Sabtu, 14 April 2012

Cagar Budaya Ini Milik Siapa?


tiba-tiba bertemu potret ini kembali: Vastenberg di balik kawat berduri

Siapa yang belum mengenal Benteng Vastenberg? Sempat populer beberapa waktu silam saat santer isu pengalihan fungsi bangunan cagar budaya ini menjadi bangunan komersial. Jatuhnya kepemilikan tanah Vastenberg dari pemerintah ke tangan individu rupanya menjadi polemik berkepanjangan. Hingga bangunan itu kini terpuruk, seolah hanya tengah meratapi nasibnya. Tidak ada eksekusi apapun dari pihak manapun. Terdiam dalam kungkungan pagar besi seadanya yang telah berkarat, dikelilingi semak dan sampah. Ironis!

Persil itu memang telah menjelma menjadi wilayah komersial –area bisnis dan perdagangan di Surakarta. Terletak di ujung Jalan Slamet Riyadi yang merupakan jalan utama di kota Surakarta yang juga dikenal dengan Sala/Solo. Berbatasan dengan Kantor Telkom, berhadapan dengan Pusat Grosir Solo serta Beteng Trade Center yang kesemuanya bangunan bertingkat. Juga tak jauh melangkah dari Kantor Bank Indonesia –yang kini sedang dalam tahap pengembangan, serta kemegahan Western Premier Hotel yang gemerlap menjulang. Benteng itu tenggelam dalam megahnya euforia kota yang sedang bermetamorfosa.

Tak jauh berbeda dengan nasib Keraton Kasunanan Surakarta yang berlokasi di belakang PGS dan BTC. Di tengah berbagai masalah di dalamnya, keraton pun telah mengalami pergeseran kepentingan. Ia tinggallah nama dengan peran pengemban budaya semata karena kekuasaan telah berpindah ke tangan pemerintah dengan tampuk kepemimpinan walikota. Alih-alih menyoal tentang kekuasaan, kompleks nan luas itu kini telah tenggelam. Tersembunyi di balik bangunan-bangunan maha modern dengan desain meng-internasional.

Itu pula yang kemudian didengung-dengungkan para pamong di meja kampus bertahun-tahun.  Dan saya setuju dengan pendapat beliau-beliau yang notabene penganut paham regionalisme-kontekstualisme. Ditilik dari sudut hukum pranata pembangunan, prinsip arsitektur tradisional jawa, serta peta perkembangan arsitektur. Bahwa membangun harus memperhatikan kondisi sekitar, mengalahkan egoisme pribadi atau golongan. Memang sulit mengelak dari perkembangan zaman di era persaingan global dengan kepentingan-kepentingan bisnis yang kian menggelora. Namun tidak lantas kemudian kebersahajaan dan kewibawaan bangunan peninggalan sejarah itu harus diabaikan.

Tentang bangunan cagar budaya yang konon telah dilindungi undang-undang namun tiada realisasi telah menjadi bubur. Pernah saya bertanya-tanya mengapa kondisi di Surakarta berbeda dengan di Yogyakarta? Keraton Yogyakarta masih menjadi sentral kepemimpinan maupun pelestarian budaya. Benda-benda cagar budaya pun masih anggun terawat serta menarik minat wisatawan. Apa yang salah? Dan jawaban itu ternyata terletak pada sejarah. Intrik politik serta hegemoni tiyang walanda di masa lalu.

Pernah pula sepulang dari studi ekskursi di Pulau Bali saya bertanya-tanya, mengapa bangunan-bangunan di sana terlihat seragam, kompak, dan tidak nampak bangunan yang saling berlomba menonjolkan fasad dan massa masing-masing. Singkatnya mengapa budaya yang berakar dari keyakinan, di sana masih dijunjung dalam berbagai hal termasuk dalam prinsip-prinsip tata bangunan? Dan jawaban yang saya peroleh: bertanyalah pada dirimu sendiri, apakah kamu sudah melakukan upaya menjunjung budaya keJawaanmu sendiri karena toh di sana bukankah kamu lihat sebenarnya sudah ada upaya modernisasi?

Sejenak kemudian lalu teringat pepatah Jayabaya: wong jawa kelangan jawane...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar