Jumat, 25 Mei 2012

Bintang Gemintang


Hari masih sore, adzan ashar baru saja selesai berkumandang dari langgar yang kini telah bermetamorfosis menjadi masjid. Namun ia berharap malam akan segera tiba dengan bentangan langit yang sangat cerah, hingga ia bisa memandang kerlip cahaya bintang yang bertaburan.

}--{

kupandang langit penuh bintang bertaburan,
berkerlap-kerlip seumpama bintang berlian,
nampak sebuah lebih terang cahayanya,
itulah bintangku bintang kejora yang indah slalu...

Gadis kecil itu bersenandung riang di bawah atap langit berhiaskan lampu-lampu kecil yang tak pernah padam: bintang. Ia duduk di atas sebuah batu besar di halaman surau bersama kakak-kakak tetangganya. Tubuh mungilnya masih berbalut mukena putih berenda yang tepian-tepiannya melambai-lambai tertiup sepoi angin malam.

Melihat bintang kala malam adalah kebiasaannya selepas mengaji lalu shalat maghrib berjama'ah yang tak pernah absen. Entah apa yang istimewa bagi anak kecil sepertinya yang baru saja melepas masa balita-nya. Ia hanya sering berujar bahwa bintang-bintang itu berjalan sendiri, kadang cepat, kadang lambat; kadang terhalang awan lalu tiba-tiba muncul di sisi awan yang lain. Ia juga tak pernah bosan menghitung berapa jumlah bintang yang berpendar. Meskipun ia tahu bahwa ia tak akan pernah bisa selesai menghitung jumlah bintang itu.

Ia beranjak besar. Setapak demi setapak jenjang pendidikan telah dilaluinya. Namun bintang itu masih lekat dengan jiwanya. Bintang adalah hidupnya. Ia masih mengagumi kilau cahayanya di kala malam, cahaya yang menerangi kegelapan. Bintang adalah cita-cita dan mimpinya. Ia ingin menjangkaunya meskipun itu jauh, meskipun itu tinggi, dan meskipun perjuangan menggapainya tidak mudah. Bintang adalah cahaya. Ia ingin berada di sekeliling orang-orang yang dapat turut menerangi jalan hidupnya.

Setidaknya itulah, definisi bintang baginya setelah mulai mengerti hakikat hidup yang sebenarnya...

bintang kecil di langit yang biru,
amat banyak menghias angkasa,
aku ingin terbang dan menari,
jauh tinggi ke tempat kau berada...

}--{

Namun hari ini langit mendung, pertanda bintang mungkin tak akan nampak. Namun ia tahu bintang yang menjadi dekorasi ruang pribadinya tak akan hilang dari pandangan meski mendung menyaput. Juga bintang di sanubari, jiwa, dan semangatnya. Untuk mimpi, harapan, dan hidupnya... :)

Selamat tinggal zona nyaman, episode baru dimulai... Welcome me, B-zorg...

Rabu, 16 Mei 2012

Baling-Baling Mahoni di Kali Gayam

Waktunya di kota ini tinggal dua hari lagi. Lusa ia akan berangkat ke kota seberang untuk menjemput mimpinya. Meski itu sebenarnya membimbangkan hatinya karena ia memutuskan beralih jalur dari rel pendidikan terakhirnya.

}--{

Matahari hampir berada tepat di atas kepala. Sinarnya telah cukup menyengat pertanda hari telah beranjak siang. Dari kejauhan terlihat beberapa lembu diiringi petani pemiliknya berjalan menuju ke arahnya. Di bawah jembatan itu lembu-lembu lalu berbaris rapi. Ujung tali yang mengalung di lehernya dikaitkan dan dicencang pada lengkungan besi di dinding sungai. Saatnya para lembu mandi seusai bekerja di sawah. 

Ia melihat momen itu dengan tersenyum. Sudah beberapa saat ia menunggu kedatangan lembu-lembu di kali. Dengan riang ia duduk di bantaran sungai yang telah diperkeras. Kakinya diayun-ayunkan di atas aliran air di bawahnya. Sesekali ia melemparkan sebuah biji mahoni yang ditemuinya di sepanjang tepian kali itu. Warnanya cokelat, pipih, dan rapuh. Rasanya sangat pahit! Namun ia suka mengumpulkan guguran biji-biji itu. Saat dilemparkan ke udara, lalu tertarik gravitasi, biji itu akan berputar-putar seperti baling-baling sebelum kemudian hanyut ke hilir.

Rumah orangtuanya tak jauh dari kali itu. Mafhum apabila ia sering bermain-main di sekitar kali itu. Bahkan, tak jarang ia membawa serta pensil dan bukunya ke tempat itu. Sesekali pula pensil kayunya terjatuh ke atas aliran sungai. Tak ada pasal lain, selain meminta tolong petani yang kebetulan tengah memandikan lembunya untuk mengambilkan pensil mungil itu sebelum hanyut lebih jauh. Beruntung, aliran kali itu tenang jika musim kemarau. Namun saat musim penghujan, aliran airnya bagaikan bah dari hulu Merapi. Jika sudah begitu, ia akan absen bermain di kali.

Mahoni tidak hanya berperan dalam membangun rumah atau bangunan lainnya. Mahoni juga berperan dalam usaha membahagiakan anak-anak kecil. Setidaknya itulah yang dirasakannya saat itu. Ia tak punya mainan lain yang lebih keren. Tidak ada boneka Barbie seperti yang pernah dilihatnya di layar televisi milik tetangga sebelah rumahnya. Tidak pula dengan robot mainan yang bisa berjalan sendiri hanya dengan dua benda  kecil berbentuk tabung yang disimpan di punggung robot itu. Tetapi di mataku ia terlihat sangat bahagia dengan mainan alam yang gratis itu. Mainan kecil bingkisan dari Tuhan itu...

Nun jauh di sana, kudengar bocah kecil yang belum menapak separuh jenjang sekolah dasarnya itu berbisik, "Bu, aku ingin itu..." seraya telunjuk kecilnya menunjuk halaman sebuah majalah bergambar: komputer!

}--{

"Impian harus menyala dengan apapun yang kita miliki; meskipun yang kita miliki tidak sempurna; meskipun itu retak-retak..." -9 Summers 10 Autumns.
Saatnya mulai berkemas, untuk impian yang harus menyala, meskipun itu retak-retak. Ia kecil ingin komputer, dan aku ingin "the huge one"! :)

Senin, 14 Mei 2012

Dolanan

Embun masih menempel di muka dedaunan ketika ia kembali duduk di bangku di beranda rumah itu. Keciap burung pun sesekali terdengar bersahut-sahutan, bergantian dengan deru kendaraan yang satu per satu mulai berlalu lalang di jalanan kampung. Ia pun mulai menyeruput seteguk capuccinno di cangkir cokelatnya. 

}--{

Bola karet kecil yang terpantul berirama mengetuk lantai semen yang sudah sangat licin mengkilap karena terlalu sering bergesekan dengan kaki. Empat biji kuningan yang dibentuk sedemikian rupa pun seirama menjatuh pelan di lantai. Dalam setahap biji-biji itu akan berubah posisi dalam berbagai "pose". Duduk, berbaring ke kiri, berbaring ke kanan, tengkurap. Ada istilah-istilah untuk berbagai "pose" itu, teman-temannya pernah memberitahunya. Tetapi sekali lagi ia lupa.

Siang hari sepulang sekolah adalah jadwalnya bermain. Bermain bersama teman-teman sekampungnya yang cuma satu, dua, tiga. Ya, tiga orang. Ia tak punya banyak boneka. Hanya satu boneka Hello Kitty, dua kelinci, dan dua anjing kecil. Ia juga punya balok susun pemberian pamannya dari kota. Tetapi mereka jarang sekali memainkan mainan itu. Mereka lebih asyik bermain bekel yang bolanya telah direndam minyak tanah semalaman --agar lebih besar diameternya. Atau mengumpulkan kerikil-kerikil kecil untuk bermain gatheng yang sedikit mirip dengan bekel

