin lebih tepat jika kusebut "persidangan"?) dengan ketua jurusanku di masa-masa akhir kuliah. Di lobby jurusan, kami duduk di sofa-sofa cokelat membicarakan tentang waktu yang akan senantiasa bergulir, tentang langkah-langkah selepas gelar tersemat. Aku bertahan dengan keputusanku, keinginanku. Hingga akhirnya beliau berujar kurang lebih, "...idealisme itu boleh-boleh saja. Tetapi harus bisa menempatkan pada tempat yang tepat ..."

But, yes, it's hard....