Selasa, 17 Januari 2012

17.01.12

http://www.thebutterflysite.com
selayak sang elang yang terbang mengangkasa
maka lepas hari ini rama-rama akan terbang bebas
untuk selaksa keajaiban di ketibaan esok
aku datang, wahai cahaya...

Entah, kata apa yang pantas kusematkan di lipatan saku sang waktu. Tak aku tahu bagaimana gambaran rasa yang tengah ternikmati ini.

Lepas dari beberapa helai bulir rasa yang menggelayut, binar-binar kebahagian sungguh terasa dari pancaran sinar orang-orang yang kutemui siang tadi. Momen terakhir berkumpul bersama dosen-dosen dan teman-teman seperjuangan. Saat-saat terakhir menyemai senyum dan menguatkan ikatan tali silaturahim sebelum sama-sama hengkang, melangkah menuju dunia yang baru dengan segala bentuk tantangannya.
"...kembalilah jika kalian rindu, kembalilah karena ini juga rumah kalian..."
Sepotong kata-kata dosen terbaik saya tersebut tiba-tiba mengguncangkan benteng penahan air mata. Meski tak benar-benar rengkah, susunan itu telah sedikit retak. Sungguh, saya masih berat meninggalkan kebersamaan ini. Kebersamaan yang tiba-tiba menjadi begitu erat justru di saat-saat terakhir meniti jalan perjuangan ini. Saya pun tidak tahu mengapa baru di tahun terakhir ini dapat begitu dekat dengan beberapa dosen. Ketulusan dan keikhlasan yang terpancar dalam sunggingan senyum, tawa, dan canda, membaur bersama nasihat dan dukungan yang menyala-nyala.

Terima kasih atas rangkaian cerita sekian masa. Maaf untuk segala kekhilafan. Dan kini kusadari bahwa kristal bening yang jatuh satu per satu ini adalah kristal keharuan. Aku pasti akan sangat merindukan kalian kelak. Kini kususuri kembali alur perjalanan ini, kucoba raba ulang sketsa-sketsa kenangan yang pernah terjalin: kanopi dan hall; eks ruang pengembangan; ruang kelas 203, 202, 201; studio 1, 2, eks studio TA, studio TA; bursa arsitek; mustek; sekre-sekre; rekamatra; lab struktur (how wonderful the last conversation with my lect.); lab sains bangunan; lab arsitektur tradisional; lab komputer; ruang sidang jurusan; jembatan lantai 2 &3 (i'll miss the blowing wind); ruang-ruang dosen; and last but not least... ruang kajur.

I have a dream, a song to sing 
To help me cope with anything 
If you see the wonder of a fairy tale 
You can take the future even if you fail 

Something good in everything I see 

When I know the time is right for me 
I'll cross the stream - I have a dream

It's a miracle of my life, it's a wonderful story in my life. It's a huge happiness that I've met you all...

Minggu, 15 Januari 2012

Kembalilah Sahabatku

http://sandyhaight.com

...menatap lembayung di langit Bali,
dan kusadari betapa berharga kenanganmu,
di kala jiwaku tak terbatas,
bebas berandai memulang waktu...

Lembayung Bali dilantunkan oleh Saras Dewi. Lagu ini mengudara sejenak di langit batinku. Mengingatkan pada seorang sahabat yang kini perlahan mulai menjauh. Kurang lebih tujuh tahun kami mengarungi suka duka, dan di penghujung tahun ini kerikil-kerikil kecil mulai mencoba menguji persahabatan ini. Tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Kami --berempat-- dipertemukan pada sebuah pertemuan khidmat di atmosfer sekolah menengah atas.

...hingga masih bisa kuraih dirimu,
sosok yang mengisi kehampaan kalbuku,
bilakah diriku berucap maaf,
masa yang tlah kuingkari dan meninggalkanmu...

Mungkin tanpa kusadari aku, kami bertiga, telah berbuat salah. Kami tak ada saat engkau membutuhkan. Pantas, jika sekian tahun lalu, pada tahun kedua persahabatan, dirimu mempertanyakan arti kata "sahabat". Kami mungkin belum pantas disebut sahabat, pun hingga kini, sosok-sosok yang selalu ada saat engkau membutuhkan meski dalam ruang yang terbatas. Namun kami sepakat, kami akan berusaha menjadi sahabat untukmu. Maaf atas ketidak-adaan kami dan atas keasyikan kami di dunia kami masing-masing.

...teman yang terhanyut arus waktu,
mekar mendewasa,
masih kusimpan suara tawa kita,
kembalilah sahabat lawasku,
semarakkan keheningan lubuk...

Waktu yang bergulir memang tanpa sadar perlahan mulai menjauhkan kita. Kami mulai sibuk dengan pencarian kami masing-masing. Kami semakin jauh terpisah jarak, ruang, dan waktu. Namun akankah semudah ini persahabatan akan luntur, retak diterjang putaran masa? Mungkinkah dahulu kita terlalu dekat sehingga ketika kami mulai melangkah satu-satu di garis takdir masing-masing, engkau mulai kehilangan... Dan  jika kau tahu, aku pun kehilangan. Aku rindu suara kita, tawa dan canda kita kala aku kembali ke kota ini, kota yang mempertemukan kita...

...hingga masih bisa kurangkul kalian,
sosok yang mengaliri cawan hidupku,
bilakah kita menangis bersama,
tegar melawan tempaan semangatmu itu...

...hingga masih bisa kujangkau cahaya,
senyum yang menyalakan hasrat diriku,
bilakah kuhentikan pasir waktu,
tak terbangun dari khayal keajaiban ini...

Aku merindu kebersamaan kita dulu. Aku merindukan kita dengan kekhasan karakter kita masing-masing... Aku merindu mendengar mimpi kalian, dan cerita perjuangan kalian meraih mimpi itu (meski kadang hal itu justru menyalakan api cemburuku)...

Jakarta = Yes or No?

http://www.tigweb.org/
Pasca sidang pendadaran menemui titik usai, gaung nama ibukota menyenandung riang dan kian nyaring di gendang telinga saya. Dosen pembimbing kedua saya dengan semangatnya mendukung saya untuk melangkah ke kota itu. "Ke sanalah dulu, cari pengalaman," ucapnya berkali-kali. Dan beliau terlihat kecewa saat saya berkata ingin tidak jauh-jauh dari rumah.

Begitu pula dengan ketua jurusan arsitektur. Saya mengenal baik beliau sejak semester delapan lalu. Tentang hal ini, banyak teman yang bertanya-tanya bagaimana bisa saya mengenal baik ketua jurusan itu. Maklum, beliau bukan pembimbing akademik saya, bukan pula pembimbing tugas akhir. Perjumpaan pertama saya dengan beliau adalah saat sidang seminar di semester tujuh. Salah satu dosen penguji berhalangan hadir dan kemudian (mungkin) beliau didaulat untuk menggantikan. Saat itu beliau masih asing bagi saya karena baru saja kembali dari tugas belajar strata tiga. Setelah itu kami kembali berjumpa pada salah satu mata kuliah perbaikan dan beliau adalah pengampu kedua. Well, dari sanalah saya mengenal dekat beliau --efek samping sok cari perhatian dan sering setor muka :P.

Dan dari beliau, bapak ketua jurusan, pula saya tiba-tiba terjebak dalam ruang kebingungan dan kebimbangan melangkah. Pagi itu saya hanya berencana mengambil sejumlah eksemplar konsep tugas akhir yang telah dibubuhi tanda tangan di meja beliau. Jumat pagi itu suasana kampus begitu sepi, termasuk lorong di depan ruang-ruang dosen hingga bibir ruang ketua jurusan yang biasanya ramai. Saya pun hanya seorang diri melangkah masuk ruang yang kini dikuasai pimpinan tertinggi jurusan tersebut.

"Pak, sudah ditandatangani?" Saya bertanya singkat.
Beliau meletakkan ponsel, "Ini sudah..."

Bergegas saya masuk, mengecek ulang lembar-lembar pengesahan. Sementara bapak ketua jurusan bertanya ulang apa rencana saya setelah ini. Saya tersenyum dalam kebingungan menjawab pertanyaan beliau. Layaknya mengetahui saya masih terombang-ambing, beliau bercerita bahwa tadi ada pesan singkat dari alumni. "Saya baru nego, semoga fresh graduate bisa masuk. Tapi di Jakarta..." kata beliau tepat di ujung cerita.

Sebelumnya saya memang pernah bercerita kepada beliau tentang apa dan bagaimana sosok Jakarta di mata saya dengan bumbu cerita-cerita teman-teman. :D Dan saya tak ingin berpanjang lebar menceritakan ulang kembali hal tersebut. Setelah sejenak bercakap-cakap, seulas kalimat "Nanti saya pertimbangkan, Pak.." meluncur tanpa halangan sebelum saya melangkah keluar.

Dan siangnya, ponsel saya bergetar. Pesan singkat dari beliau, "..fresh graduate boleh, bagaimana?"

Lalu saya semakin terjun bebas di jurang kebingungan..

bapak, saya ingin bertemu lagi. saya ingin meminta pertimbangan lagi. saya ingin diyakinkan lagi.

Rabu, 11 Januari 2012

12.12.11


menunggu tujuh belas januari dua ribu dua belas
huruf apa yang pantas untuk performa hari itu?


12.12.11 memperingati satu bulan dari titik-puncak-pengelanaan-empat-tahun-enam-bulan

Blue Cuppy

one of my cuppy ;D

Sudah kutebak kedatanganmu. Seperti biasanya,
kau berkias tentang sepasang ikan yang menyambar-nyambar umpan sedikit demi
sedikit,
menggosok-gosokkan tubuh di karang-karang,
menyambar, berputar-putar membuat lingkaran,
menyambar, mabok membentur batu-batuan.
...

(Sudah Kutebak, Sapardi Djoko Damono)

Kamis, 05 Januari 2012

Tabir Harapan Bagi Mereka di Ujung Negeri


Pada sepenggalah pagi ini saya belum selesai merapal cerita-cerita yang terhimpun dalam buku Indonesia Mengajar. Namun bulir-bulir kristal sudah mengembun di sudut-sudut kelopak mata.

Bukan tanpa sebab, saya merasa terenyuh dengan kondisi keseharian mereka, para penduduk pulau-pulau terpencil nan terpelosok itu. Transportasi yang minim, sumber mata air yang memutar bukit, listrik yang belum tersedia, hingga kondisi pendidikan itu sendiri yang turut terpencil sekaligus terkucilkan. Memang, pernyataan di atas tidak lantas harus dipukul rata pada semua daerah terpencil itu karena ada daerah-daerah yang belum ada listrik namun air berlimpah. Transportasi yang minim namun sumber mata air mudah didapat. Ya, tiap daerah memiliki kelebihan dan kekurangan –jika perbandingannya adalah ranah-ranah sejenis dan bukan kota-kota.
“Masyarakat yang dekat dengan pusat kemajuan, katakanlah masyarakat Pulau Jawa, memandang Sulawesi Barat hanya sejauh dua jam perjalanan dengan pesawat. Namun, Pulau Jawa di mata masyarakat Sulawesi Barat adalah suatu tempat di negeri antah berantah. Sungguh jauh. Apalagi bertemu dengan Wakil Presiden, membayangkan saja tidak.” (hlm. 107)
Saya kemudian tersadar bahwa saya tengah berada pada zona yang sangat nyaman. Transportasi di Pulau Jawa sangat mudah didapatkan –baik secara bendawi maupun sarana jalan raya yang “lebih” memadai, tetapi mengapa kadangkala harus mengeluh saat menjumpai begitu banyak polisi tidur, terperangkap kemacetan, atau sekadar tidak mematuhi peraturan lalu lintas. Sebagian mereka di pelosok, bermimpi bersepeda saja mungkin tercekat di bibir benak, mengingat jalanan yang masih tidak memungkinkan untuk dilalui –yang ketika hujan, kadangkala menjadi becek, licin, atau bahkan banjir.

Keberadaan sarana yang lain pun begitu. Listrik, betapa terkadang saya begitu dongkol saat perusahaan listrik tiba-tiba memadamkannya. Sementara sebagian dari mereka baru bisa menikmati listrik genset saat jarum jam telah menunjuk angka sembilan malam. Sarana komunikasi, betapa saya dengan mudahnya dapat berkomunikasi dengan kawan-kawan lintas kota bahkan negara dan benua. Sementara sebagian dari mereka harus hidup terpisah dengan orang tua yang hanya bisa dikunjungi dengan kapal motor selama dua jam perjalanan yang hanya beroperasi dua kali sepekan.

Namun di balik keterbatasan itu banyak kejutan-kejutan yang menakjubkan. Anak-anak itu seperti mutiara yang tertabiri. Bila mereka mendapatkan kesempatan yang memadai untuk mengembangkan minat dan bakat, bukan hal mustahil mereka akan menjadi kebanggaan bangsa. Mereka cerdas, mereka pintar, tetapi mereka belum tersentuh.
“Mendidik adalah tugas konstitusional negara, tetapi sesungguhnya mendidik adalah tugas moral tiap orang terdidik.” (Anies Baswedan, hlm. xv)
Ini adalah sebuah pilihan.

PS: tiba-tiba tercetus jika transmigrasi digalakkan kembali, tetapi bukan memindahkan masyarakat tak mampu, justru mentransmigrasikan para sarjana, para orang-orang sukses, para orang yang bisa menjadi cermin masyarakat di sekitarnya. orang-orang yang bisa mensugesti masyarakat setempat, agar harkat hidup dan martabatnya terangkat. :)

Senin, 02 Januari 2012

Villa Natura|Popo Danes|Bali

eksisting pohon tetap dipertahankan
kontekstualitas atap dan lingkungan
swimming pool
sweet bedroom ;D
semua tentang kayu
peaceful! :)
what do you think?