Rabu, 29 Februari 2012

Last Impression (2)


Kemarin mungkin adalah hari terakhir saya menempuh jarak antar dua kota --Yogyakarta-Solo, dengan moda transportasi publik kereta api sebelum tersemat nama tambahan di belakang nama lahir saya. :) Empat tahun tujuh bulan lamanya mengakrabi Prambanan Ekspress (Prameks) hampir selalu di setiap akhir pekan tentu bukan suatu hal yang mudah dilupakan. Kereta yang konon menjadi kereta terlaris selama beberapa tahun ini menjadi sesuatu yang begitu berarti kala melintas batas.

Empat tahun itu terdapat banyak inovasi dalam berbagai hal. Mulai dari harga yang hampir tiap tahun naik, hingga metamorfosa bentuk tiket. Tahun pertama sepotong karton tebal mungil berukuran 3x5 cm, lalu berubah bentuk menjadi secarik kertas berukuran sekitar 7x8 cm, dan kini telah menjadi selembar kertas laiknya tiket kereta jarak jauh plus ketukan stempel perjalanan bebas asap rokok di muka tiket. Dan kini inovasi baru telah tersedia, kereta ber-air conditioner, tentunya dengan bandrolan harga yang lebih.

Lebih dari itu terdapat beragam pembelajaran yang telah saya dapatkan. Kegemaran mengamati orang-orang berlalu lalang di atas kereta besi itu setidaknya telah mewarnai lembaran makna kehidupan saya. Suatu pagi saya naik kereta yang saat itu ramai penumpang. Beruntung, saya mendapat tempat duduk namun tiba-tiba ada seseorang berjalan dan dengan cueknya membalik tempat sampah yang ukurannya cukup besar. Praktis, sampah-sampah di dalamnya sebagian berhamburan keluar dan sebagian lainnya terperangkap di dalamnya. "Kreatif" nian bisa menjadikan tempat duduk dari sesuatu yang jarang, bahkan tidak pernah diperhatikan orang lain.

Lain waktu perasaan dongkol kerap menghampiri. Kala tiba-tiba kereta terlambat, kereta macet, hingga kereta dibatalkan perjalanannya. Pernah kereta macet hingga terlambat sekitar dua jam tiba di stasiun tujuan.  Dan konyol sekali rasanya ketika kereta tiba-tiba berhenti di atas rel yang memotong jalan raya sekitar lima belas menit lamanya. Tak ayal berbagai macam bentuk kendaraan darat non kereta api saling bersahutan menyuarakan klaksonnya. Dan posisi kereta yang mengular masih tak berubah.

Kebersamaan para penumpang pun menjadi irama cerita tersendiri. Mereka beseragam kerja yang berbeda namun sudah seperti satu keluarga besar. Dan akhirnya terpampanglah di pelupuk mata tulisan "komunitas prameks-ers" di beberapa jaket hitam. Mereka yang tiap berangkat dan pulang bekerja bertemu dalam kereta yang sama dan tak jarang gerbong yang sama dengan kursi berdampingan.

Kereta menyuguhkan senandung kehidupan yang beragam. Bermacam karakter orang senantiasa silih berganti mewarnai perjalanan-perjalanan kemarin.

Last but not least: kereta api mengajarkan manusia Indonesia untuk tepat waktu. :)

Last Impression

"...yang rada nyesek pas wisuda itu cuman perasaan keberpisahan dengan sahabat-sahabat kuliah yang sudah barengan selama 4-5 tahun..."
--Ridwan Kamil via Twitter
Benar! Aku justru merasakan ketidakinginan beranjak dari sisi sahabat-sahabat kuliah di detik-detik terakhir ini. Sebagai mahasiswa pendatang, tak lain dan tak bukan, teman, kawan, dan sahabat adalah sosok-sosok yang senantiasa membersamai hari-hari. Mereka adalah orang-orang yang begitu dekat dalam bentangan jarak dengan keluarga di rumah.

Ada begitu banyak momen bersama para sahabat seperjuangan yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Kala menikmati sajian ala brunch di kantin kampus usai kuliah pagi. Juga saat memburu makan malam usai mengakhiri aktivitas di kampus. Kala bersama-sama menghadap dosen pembimbing pada studio-studio  dan mata kuliah sebelum studio akhir. Kala melancong ke pelbagai sudut kota, menyesapi alam, tapak, ruang-ruang, bangunan, serta interior. Kala menangis bersama saat harus bergadang hingga pagi telah menjelang dan adzan shubuh nyaris berkumandang. Dua puluh empat jam dalam empat hari selama lebih dari empat tahun rasanya benar-benar tidak bisa lepas dari kalian. Tak bisa lagi kutuliskan apa saja kebersamaan yang pernah dan telah kita lalui. Saat kubuka mata di pagi hari dan kubuka pintu kamar yang nampak adalah kamar kalian. Begitu pula saat akan kututup pintu kamar dan akan kupejamkan mata, kalianlah yang terakhir kulihat.

Pun tak dipungkiri kebersamaan dengan teman-teman dari jurusan lain yang telah menggoreskan kenangan pada bait-bait kisah selama beberapa tahun ini. Sekretariat dan rapat barangkali adalah menu wajib mingguan kita. Rangkaian kebersamaan demi kebersamaan dalam memenuhi target program kerja hingga momen mendebarkan bernama musyawarah besar adalah ladang yang telah menyatukan semangat kita. Masih akan selalu ada kenangan bersama kalian saat kulihat berbagai name tag dari berbagai event yang pernah kita perjuangkan tergantung di dinding kamar. Begitu pun saat kubuka kardus berisi beberapa dokumen tentang perjuangan kita, dan aku masih tak habis pikir... Mengapa aku sering kalian daulat menjadi sekretaris? Hal itu membuatku tak sampai hati untuk membuang kertas-kertas dengan coretan-coretan tanda tangan yang untuk sekedar menemui orang-orang penting itu, aku harus benar-benar meluangkan waktu dan memperbesar frekuensi kesabaran.

Empat tahun tujuh bulan berlalu. Kita pertama kali bersama-sama dengan pakaian putih-putih di bulan Agustus tahun 2007, berbaris teratur di lapangan rektorat.

Dan tadi pagi hingga menjelang sore aku kembali menemui beberapa wajah-wajah dari kalian. Kita akan kembali berpisah di gedung belakang rektorat, auditorium, dua hari lagi. Selamat berpisah... Terima kasih atas semua kebersamaan ini. Ada selaksa pelajaran berharga yang telah kudapat. :)

Minggu, 19 Februari 2012

Petrichor dan Aksara

http://tardis.wikia.com/wiki/Petrichor
Rintik hujan baru saja mengecup keringnya muka tanah… Harum basah tanah mulai merebak.

Entah mengapa lalu saya begitu rindu dengan suasana di depan kamar kos kala tahun terakhir kuliah, kos kedua –dari tiga rumah kos yang pernah saya huni. Kamar itu begitu terasa syahdu kala hujan mengguyur. Terletak di lantai bawah dan tepat di depan pintu kamar adalah innercourt –taman dalam. Tidak luas memang, tetapi saat tanah dan rerumputan tersentuh butiran air hujan, petrichor –aroma yang khas itu, akan segera mengudara, menyisipi rongga pernapasan.

Kamar itulah yang saat itu menerbitkan begitu banyak inspirasi untuk memainkan aksara dan kata-kata. Sepetak ruang yang meruahkan suka dan duka dalam dunia literasi. Kotak massa tak pejal yang menjadi liang persembunyian, sarang kesunyian. Tidak akan saya lupa air mata haru yang pernah saya dapat kala itu atas nuansa-nuansa bahagia. Ketika saya menemukan secercah apresiasi atas karya-karya yang pernah terpublikasi.
tuangan air hujan yang tak kunjung usai. akan kau tabur bubuk apa lagi dalam cangkir-cangkirnya? gundah, resah, gelisah? mengasah lelah yang hendak mengisah."
30 November 2010
 "air hujan dan bubuk keraguan semakin mengental teraduk pada cangkir kepercayaan.”
30 November 2010
hujan akhir masa. mari kita tuang pada secangkir kebahagiaan dengan taburan bubuk manis kehangatan dan sesendok semangat tak bertuan.”
01 Desember 2010
Potongan kata-kata yang teruntai tersebut adalah kepingan memori saya di kamar kos itu kala hujan. Ya, saya begitu menyukai hujan dan saat itu kata “hujan” sering melompat keluar dari benak saya dan meluncur menghiasi status jejaring sosial Facebook pertama saya (yang kini sudah tidak aktif). Celotehan kata-kata yang saya publish di status Facebook kala itu memang cenderung konotatif, tidak lugas. Dapat pula dikata lebay seperti istilah zaman masa kini. Atau konon disebut puitis, nyastra jika dilihat dari perspektif sastra.

Namun kamar itu pula yang pernah menjatuhkan semangat saya untuk senantiasa menggoreskan tinta. Seakan jalan ini adalah jalan yang membuat jati diri ini hanyalah tipuan semata. Titik kelumpuhan menulis mengakhiri kisah di ruang bersejarah itu. Tidak jua pudar memori-memori yang membiaskan duka dan air mata. Akun Facebook lalu saya tutup dan saya vakum dari dunia itu selama satu tahun sebelum akhirnya pelan-pelan membangun blog ini. Dan setengah tahun yang lalu kemudian membuat akun Facebook baru walau saya jarang sekali posting di sana.

Tetapi sekuat apapun saya menjauhi dunia ini, bahkan naskah-naskah dari jaman sekolah menengah atas sekarang telah entah saya buang kemana. Nyatanya saya tetap tidak bisa meninggalkan dunia yang telah melekatkan berbagai kenangan dalam cerita hidup saya. Ketika membuka buku yang di belakangnya tercantum nama saya, ada perasaan terhanyut bahwa saya pernah menghasilkan karya. Ketika memainkan lembaran-lembaran buku yang mana ada beberapa karya saya di dalamnya, ada rindu yang menyentak. Tidak seharusnya saya goyah jika saya benar-benar menikmati dunia ini.

Persinggahan itu hanyalah sepotong cerita yang pernah menguntai kisah hidup saya. Persimpangan di kompleks universitas kehidupan yang telah mengajarkan berupa-rupa ilmu dan pengalaman. Titik fluktuatif yang ternyata sarat makna. Dan kini saya sudah singgah di rumah yang lain, yang akan kembali mengajarkan selaksa ilmu tentang pesona kehidupan.

Terima kasih kepada orang-orang yang tanpa sadar telah mengokohkan kembali pondasi semangat saya.

Dum spiro, spero. Selagi saya bernafas, saya tidak akan berputus asa.

di luar mendung kembali menggelayut... sebentar lagi hujan deras akan turun. :)

Sabtu, 11 Februari 2012

Garis Batas: Tirai Maya Penyekat Negeri-Negeri

Garis batas adalah kodrat manusia. Tanpa disadari, kita adalah seonggok tubuh yang selalu membawa garis batas portabel ke sana ke mari. Garis batas menentukan dengan siapa kita membuka hati, dengan siapa menutup diri.
Di hadapan orang yang sama sekali asing, kita mengalihkan pandangan. Ketika berada di keramaian, kita membaca buku atau menerawangkan pandangan kosong. Ketika seorang tak dikenal menyentuh, kita merasa tak nyaman. Namun ketika yang membelai adalah kekasih, kita menerima dengan senang hati. Di antara kawan-kawan dan handai tolan, kita membagi-bagi dalam spektrum kategori: akrab sekali, hubungan biasa, kawan jauh, hingga orang luar. Melalui garis batas, kita meraba dunia luar. Melalui garis batas, kita berlindung dari dunia luar.”[pg. 46]

