Kamis, 26 April 2012

Pantai Ngrenehan

bibir pantai
Perjalanan bertajuk The Other Side of Gunung Kidul belum berakhir. Di saat bola matahari mulai menggelincir ke barat, kami pun beranjak menuju bibir selatan Pulau Jawa, di titik Pantai Ngrenehan. Jujur, ini pertama kali saya menjejakkan kaki di pantai-pantai yang tergolong masih sangat muda --belum lama terkespos publik, di kawasan Gunung Kidul. Jadi saya tidak bisa membandingkan bagaimana pantai ini jika dikomparasikan dengan pantai-pantai lain di sekitarnya. Katanya di kawasan ini yang bagus adalah Pantai Ngobaran.

Pantai itu sangat sepi. Entah karena waktu yang telah memutar senja atau karena memang benar-benar sedikitnya pengunjung. Lebar pantai juga tidak seberapa, kecil mencekung menurut saya dengan beberapa gunungan kecil karang di sisi-sisinya. Menilik banyaknya perahu-perahu nelayan yang berjajar, kawasan pantai ini lebih dikenal sebagai tempat pelelangan ikan. Itu juga (mungkin) yang menjadi pertimbangan beberapa kawan penentu perjalanan ketika kami memutuskan untuk menutup hari dengan lunner --lunch plus dinner.
ciamis pindah gunung kidul? :P
Namun sayang pantai itu sangat kotor. Butiran-butiran pasir kering dikerumuni semut-semut hitam. Belum pasir-pasir yang berada di sekitar perahu-perahu, bercampur aduhai dengan remah-remah bangkai hewan-hewan laut. Bau amis yang khas pun semerbak, mengundang berbagai spesies hewan pemakan remah datang. Meski begitu, konon menurut kawan perjalanan --yang telah senior :P, kelebihan pantai ini adalah tidak terlalu berbahaya untuk berenang, ombaknya cenderung tenang. Posisinya yang berada di cekungan, meminimalkan  besarnya gelombang gulungan ombak. Setiap hal selalu ada kelebihan dan kekurangannya. Pasti! Begitu juga dengan pantai ini.
air laut nyaris tak bergelombang
Lambung yang sudah mulai kehabisan materi yang harus dicerna serta senja yang telah di batas cakrawala membuat kami memutuskan untuk tidak turun mendekat dengan air laut. Praktis dua jam di penghujung hari, kami hanya menghabiskan waktu menunggu makanan datang, menyantapnya, lalu beranjak pulang. Daan... saya lupa mengumpulkan sebotol pasir pantai untuk disandingkan dengan buah tangan pasir "merica" Kuta Lombok. :)

Rabu, 25 April 2012

Click of Solo, February 2011

which one is taller?
old building close to the palace
flare always (never turn off through the day)
street (kori?) lamp
panggung sanggabuwana arose
footprint of  some time passed
old fashioned house
beteng trade center
becak (i favorite this one!)
old train

Senin, 23 April 2012

Cliquez!

silhouette
nglangi? related this term, am i right?
ngrenehan beach | honestly, this beach is dirty...

The Other Side of Gunung Kidul

prolog penyusuran sungai menuju air terjun
Beberapa hari yang lalu saya memimpikan tentang Night Mates di kota ini, setelah melepas night mates di kota seberang. And the dream comes true...:) Hari ini saya menemukan keluarga baru setelah diijinkan menjadi penyusup di antara para mahasiswa profesi farmasi salah satu universitas besar di Yogyakarta. Pertama kali bergabung lalu berpetualang bersama seharian.

Matahari telah naik sepenggalah saat kami mulai menyusuri perbukitan bertanah merah dan berbatu kapur di kawasan Gunung Kidul. Hmm...saya telah lupa kapan terakhir kali melintasi jalan menanjak ini. Setengah dasawarsa yang lalu mungkin? Tanah yang tandus, udara yang panas, hembusan angin kering, spesies tanaman, pipa-pipa air dengan beragam diameter, antena televisi yang begitu tinggi, dan perilaku orang di sepanjang perjalanan menjadi objek amatan saya. Tentu saja berbeda dengan keseharian masyarakat kota, cenderung sama (tapi tetap berbeda) dengan masyarakat pegunungan pada umumnya.

Destinasi kami kali ini adalah objek wisata Air Terjun Sri Gethuk, termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Playen. Dan sebelum mencapai titik air terjun tersebut jalanan yang terjal berbatu harus dilalui. Terjalnya jalan biasanya menandakan terpencilnya daerah, namun tidak kali ini. Meski medan cukup berat, ternyata objek itu sangat ramai. Apalagi pada saat hari libur seperti Ahad kemarin (22/04). Perjalanan yang melelahkan dan mendebarkan rasanya sebanding dengan keanggunan wisata yang ditawarkan.

perjalanan air
Bagi saya, objek ini mungkin seperti Green Canyon di kawasan Pangandaran, Jawa Barat. Terdapat sungai  berdinding tebing yang harus disusuri dengan perahu air atau rakit. "Kedalaman sungai yang kita lintasi bervariasi, paling dalam 20 meter," kata pemandu. Wow! Air sungai pada saat itu cukup bersih, berwarna hijau. Namun konon jika malam hari hujan mengguyur, pagi harinya air akan berwarna cokelat. Dan beruntung sekali, hari itu cuaca sangat cerah.

Segala sesuatu pastinya ada plus minusnya, begitu pula dengan yang satu ini. Akses yang masih sulit serta keterbatasan fasilitas mungkin menjadi faktor kekurangan yang utama. Namun melihat secara langsung pengerukan bukit-bukit kapur di kawasan objek tersebut, rasanya saya lebih memilih biarlah air terjun itu seperti apa adanya sekarang saja, kecuali akses jalan yang mutlak harus diperbaiki untuk kepentingan masyarakat setempat juga. It's better now than the artificial one...

Begitu pula yang tersembul di benak saya ketika tiba-tiba ada pengunjung yang melempar botol air minum ke tengah aliran sungai. Yakin, jika objek ini semakin ramai, sampah-sampah pasti akan semakin banyak berserakan jika tidak ada penanganan yang tepat. Untung saat itu ada petugas pemandu yang memperingatkan untuk tidak membuang sampah sembarangan. Mempertimbangkan jumlah pengunjung, sebenarnya space objek ini kurang fleksibel untuk mewadahi sekian banyak orang dengan aksesibilitas internal objek utama yang sangat minim. Laiknya buah simalakama, harus ada opsi-opsi yang digugurkan antara memilih pendapatan daerah meningkat atau alam yang semakin tergerogoti manusia?

mata air yang tercurahkan
ini orang2 tidak dikenal kenapa ngeliat ke kamera saya?
Dan tentu saja nilai lebih dari objek ini adalah keeksotisannya. Sulit membayangkan akan tersaji limpahan air di tengah perbukitan gersang yang didominasi hutan jati. Great waterfall, green river water, and Great Creator. Air terjun --yang alirannya bercabang tiga, melukis pelangi diantara tebaran bebatuan. Lalu mengaliri meja-meja batu kapur yang berbentuk seperti punden berundak sebelum akhirnya jatuh menyatu ke dalam hijaunya air sungai menuju muara laut selatan. Lebih dari cukup untuk sekedar berpuas-puas bermain dengan kecipak-kecipak air atau mendaki batu-batu putih itu. Yaa, meski harus sedikit belibet dengan rok. :P


PS: satu hal yang membuat saya cukup salut adalah penggunaan potongan kayu sebagai bangku duduk dan paduan bambu-anyaman daun kelapa sebagai material shelter. entah itu konsep sementara atau memang konsep final, semoga... konsep final (yang harus disempurnakan). :)

back to nature
*)terima kasih fa, angi, vian, ami, lina 1, lina 2, ria, hilal, mas adi, nanda, dkk. great journey! kapan2 mau diajakin lagi :P

Sabtu, 14 April 2012

Cagar Budaya Ini Milik Siapa?


tiba-tiba bertemu potret ini kembali: Vastenberg di balik kawat berduri

Siapa yang belum mengenal Benteng Vastenberg? Sempat populer beberapa waktu silam saat santer isu pengalihan fungsi bangunan cagar budaya ini menjadi bangunan komersial. Jatuhnya kepemilikan tanah Vastenberg dari pemerintah ke tangan individu rupanya menjadi polemik berkepanjangan. Hingga bangunan itu kini terpuruk, seolah hanya tengah meratapi nasibnya. Tidak ada eksekusi apapun dari pihak manapun. Terdiam dalam kungkungan pagar besi seadanya yang telah berkarat, dikelilingi semak dan sampah. Ironis!

Persil itu memang telah menjelma menjadi wilayah komersial –area bisnis dan perdagangan di Surakarta. Terletak di ujung Jalan Slamet Riyadi yang merupakan jalan utama di kota Surakarta yang juga dikenal dengan Sala/Solo. Berbatasan dengan Kantor Telkom, berhadapan dengan Pusat Grosir Solo serta Beteng Trade Center yang kesemuanya bangunan bertingkat. Juga tak jauh melangkah dari Kantor Bank Indonesia –yang kini sedang dalam tahap pengembangan, serta kemegahan Western Premier Hotel yang gemerlap menjulang. Benteng itu tenggelam dalam megahnya euforia kota yang sedang bermetamorfosa.

Tak jauh berbeda dengan nasib Keraton Kasunanan Surakarta yang berlokasi di belakang PGS dan BTC. Di tengah berbagai masalah di dalamnya, keraton pun telah mengalami pergeseran kepentingan. Ia tinggallah nama dengan peran pengemban budaya semata karena kekuasaan telah berpindah ke tangan pemerintah dengan tampuk kepemimpinan walikota. Alih-alih menyoal tentang kekuasaan, kompleks nan luas itu kini telah tenggelam. Tersembunyi di balik bangunan-bangunan maha modern dengan desain meng-internasional.

Itu pula yang kemudian didengung-dengungkan para pamong di meja kampus bertahun-tahun.  Dan saya setuju dengan pendapat beliau-beliau yang notabene penganut paham regionalisme-kontekstualisme. Ditilik dari sudut hukum pranata pembangunan, prinsip arsitektur tradisional jawa, serta peta perkembangan arsitektur. Bahwa membangun harus memperhatikan kondisi sekitar, mengalahkan egoisme pribadi atau golongan. Memang sulit mengelak dari perkembangan zaman di era persaingan global dengan kepentingan-kepentingan bisnis yang kian menggelora. Namun tidak lantas kemudian kebersahajaan dan kewibawaan bangunan peninggalan sejarah itu harus diabaikan.

Tentang bangunan cagar budaya yang konon telah dilindungi undang-undang namun tiada realisasi telah menjadi bubur. Pernah saya bertanya-tanya mengapa kondisi di Surakarta berbeda dengan di Yogyakarta? Keraton Yogyakarta masih menjadi sentral kepemimpinan maupun pelestarian budaya. Benda-benda cagar budaya pun masih anggun terawat serta menarik minat wisatawan. Apa yang salah? Dan jawaban itu ternyata terletak pada sejarah. Intrik politik serta hegemoni tiyang walanda di masa lalu.

Pernah pula sepulang dari studi ekskursi di Pulau Bali saya bertanya-tanya, mengapa bangunan-bangunan di sana terlihat seragam, kompak, dan tidak nampak bangunan yang saling berlomba menonjolkan fasad dan massa masing-masing. Singkatnya mengapa budaya yang berakar dari keyakinan, di sana masih dijunjung dalam berbagai hal termasuk dalam prinsip-prinsip tata bangunan? Dan jawaban yang saya peroleh: bertanyalah pada dirimu sendiri, apakah kamu sudah melakukan upaya menjunjung budaya keJawaanmu sendiri karena toh di sana bukankah kamu lihat sebenarnya sudah ada upaya modernisasi?

Sejenak kemudian lalu teringat pepatah Jayabaya: wong jawa kelangan jawane...

Night Mates


ibee.iblogger.org


Tiba-tiba saya teringat kebiasaan bersama beberapa kawan se-kos kala masih mengenyam masa kuliah dulu. Saat rasa bosan atau suntuk melanda pada sore atau malam hari, kami akan bersepakat untuk mencari menu kuliner santai alias lesehan. Lesehan sendiri berarti duduk di lantai beralaskan tikar dan semacamnya dengan suasana santai. Namun kala itu tidak hanya di lantai kami duduk, terkadang  duduk di trotoar jalur lambat atau bibir taman di tepian jalan menjadi alternatif lain. Dan tidak ketinggalan pohon yang menaungi. Lalu sesekali angin akan berhembus yang seakan turut menerbangkan kebosanan. Terkadang satu dua helai daun pun akan turut gugur. Hap! Berkah bagi pengoleksi daun gugur. :D

Satu jam terkadang terasa begitu singkat.  Hanya untuk sekadar mengobrol ngalor ngidul. Tak ada niat lain selain hanya ingin terbebas dari rutinitas harian dan mengisi kantung lambung. Pun dengan pelbagai macam pilihan menu di beberapa titik kuliner tetap menjejakkan kesan tersendiri hingga kini. Saya masih ingin tersenyum saat mengingat seorang kawan yang terbiasa memesan makanan dengan ekor dua kata: “pedhes banget” pada momen bosan seperti itu.  Dan seketika penjual akan tersenyum lebar.

Saya jadi rindu menyusuri Jalan Ir Sutami, Jalan Ki Hajar Dewantara, Jalan Kartika, atau melancong empat kilometer ke pusat kota. Selain lesehan, tak jarang kami juga akan meluangkan diri untuk sekadar memburu es krim, satu bar kecil cokelat, atau wedang ronde plus roti konde! Jangan berpikir bentuk roti ini persis konde (saya dulu berpikir begitu), karena nyatanya beda. Roti ini mungil seperti pancake dengan olesan berbagai macam rasa. Saya paling suka cheese-blueberry. ;) Bagi pelanggan kereta api Jogja-Solo rasanya tidak asing dengan penjual roti yang hilir mudik di stasiun. Nah seperti itulah tampilan roti konde meski dengan ukuran lebih mungil.



“Tahun depan aku akan merindukan suasana malam hari di ruas jalan ini seperti saat ini.”

Kurang lebih kalimat seperti itu pernah saya lontarkan di akun jejaring sosial awal tahun lalu saat me-leseh di ruas blok Widuran. Dan terbukti suasana malam di Solo belum jua bosan untuk dihinggapi. Pada penghujung penghabisan waktu di Solo, saya kian bersemangat karena berkesempatan menyambangi beberapa hajat besar di kota itu. Sebut saja, Solo Batik Carnival yang kebetulan saat itu diselenggarakan kala malam hari. Begitu juga dengan SoloInternational Performing Art di Mangkunegaran serta sesekali berkunjung ke hajat mingguan Ngarsopuro Night Market. Atau jejak pesta Sekaten di Alun-Alun Utara Keraton Kasunanan yang saat itu bertepatan dengan histeria Imlek. Maka sepulang dari alun-alun kami berhenti sejenak di bawah pendar “pergola” lampion-lampion yang bergelantungan di jalan yang membelah Pasar Gedhe Harjonagoro. Ah, satu yang terlewatkan: Solo International Ethnic Music.