Sesekali mereka akan pergi ke pekarangan tetangga yang memiliki halaman yang tidak ditanami pohon. Mereka akan mengayunkan ranting untuk menggambar kotak bersusun seperti tanda plus dengan salah satu susunan lebih panjang. Terkadang kepala pola susunan itu akan mereka ubah setengah lingkaran. Dan pecahan genteng pun siap dilemparkan ke kotak terbawah hingga teratas. "Yes, masuk!" teriaknya. Ia segera menggantung salah satu kakinya lalu melompat dengan kaki satunya lagi untuk mengambil pecahan genteng. Siapa cepat mencapai tahap lemparan ke kotak terjauh, ialah yang menang.

Bosan bermain ingkling, mereka akan menghapus pola itu menyulap menjadi angka delapan atau kotak gobag sodor. Sayang, untuk bermain gobag sodor kotak mereka kekurangan pemain. Jadilah mereka bermain gobag sodor delapan. Riuh sekali suasana menjelang sore itu. Apalagi setelah anak-anak lelaki pun turut bermain di "lapangan" itu. Anak-anak lelaki itu memainkan permainan yang cukup aneh, pikirnya selalu. Mereka bermain dengan batu, bukan kerikil. Batu yang salah satu sisinya agak datar itu ditaruh di atas jari-jari kaki hingga mata kaki. Lalu dengan sekali ayunan, batu itu dilempar untuk meruntuhkan susunan pecahan genteng di ujung sana. Jauuuuhh.... Tak jarang teman-temannya pun akan turut serta dalam permainan lelaki itu. Kalau sudah begitu, ia hanya akan duduk-duduk saja menonton jalannya permainan. Ia tak cukup nyali.

Bila teman-temannya sedang absen bermain, ia akan bermain dengan kakak, tetangga sebelahnya. Mereka akan pergi ke belakang rumah yang mirip dengan tebing kecil, di bawah mengalir air di kali yang juga kecil. Di tanah itu mereka menggali lubang-lubang kecil secara berjajar di bawah rumpunan pohon bambu. Tanah yang telah mengeras karena terikat akar-akar pohon bambu itu menjadi tantangan tersendiri. Lalu kerikil-kerikil di dasar sungai dikumpulkan. "Tarraaaa.... Inilah dakon sederhana kami," katanya dalam hati kepada dunia. Meski sederhana, sangat sederhana, tapi ia terlihat sangat bahagia. Ternyata kesederhanaan juga dapat berbanding lurus dengan kebahagiaan.

}--{

Sepotong brownies turut menemani paginya hari itu. Sambil masih terus mengenang masa kecilnya yang telah tertinggal jauh di belakang. Kini semua pun telah berubah. Tiada lagi pantulan bola karet dengan gericikan biji-biji kuningan atau tumbukan kerikil-kerikil yang sengaja disebar di lantai. Keriuhan di lapangan pun telah lenyap. Senyap. Anak-anak kecil tengah bersembunyi karena telah disembunyikan dunia. Mereka sedang menikmati produk modern tanpa pernah mengenal proses kreatif dan kebersamaan dalam permainan tradisional. Ia hanya bisa menghela nafas...

Rabu, 09 Mei 2012

Tebu dan Ikan

Ia masih mengunyah bulatan truffle sebesar kelereng. Desau angin melambungkan imajinasinya semakin tinggi. Tatap nanarnya pada rumpun adenium di beranda rumahnya semakin dalam. Truffle mulai meleleh, sedikit rasa pahit itu mulai berubah manis. "Kelereng" cokelat itu mulai lumer...

}--{

Lonceng logam berdentang siang itu, seperti hari-hari kemarin. Serentak bocah-bocah itu bersorak dan tanpa dikomando bergegas memasukkan buku-buku beserta peralatan menulisnya ke dalam tas berbagai rupa. Usai berdoa, satu per satu mereka menyalami sosok bersahaja yang senantiasa menemani seperempat hari mereka.Dan...seakan pintu ruang itu hampir jebol ketika anak-anak berdesak-desakan keluar, berlomba lepas dari "penjara" kecil.

Begitu juga dengannya. Bersama dua orang kawan sepermainan, ia pun turut dalam kompetisi harian itu. Lalu berjalan selangkah demi selangkah keluar dari kompleks sekolah. Hatinya buncah, juga dua kawannya. Perkebunan tebu di belakang sekolahnya sedang dipanen. Hari ini mereka bisa mencicip air tebu dengan cara yang baik, meminta potongan-potongan kecil batang tebu yang tak terpakai, yang tertinggal, yang tidak turut diangkut ke atas bak truk. Tidak seperti pekan-pekan sebelumnya, ketika ingin mencicip air tebu harus tergoda untuk mengambil tanpa izin. Jika kebetulan tidak mujur, jika kebetulan ada mandor yang sedang bertandang, habislah mereka. Dan satu hal yang bisa dilakukan bagi anak-anak kecil itu: lari!

Mereguk pendidikan di sebuah sekolah yang dikelilingi perkebunan tebu sungguh menggoda sekaligus menakutkan. Menggoda karena hektaran tanaman tebu memiliki panjang sisi dengan bilangan besar di keempat sisinya, di dua area. Menakutkan karena sewaktu-waktu rimbunan pokok tebu yang tinggi itu dapat menyembunyikan berbagai sifat jahat atau menjadi tempat bersarang hewan-hewan berbisa. Meski begitu tak jarang ia dan kawan-kawan justru menyusuri jalan setapak yang sangat sempit di tengah perkebunan. Itulah jalan pintas menuju rumah.

Jalan pintas yang berujung pada tepian kali kecil bagian dari sistem irigasi persawahan di sekitarnya. Anak-anak manis yang bandel itu terkadang akan berhenti sejenak di tepi sungai. Memperhatikan ikan-ikan kecil yang tengah berenang-renang dengan riang. Tak habis akal, mereka akan turut mencebur ke dalam kali yang memang cukup dangkal. Bermain-main dengan air, menguber ikan-ikan kecil yang gesitnya bukan main. Rok -rok merah di hari Senin dan Selasa, biru di hari Rabu dan Kamis, atau cokelat di hari Jumat atau Sabtu, dipastikan akan basah.

Kepalang basah! Kenapa tidak sekalian berbasah-basahan? Rok itu pun menjadi penjebak untuk menangkap ikan. Bayi ikan yang masih sangat kecil, ikan pari --sebutan untuk ikan dengan ekor berwarna-warni-- yang lincah, juga uceng --ikan berbentuk seperti belut mini dengan lurik-lurik di tubuhnya-- akan lebih mudah terperangkap. Apabila sedang beruntung, di balik kerikil-kerikil kali mereka akan menemukan udang. Untuk apa semua itu? Dibawa pulang, ditaruh ember punya bapak atau panci milik ibu. Lalu hari berikutnya beberapa sudah terapung tidak berdaya. Satu hewan air yang tidak pernah disentuhnya adalah ikan dengan satu totol putih di kepala: mistis!

}--{

Truffle itu sekarang sudah benar-benar lumer, sudah terkulum. Ia teringat jalan-jalan kemarin. Perkebunan tebu itu sudah lenyap, berganti dengan ladang dan sawah penduduk setempat. Ikan-ikan itu...ah..tidak sekedar terapung, ikan-ikan dan kroninya telah tak tampak lagi, berganti dengan sampah --plastik, botol, atau guguran dedaunan dan rerapuhan batang pohon. Kerikil-kerikil kecil yang menghias dasar sungai pun tak ada, berganti tanah berlumpur dengan sedikit air. Air tak lagi mengalir berlimpah seperti dulu. Air tak lagi bening seperti dulu. Dan yang pasti bocah-bocah itu tak ada lagi yang bermain-main di sana.

Kamis, 03 Mei 2012

Miracle of Life

hfcorner.blogspot.com
It is about law of attraction...
It is about miracle of giving...
It is about life...

Belum sampai seperempat bagian dari Notes of Qatar selesai saya baca, saya kembali terpekur. Detik itu saya merasa begitu bersyukur atas apa yang telah terjadi pada hidup ini.

Belakangan saya beberapa kali memperoleh bingkisan-bingkisan sederhana dari beberapa kawan. Sederhana namun begitu bermakna. Bukan tentang nilai materiil dari bingkisan-bingkisan itu, tetapi lebih pada penghargaan diri. Ada yang tak tersampaikan lewat kata. Ada sesuatu yang terasa begitu besar berada dalam lubuk hati, yang terlalu sulit diungkapkan. Dan segala yang telah saya terima itu, saya anggap sebagai balasan atas pertemanan, persahabatan, atau persaudaraan.

Semakin besar kamu memberi, maka akan semakin besar pula kamu menerima...

Saya percaya itu. Dan memberi tidak selalu harus berupa materi, sesederhananya cukup senyuman atau sapaan. Mengutip prinsip Muhammad Assad --penulis Notes of Qatar, cukuplah menjadi pribadi yang honest, humble, and helpful. Dan saya percaya itu.

Pada saat hari perayaan pesta kelulusan, saya tak menyangka akan memperoleh empat bouquet bunga, dua boneka wisuda, dan dua buku. Apalagi salah satu dari buku itu terbitan luar negeri, nun jauh dari negeri Paman Sam sana. Terkadang ada keajaiban yang tidak pernah disangka-sangka, saya merasa tak pernah melakukan hal yang istimewa untuk mereka. Selain mendengarkan mereka bercerita, menjawab pertanyaan dan keluh kesah mereka, dan berbagi pengalaman. Allah, mungkin ini adalah balasanmu atas keberadaanku dan keberadaan mereka yang terhubung oleh sesuatu yang kasat mata.

Rezeki itu tak akan kemana-mana. Selepas saya kembali ke kampung halaman, saat saya begitu rindu dengan suasana kampus. Begitu rindu dengan keluarga super-besar saya di sana, ada saja yang memanggil atau menyapa. Teman-teman yang sekedar berkata, "Apa kabar?". Adik-adik tingkat yang berkeluh kesah atas tugas-tugas kuliah. Sahabat-sahabat yang tiba-tiba mengirim pesan singkat, lalu berkata, "Semalam aku mimpiin kamu..." Bagi saya memiliki mereka adalah rezeki, anugerah terindah. Bagi saya memiliki kalian (yang mungkin tidak tertulis dalam cerita ini) pun adalah penghargaan, kalian pelangi terindah yang pernah saya lihat. Saya bahagia dan bersyukur telah diperkenalkan dengan kalian.

Pun ketika saya bertandang ke kampus untuk suatu keperluan beberapa hari yang lalu. Saya tiba-tiba mendapatkan setoples kecil truffle.  Dan sebagai rasa terima kasih saya hibahkan buku koleksi saya dan sepucuk congratulation card atas kelulusan sahabat saya itu. Sepekan kemudian seorang kawan berkunjung ke kota tempat tinggal saya. Ia meminta saya untuk menemaninya mencari tempat tinggal sementara. Kurang lebih setengah hari kami berputar-putar kompleks pemukiman dekat kampus X. Dan hari itu terasa begitu indah, sarapan di Pakualaman, es krim di siang hari, bensin sebelum pulang, dan dua buah handmade brooch cantik. Semuanya saya dapatkan cuma-cuma. :D

Last but not least...
Pagi itu seorang teman meminta saya melanjutkan gambar tiga dimensinya.
Dan malam itu seorang teman mengirim pesan singkat, said that many people like my poems.. and she asked me, "Would you like to write another poem again?"

It is about process...
It is about way to cherish the boon...
And I still learn and learn...

Simple way: Allah, thanks for give me this beautiful morning, and I still breathing...
:)

*)teruntuk para pemegang kuas,
terima kasih telah memegang kuas, memilih warna terindah, dan memoleskannya pada kanvas hidupku...
wirabell.blogspot.com