Cuplikan kalimat di atas bukanlah bagian dari prolog maupun epilog dari buku karya Agustinus Wibowo ini. Namun bagi saya sepenggal paragraf tersebut sudah cukup menjadi ruh untuk menggambarkan keseluruhan tulisan petualangan di Garis Batas. Dalam skala terkecil, tiap individu sudah pasti memiliki lingkaran-lingkaran batas masing-masing, begitu pula pada skala populasi yang lebih besar seperti bangsa dan negara. Bangsa memiliki garis batas-garis batas sebagai penanda wilayah yang harus dijaga dan dilindungi sepenuh jiwa raga. Tak heran, di tiap-tiap garis perbatasan di manapun itu, akan selalu tervisualisasikan kesan keras nan tegas. Bayangkan bumi yang terdiri dari sekian ratus negara, memiliki sekian ribu garis batas? Itu berarti bumi memiliki garis-garis kehidupan yang begitu keras di setiap persimpangan antar bangsa. Adakah bangsa yang bebas dari nuansa persaingan? Pertanyaan saya selanjutnya yang membuat sejenak menerawang jauh melintas imajinasi tentang perbatasan nusantara –tanah air saya sendiri, dan negara-negara tetangga.

Garis Batas mengupas perjalanan Agustin di lima negara pecahan Uni Soviet --Asia Tengah. Negara-negara tersebut adalah Tajikistan, Kirgiztan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan Turkmenistan. Negara-negara yang merupakan "remah-remah" rezim Stalin ini memiliki karakter-karakter yang berbeda-beda meskipun berasal dari satu akar rumpun. Pengkotak-kotakan dan pemaksaan karakter itu terjadi pada saat Soviet merancang negara-negara artifisial di bawah naungan sang adikuasa Soviet. Apa yang terjadi pada negara-negara itu mungkin bagi kita di dunia yang jauh dari ranah-ranah tersebut akan memiliki kesan hebat. Tetapi tidak bagi mereka. Benar kata pepatah yang telah jamak dikenal khalayak bahwa rumput tetangga terkadang terlihat lebih hijau daripada rumput di halaman sendiri.

Akhiran stan di belakang nama-nama negara itu bukanlah tanpa arti. Pernyataan apalah arti sebuah nama tidak berlaku bagi negara-negara stan ini. Stan berasal dari bahasa Persia --istan, yang berarti tanah. Jadi Tajikistan akan berarti tanah milik bangsa Tajik; Kirgiztan berarti tanah milik bangsa Kirgiz; dan seterusnya. Begitu pula dengan Pakistan, Hindustan, Afghanistan. Hal ini memiliki kemiripan dengan asal mula kata Thailand yang berarti tanah (land) milik bangsa Thai. Namun yang membedakan, kemunculan negeri-negeri stan di Asia Tengah ini dimotori oleh kehadiran Rusia di Asia Tengah. Legenda Turkistan, tanah milik bangsa Turki, umat Muslim dengan jalur sutranya, dipecah oleh Rusia melalui politik divide et impera. Garis-garis batas ditegaskan; bangsa-bangsa dikotak-kotakkan; etnis dihapus, dilebur, dilupakan!

Di Tajikistan, nama-nama yang bercitra Islami dimetamorfosa, dimodifikasi agar memiliki kesan Russian, terdiri atas nama marga, nama sebenarnya, lalu diikuti nama ayah. Sebagai contoh, Ali bin Mahmud bin Abdullah akan menjadi Abdullayev Ali Mahmudovich. Keren bin modern  bukan? Bagi orang kita nama-nama seperti ini akan menjadi kebanggaan. Namun tidak bagi mereka, itu sama sekali tidak keren apalagi modern. Bagi mereka itu adalah bagian dari penjajahan, bagian dari pemaksaan. Sama sekali tidak membuat bangga. Garis batas dengan negeri Afghanistan begitu tegas meskipun itu hanya aliran sungai. Mereka berdampingan namun begitu berbeda. Mereka berdampingan namun tak saling tahu selain apa yang terlihat dari balik garis batas dan apa yang terlihat dari balik tapis itu belum tentu benar.

Permulaan bangsa yang Muslim itu, kini telah terpengaruh citra Rusia. Banyak yang mengaku Muslim namun belum tentu menjalankan shalat atau puasa. Tidak jarang mereka begitu bangga dengan kaligrafi kalimat-kalimat Arab namun tak mengerti artinya dan seakan tak ingin tahu. Ada pula yang meyakini bahwa puasa dapat dikerjakan dengan sistem "patungan" atau menjamu tamu setara dengan menunaikan ibadah haji. Vodka juga bukanlah sesuatu yang asing pada kehidupan individu yang mengaku muslim di negara tersebut. Di Turkmenistan, sang Turkmenbashi --pemimpin tertinggi Turkmenistan, bahkan membuat kitab suci yang begitu diagung-agungkan dan menjadi buku teks wajib yang harus dihafalkan anak sekolah hingga peserta tes pegawai negeri. Garis batas yang telah dilukis di atas lembaran peta dunia ini telah mengubah kultur-kultur bangsa itu menjadi begitu berbeda.

Begitu banyak hal yang berada di luar jangkaun indera penglihatan kita saat mencoba menembus garis-garis batas hingga sampai di secarik kecil potret negeri-negeri tersebut. Teropong lensa ini begitu terbatas sedangkan kultur mereka begitu luas dalam berbagai aspek baik ekonomi, sosial, politik, budaya, bahkan keyakinan. Menyelami cerita Avgustin --begitu "nama Rusia" Agustin, dari negara demi negara, tapal batas yang satu dan tapal batas yang lain terkadang membuat saya terperangah, termenung, terkejut, dan turut tegang. Hingga akhirnya saya tiba pada kesimpulan: garis batas itu kejam.

Jumat, 03 Februari 2012

Australian Legends

Lusa saya menerima kartu pos untuk kali keempat dari seorang sahabat Australia saya. Ia membubuhkan tiga carik perangko cantik bertema Australian Legends di punggung kartu pos. Tiga potret perempuan yang menghiasi sisi kanan kartu pos tersebut membuat saya penasaran. Kebetulan sahabat saya juga tidak menceritakan tentang perangko-perangko tersebut, ia bercerita tentang Sidney Opera House yang menjadi potret utama kartu pos. Maka saya pun berniat browsing untuk menepis rasa penasaran.

  Elizabeth Evatt.
"Elizabeth Andreas Evatt, born 11 November 1933, an emiminent Australian reformist, lawyer, and jurist who sat on numerous national tribunals and comissions, was the first Chief Judge of The Family Court of Australia, the first female judge of an Australian federal court, and the first Australian to be elected to the United Nations Human Rights Comittee." []


  Germaine Greer.
"Germaine Greer, born 29 January 1939, is an Australian writer, academic, journalist, and scholar of early modern English literature, and a significant feminist voice of the later 20th century. Greer's ideas have created controversy ever since her book, The Female Eunuch, became an international best-seller in 1970, turning her into a household name and bringing her both adulation and opposition." []


Eva Cox.
"Ms Cox, whose Jewish family fled Hitler's tyranny in Austria and arrived in Australia as a "refugee kid", was an early member of the Woman's Electoral Lobby and involved in setting up the first federally fund after-school centre in 1973. She directed NSW Council for Social Service from 1977-1980 and devised the childcare policy used by the Hawke Government." []


Masih ada satu perangko lagi dari empat perangko seri Australian Legends yang ditebitkan Australian Post. Perangko tersebut bergambar Anne Summers.

Anne Summers.
"Anne Summer is a writer, a journalist and author, whose latest books are The Lost Mother and On Luck. She writes opinion columns for the Sidney Morning Herald and The Sunday Age. Summers was a leader of the generation and the movement that changed Australia for women. Her involvement in the women's movement has earned her community respect and has been honoured with Honorary Doctorates from both Flinders University (1994) and the University of New South Wales." []

Dan ternyata mereka adalah wanita-wanita yang memiliki pengaruh terhadap perkembangan dan sejarah Australia serta dunia. Perangko-perangko itu telah melebarkan ranah pengetahuan saya!