Ada apa dengan Jogja? Rasanya hingar bingar kota ini masih belum populer di mata saya. Who wants to be my night-mates? :P

Clique!




Minggu, 08 April 2012

Surprise from Far Away!

graduation gift from far away
Sabtu (07/04) pagi menjelang siang, bapak pegawai pos berkunjung ke rumah setelah sekian bulan absen. Beliau membawa kotak yang cukup besar dan sedikit berat. Dalam catatan penerimaan dari bea cukai, kotak itu katanya berisi buku dengan berat kotak tiga kilogram. Kemasan eksklusif yang membuat saya riweuh membukanya. Tentu saja harus membungkusnya berlapis-lapis mengingat perjalanannya yang sangat jauh --Utah, USA. 

Pertama kali saya harus membuka ring pengikat plastik besar berlabel kilat khusus dari Pos Indonesia. Lalu membuka kardus berlabel Priority Mail dari US Postal. Nampaklah balon-balon plastik kecil yang saya perkirakan untuk melindungi benda di dalamnya saat "dibanting" atau "dilempar". Terbukti dua balon yang menyangga sisi bawah telah pecah dan tidak berfungsi lagi. Kemudian amplop besar dengan stiker bergambar pernak pernik khas graduation day. Dan inilah isi sesungguhnya: buku super tebal, hard cover, masih bersampul plastik. Buku berjudul Classical Foundations of Islamic Educational Thought yang diterbitkan Brigham Young University Press.

Tersisip sepucuk kartu pos yang juga bergambar tampak kawasan Brigham Young University, salah satu perguruan tinggi swasta di Amerika Serikat. Tertulis tangan beberapa kalimat:
Congratulations on completing your university studies! And thank you for opening up the field of Indonesian literature to us. We hope you enjoy this book published by our almamater's press. :)
Best wishes,
Michael & Shavna
Sejenak kemudian saya mebuka-buka lembaran kertas berjilid rapi itu. Sebuah buku bergenre Islam dwibahasa --English dan Arabic. Sekilas, buku itu merupakan kumpulan artikel-artikel tentang pemikiran Islam dari beberapa tokoh Islam.

Mari mulai "meng-olahraga-kan" otak saat membacanya alias berpikir. :D Thank you very much Michael and Shavna!

PS: Michael & Shavna plus their children, that family was my postcrossing pal...

Jumat, 06 April 2012

Life is Not Easy?

clique! jalan solo-jogja
"Bangun rumah itu seharusnya tidak main-main."
Begitulah kalimat yang terpampang pada papan reklame besar di beberapa titik di ruas jalan yang kulalui hari itu. Terlepas dari identitas arsitektur yang akrab denganku dan terlepas dari nama perusahaan yang menaungi produk yang dikomersialkan itu, memang membangun rumah itu seharusnya tidak main-main.

Bukan saja membangun rumah yang seharusnya tidak main-main. Menjalani hidup pun seharusnya tidak main-main. Itu yang terlintas di benakku kala beberapa kali menemui layar masif yang besar itu teringat pada kalimat: hidup hanya sekali; hidup hanya sebentar; urip iku mung mampir ngombe. Begitu kata para dosen-dosen berulang kali pada "obrolan" mata kuliah Arsitektur Jawa Lanjut, mata kuliah pilihan yang peminatnya sangat sedikit.

Dan begitulah hidup. Selaksa irama akan senantiasa mengiringi perputaran rodanya. Satu titik yang kita huni, yang memberikan ruang hidup pada roda itu akan membawa kita berputar, melaju tanpa dapat kita kendalikan. Terkadang di bawah, di tengah, atau di atas, dan kita tidak dapat meminta posisi itu. Yang ada hanyalah memaknainya, mensyukurinya, dan terus bergerak sebelum waktu akan terbuang percuma.

Dan itu tidak mudah. Namun bukan berarti pasrah lalu menyerah. Karena hidup adalah permainan yang tidak boleh dijalani dengan main-main... :D