Sabtu, 01 Oktober 2011

Canting [resensi]

Barangkali 'canting' adalah kata yang sudah tidak asing lagi bagi khalayak. Canting merupakan alat untuk membatik berupa penciduk lilin yang bercarat, terbuat dari tembaga.
Canting, carat tembaga untuk membatik, bagi buruh-buruh batik menjadi nyawa. Setiap saat terbaik dalam hidupnya, canting ditiup dengan napas dan perasaan. Canting, simbol budaya yang kalah, tersisih, dan melelahkan. [cover belakang]
Roman klasik yang berjudul Canting ini ditulis oleh Arswendo Atmowiloto, budayawan yang pernah pula termasyhur atas karya ceritanya Keluarga Cemara. Melalui Canting, Arswendo mengungkapkan seluk beluk kehidupan masyarakat Jawa ningrat yang kala itu masih begitu dekat dengan batik. Adalah Canting yang merupakan cap batik Ngabean milik Pak Bei. Namun bukan serta merta Pak Bei yang kemudian mengurus perusahaan batik. Justru Bu Bei lah yang menjadi direktur perusahaan batik tersebut.

Hingga pada akhirnya Bu Bei meninggal dunia, Canting yang telah tergilas oleh batik printing menarik perhatian Ni, putri bungsu Pak Bei dan Bu Bei. Usaha Ni untuk membangkitkan kembali produksi batik tulis memang tidak mudah. Ni sudah menjadi anak generasi modern sedangkan Bu Bei dan buruh-buruhnya di kebon wingking masih taat pada ajaran Jawa klasik. Buruh-buruh itu tidak mengenal rapat, manajemen perusahaan, pembukuan keuangan, atau pun 'zona nyaman'.

Ketika Ni berusaha mengaplikasikan segala teori modern itu, buruh-buruh justru merasa tidak nyaman. Benarlah bahwa setidaknya ada dua karakter manusia Jawa klasik, yaitu kepercayaan dan kepasrahan. Kepercayaan dapat dilihat pada tidak adanya pembukuan keuangan, pembukuan tersebut terpatri di dalam ingatan. Yu Nah bahkan hafal di luar kepala berapa batik yang tersisa, berapa yang terjual, siapa yang hutang, hingga berapa jumlah hutangan yang mencapai jutaan.

Kepasrahan salah satunya terlihat pada hubungan buruh-buruh dengan ndaranya. Buruh menyerahkan segala keputusan kepada atasan. 

Dalam pasrah tak ada keterpaksaan. Dalam pasrah tidak ada penyalahan kepada lingkungan, pada orang lain, juga pada diri sendiri. [pg. 283]
Dalam segala hal selalu ada sumangga atau mangga kersa, sebagai penyerahan yang total. Sebagai pemberian kepercayaan yang mutlak dan menyeluruh, karena yakin yang di atas akan berbuat baik. Sumangga bukan sikap yang terpengaruh oleh inflasi, devaluasi, pertimbangan, dan kecurigaan. Sumangga adalah sikap pasrah membahagiakan lahir maupun batin. [pg. 361]

Dalam hal kepercayaan kepada Dzat Yang Maha, kepasrahan ini pun tampak seperti pada wejangan Pak Bei kepada Ni.
Agama itu untuk diterima. Mau menerima atau tidak. Kita bisa menerima atau menolak kalau kita punya sikap pasrah. Pasrah itu bukan mencari,  tetapi menerima. [pg. 251] 
Dalam  beberapa hal kepasrahan merupakan sikap yang menceminkan kebaikan. Akan tetapi kepasrahan mutlak seperti halnya yang dianut masyarakat Jawa klasik bukanlah sesuatu yang patut untuk terus menerus dipertahankan. Seperti halnya Ni, dalam arus modernitas ia berani menjadi tidak Jawa, menjadi aeng untuk bisa bertahan. Ni berusaha menjembatani keklasikan batik tulis dengan modernitas batik cap/printing. Bukankah Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, apabila kaum tersebut tidak berusaha merubahnya menjadi lebih baik?

*pasca menamatkan canting, sembari 'mendengarkan' pemilihan putri putri batik nusantara 2011. hay...ada kawan sma-ku di sana. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar