Kamis, 05 Juli 2012

#2 So Early Homesick

Senin, 28 Mei 2012
Free day! Diklat baru dimulai besok pagi dan saya tidak tahu harus berbuat apa hari ini. Di daerah ini saya masih begitu buta rasanya. Dan rasanya saya ingin menangis...

Suasana sekitar kost ini begitu berbeda, sangat jauh berbeda dari kawasan kost pada umumnya. Kawasan kost pada umumnya sangat berjibun warung makan, warnet, laundry, tempat fotocopy, hingga agen pulsa yang bak jamur. Semua poin itu belum saya jumpai. Kost ini adalah hasil pencarian kedua sepupu saya dengan susah payah. Konon kata bapak kost, ini adalah satu-satunya kost putri di sini. Mafhum pula jika ternyata segala fasilitas umum yang biasa ada di kawasan kost berstatus nihil. Kampus Tazkia yang sebelumnya di kawasan Dramaga belum lama pindah ke Sentul City.

Karena sebelumnya sudah dideskripsikan oleh sepupu tentang kondisi kost ini maka dari rumah pun saya, ibu, dan bapak melakukan langkah preventif. :D Saya dibawakan alat penanak nasi listrik, membawa berbagai macam obat herbal :), biskuit, susu, panci, termos, dan beras! Juga kering tempe dan abon. Beberapa barang yang saya bawa itu sebenarnya telah terlebih dahulu melancong ke rumah Allah. Ya, beberapa barang itu adalah warisan dari bapak. Saat mengepack barang-barang itu pun tiba-tiba saya teringat saat mendapat tugas mengepack barang-barang sebelum bapak dan kakek berangkat ke tanah suci. Ya Allah, ini benar-benar mirip haji. Serba minimalis, serba serbaguna, dan kudu kreatif. Apalagi jangka waktunya yang sebulan sangat mirip dengan jangka waktu berhaji. Semoga, semoga, ini adalah pemanasan sebelum menuju tanah-Mu, ya Rabb...

Dan ternyata makan sendiri dengan menu “minimalis” bukanlah sesuatu yang dapat menentramkan hati. Rasanya hambar di lidah. Meski saya telah mengalami masa kost selama empat tahun tetapi di bumi dengan kultur yang berbeda ini saya malas sekali untuk sekedar menyuapkan sesendok nasi ke mulut. Karena hal itu saya putuskan hari Senin ini untuk berpuasa. Puasa Senin-Kamis? Atau puasa apa? Saya pun tak tahu puasa apa ini. Saya hanya ingin agar maag saya tidak kambuh karena saya membiarkan lambung kosong. Maka jalan yang saya tempuh ya puasa saja. Dan seharian ini saya hanya bermalas-malasan di atas ranjang selepas mencuci beberapa potong pakaian.

Air minum! Ah ya, persediaan air minum. Saya belum memiliki persediaan air minum. Saya pun mencari ibu kost untuk bertanya dimana saya bisa mendapatkan segalon air minum. Kata ibu kost, “Oh, kalau galon baru nanti cari di Bellanova ada tapi kalau mau isi ulang di dekat sini juga ada.” Terkejut saya, untuk mencari galon air minum saja harus ke Bellanova –mall yang berseberangan jalan dengan kampus Tazkia. “Tapi kalau mau isi ulang, pakai saja dulu galon ibu itu nggak apa-apa, tanggung cuma sebulan. Ibu ada empat galon kok...” Maka sore itu satu galon air minum telah tersedia di kamar saya. Terima kasih ibu bapak kost yang baik sekali.

Namun saya belum bisa bernafas lega. Saya kesepian. Saya ingin berbincang tetapi tidak tahu dengan siapa. Saya belum memiliki teman baru. Saya ingin segera hari esok tiba. Saya ingin segera memulai aktivitas di Kampus Tazkia. Hingga akhirnya adzan maghrib berkumandang... Satu cangkir air madu, beberapa biskuit, dan setengah mangkuk nasi dengan abon dan kering tempe. Juga satu tetes air mata... Homesick.

Tadi pagi, ibu melayangkan sebuah pesan singkat:
“Baca basmallah untuk mengawali langkah baru, selalu doa diberi kemudahan dan keberuntungan. Doa bapak dan ibu menyertai. MAN JADDA WA JADA..”
28-Mei-2012
08:50:47

Ingin sekali air mata menderas...

#1 I'm Coming

Akhirnya jiwa dan raga ini tertambat di Kampung Cadas Ngampar, Sukaraja, Sentul, Bogor sekaligus untuk mengikuti Diklat Operasional Perbankan Syariah di Kampus Pusat STEI Tazkia, Sentul City. Mungkin sudah terlambat pula bagi saya untuk menuliskan pengalaman saya beberapa hari awal di sana. Tetapi saya merasa beberapa hal yang ingin saya tulis, saya bagi, meski mungkin baru bisa diposting sebulan kemudian setelah saya selesai mengikuti kegiatan pendidikan ini. Bukan tanpa sebab, saya belum menemukan warung internet di Sentul dan modem ditinggal di rumah. Saya ingin kalian merasakan apa yang kurasakan. Betapa ini terlalu hebat, terlalu sayang, untuk saya simpan untuk saya sendiri. :)

Ahad, 27 Mei 2012
Pagi menjelang siang akhirnya saya sampai di daerah Sentul City. Daerah yang begitu asing bagi saya yang berasal dari zona adem ayem, Yogyakarta-Surakarta. Bangunan-bangunan dengan arsitektur mentereng mulai tertangkap lensa mata saya. Namun bukan tanpa tantangan ketika saya menyetujui usulan bapak dan ibu tercinta untuk meninggalkan zona nyaman. Saya harus tinggal di rumah kost yang mana jarak itu sekitar sepuluh menit berjalan kaki cepat dari jalan raya. Jalan kaki? Ya, karena tidak ada akses kendaraan roda empat menuju kost. Mungkin ada, tetapi harus memutar jauh terlebih dahulu. Bahkan kendaraan roda dua pun saya tak bisa bayangkan jika ada yang berpapasan mengingat lebar jalan itu tak lebih dari satu meter.
jalan setapak menuju kampung
Untuk menuju rumah kost, saya pun harus melintasi jembatan yang ketika kaki mulai menjejak di atasnya, jembatan itu akan bergoyang. Pagar pengaman pun hanya sekedarnya, saya tidak berani dengan santai melenggang di atasnya demi membuang mata ke pemandangan di sekitarnya. Ya, sesekali saya memang celinguk ke kiri kanan. Di sisi kiri saya jumpai anak-anak yang tengah berenang dan ibu-ibu yang sedang mencuci baju, padahal air sungai itu begitu keruh. Sementara di sisi kanan sedang ada proyek pembangunan yang jika ditilik dari tipikal bangunannya, saya memperkirakan itu adalah restoran yang terintegrasi dengan bangunan di sekitarnya. Terasa ironis.
jembatan goyang
Selepas mendarat di daratan seberang, saya jumpai perkampungan penduduk. Inilah bumi Cadas Ngampar itu. Anak-anak berlarian di lapangan, anak-anak yang lebih kecil bersepeda di jalan kampung yang kira-kira hanya dua meter. Dan akhirnya sampailah saya di kamar baru saya yang subhanallah luas sekali. Dua kali kamar kost saya semasa kuliah dan satu setengah kali kamar pribadi saya di rumah. Lengkap dengan kamar mandi dalam dan bed berukuran 120x210 cm. Cukup luas untuk saya huni sendirian.

Kemudian saya, bapak, sepupu, dan om saya yang turut mengiringi langkah saya memutuskan untuk mengenalkan saya dengan kompleks Tazkia. Kesan pertama saya: panas, gersang, gerah, mudah haus. Photo session pun dimulai di Masjid Andalusia STEI Tazkia sebelum akhirnya sekitar satu jam kemudian bapak bilang, “Tak tinggal ya, aku pulang sekarang. Kamu mau pulang juga, atau main-main dulu.” Saya jawab, “Main-main dulu,” sayang sekali melewatkan waktu untuk lekas pulang ke rumah kost. Maka salam dan jabat tangan perpisahan sementara pun terjadi. Kulihat tetes mata di kedua pelupuk mata bapak. Nyaris aku pun ingin meneteskan air mata...(meski akhirnya detik ini, saat menuliskan hal ini pun menetes).

Bapak, entah kenapa aku mudah sekali menangis jika mengingatmu dan berpisah denganmu. Betapa beberapa  bulan yang lalu aku berhari-hari menangis selepas kau tinggal ke tanah haram sebulan sebelum hari pendadaranku. Hingga akhirnya kita bertemu lagi setelah aku menyelesaikan ujian akhir strata satuku. Masih berbalut dresscode ujian akhir, kupeluk erat dirimu dengan uraian air mata pula.

Nasihatmu yang kutangkap beberapa hari sebelum keberangkatanku ke Sentul, “Nanti di sana, niatkan dirimu untuk mencari ilmu. Itu yang terpenting.” Lalu kau bacakan ayat 11 surat Al Mujadalah. “Tujuan mencari uang itu penting karena manusia nggak bisa hidup tanpa uang. Tapi jangan semata-mata tujuanmu hanya untuk uang...”

Rabu, 04 Juli 2012

Sentul City in A Glance

Hari Sabtu (30/06) saya tiba kembali di rumah setelah sekitar sebulan menapakkan langkah di kawasan Jabodetabek. Sebulan kemarin, saya "menyusup" di kampus pusat STEI Tazkia, Sentul City, Bogor untuk mengikuti Diklat Operasional Perbankan Syariah. Betapa perjalanan dan perjuangan di sana benar-benar menampakkan sisi lain dunia. Dimensi-dimensi kehidupan yang berbeda dalam satu ruang. Kelak akan kuceritakan, kawan...:)

Jujur, awal-awal berada di sana saya sering merasakan apa yang dinamakan homesick. Sempat ada yang berkomentar, "Bukankah kamu sudah terbiasa hidup dalam suasana kost? Hidup terpisah dengan rumah?" Pernyataan itu benar, kawan. Tapi ada sesuatu yang membuatku benar-benar rindu kehangatan rumah orang tua: proses adaptasi. 

Meskipun masih berada dalam satu pulau, Yogyakarta-Jawa Tengah dengan Jawa Barat berbeda budaya, berbeda kultur. Irama pembicaraan ala suku Jawa yang pelan-pelan terasa berbeda dengan irama Sunda yang cenderung lebih cepat. Apalagi saya tinggal di kampung meskipun titel wilayah yang disandangnya di masa kini adalah Sentul City.

Sentul City terkesan sebagai kota yang keren. Terkenal dengan produk-produk arsitekturnya yang menawan nan elit. Bangunan-bangunan di Sentul memang masih baru dan tertata, sebut saja Tazkia sendiri, Bellanova Country Mall, Sentul International Convention Hall, Harris Hotel, hingga perumahan-perumahan yang menghiasi perbukitan dan gedung pemasaran Sentul City sendiri. Dan jangan lupakan Hambalang.

Sentul International Convention Hall (28/06)
Proyek-proyek masih berjalan di sini, pembangunan marak. Tanah masih luas tersedia, hutan pun masih ada yang belum "dibabat". Di depan kampus Tazkia sedang berlangsung proyek pembangunan pasar apung di atas Sungai Cikeas. Konon pasar apung ini digagas oleh salah satu maestro kuliner negeri ini, Pak Bondan Winarno yang termasyhur melalui program televisi Wisata Kuliner. Ada yang sangat saya sukai dari rancangan bangunan ini, walking track yang terbentang dari belakang gedung pemasaran Sentul City, melewati pintu keluar Bellanova, dan melayang menuju welcome area pasar apung sendiri. Selain itu jembatan merah yang membentang membujur di atas sungai sangat mirip jembatan merah di Kebun Raya Bogor.

Namun ketika berjalan menyusuri jalan setapak menuju kampung, hati kecil ini merasakan sebuah keironisan yang mendalam. Semoga sempat kuceritakan dalam post-post berikutnya. :)