Sabtu, 31 Desember 2011

Monumen Brajasandi

Candi bentar yang begitu tinggi menjulang seketika telah nampak dari tepian jalan. Itulah pintu masuk area Monumen Brajasandi.


Monumen Brajasandi terletak di Lapangan Puputan Renon, Denpasar, di depan Kantor Gubernur Bali, yang juga dekat dengan pasar seni Kumbasari. Brajasandi dibangun sebagai monumen perjuangan rakyat Bali, salah satunya tentu Perang Puputan Margarana dan I Gusti Ngurah Rai.

 
Suasana di Brajasandi ini pun begitu asri, tenang. Saya bersama seorang kawan sepakat bahwa tempat ini sangat pas digunakan untuk menyendiri dan merenung. Dan memang begitulah fungsi ruang di lantai tiga Brajasandi. Ruang yang letaknya paling tinggi itu ditasbihkan "sepi" dari keramaian, baik internal maupun eksternal bangunan. Malangnya, saya tidak dapat naik ke lantai tiga tersebut karena sesuatu hal. Namun saya merasa, sepi di atas bangunan itu seperti sepi yang selalu akan terasa, sunyi yang berirama sama dengan kesunyian tanah yang tinggi. Saya hanya bisa membayangkan bentangan pemandangan kota terhampar di depan mata. Persis seperti bentangan panorama yang jamak saya lihat dari atas bukit, tebing, atau sekadar jalanan menuju pegunungan. Takjub!


Konsep monumen yang saya acungi dua jempol. Keteguhan memegang hukum-hukum adatlah yang saya yakini menjadi hal vital dalam perancangannya. Brajasandi terbagi menjadi tiga bagian secara horizontal maupun vertikal, sesuai dengan konsep Tri Mandala. Secara vertikal bangunan terdiri dari tiga lantai, semakin ke atas semakin suci. Secara horizontal terdiri dari tiga trap dengan pusat di tengah yaitu kolam dengan delapan tiang. 

Tak hanya di dalam, di luar bangunan pun terdapat kolam yang mengelilingi bangunan. Kolam ini diibaratkan sebagai lautan susu. Konsep-konsep kosmologis begitu kental pada bangunan ini karena terdapat kitab-kitab tradisional yang mendasarinya, yaitu Lontar Kosala-Kosali yang begitu populer sebagai dasar tata bangunan di Bali, serta Lontar Adi Purwa.


Berada di Bali, mencerap arsitektur bangunan-bangunan di sana, seakan tak ada habisnya. Senantiasa menerbitkan pesona. Betapa masyarakat Bali masih memegang teguh prinsip-prinsip tradisional. Tak lantas lalu menolak modernitas namun bagaimana mereka dapat menggabungkan tradisonal dan modern menjadi unsur-unsur dengan estetika yang memuncukan keunikan tersendiri. Orang Bali termasyhur sebagai seniman multitalenta, dan nenek moyang bangsa Indonesia bukankah arsitek-arsitek yang begitu jenius?

Terima kasih Bali, saya rindu!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar