Sabtu, 24 September 2011

Quote No 9

cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada.
certamen ergo sum, aku berjuang maka aku ada.
cintai impianmu, cintai kerja kerasmu, cintai hidupmu dengan berani.
jangan menyerah dan jangan pernah berputus asa.
citius, altius, fortius --faster, higher, stronger.
seperti hidup yang tidak sempurna, kamu janji..kamu tidak akan menyerah.
-2, Donny Dhirgantoro

Vista Beranda

Betapa panas udara sedari siang tadi. Hawa seakan tak mendapat sejengkal ruang lagi. Kemarau menggarang. Matahari menggantang. Tetumbuhan meranggas. Pucuk-pucuk pepohonan tiada lagi hijau, segalanya nampak selayaknya tercelup warna soga.

Menjelang senja tadi, saya melongok sejenak membidik beberapa rumpun bebungaan di beranda yang masih terlihat segar dan merekah. Bahkan ketika tanah mulai menyusutkan mata air dan hujan tak kunjung mengucur.

 koleksi bunda :D

dan...

ketika jari-jari bunga terbuka mendadak terasa: betapa sengitcinta kita
cahaya bagai kabut, kabut cahaya; 
di langit menyisih awan hari ini; 
di bumi meriap sepi yang purba;
ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata, suatu pagi
di sayap kupu-kupu, di sayap warna
swara burung di ranting-ranting cuaca,bulu-bulu cahaya; 
betapa parah cinta kita
mabuk berjalan, diantara jerit bunga-bunga rekah
-Sapardi Djoko Damono, Ketika Jari-Jari Bunga Terbuka

Jumat, 23 September 2011

Universalitas Arsitektur

Purna sudah pengembaraan saya hampir tiga hari ini melalui pencerapan pada satu kitab arsitektur yang ditulis oleh Bapak Galih Widjil Pangarsa, Arsitektur untuk Kemanusiaan. Kurang lebih satu semester yang lalu, saya berkesempatan mengikuti salah satu session seminarnya. Jiwanya menggelora, semangatnya sungguh hebat dalam mempertahankan khazanah ke-Nusantara-an arsitektur negeri ini yang konon sedang kacau balau.

Pada akhirnya saya pun kian mantap untuk melanjutkan langkah melalui jalan ke-Nusantara-an. Melalui Arsitektur untuk Kemanusiaan, Pak Galih menyadarkan betapa sesungguhnya Sabang sampai Merauke ini sangat kaya. Tetapi mengapa kita tidak bangga dengan kekhasan khazanah negeri ini? Mengapa kita justru latah untuk andil dalam perencanaan arsitektur empat musim dalam negeri yang hanya memiliki dua musim?

http://kvc.minbuza.nl/nl/current/2008/october/prawoto
Asitektur untuk Kemanusiaan secara khusus mengemas preseden-preseden dan metode perencanaan serta perancangan arsitek Eko Prawoto yang katanya masyhur sebagai “arsitek kampungan.” Dengan ketermarginalan rancangannya melalui penggunaan material-material tradisional bahkan material daur ulang, Eko Prawoto sungguh telah menyuguhkan karya yang istimewa. Misalnya pecahan keramik bisa disusunnya menjadi motif lung-leng dengan filosofi “lebih baik memberi daripada menerima.” Dengan spontan pula ia meminta tukang menyiramkan air pada semen untuk memperoleh motif tumpahan air pada lantai. Ide-ide Eko Prawoto sebagian besar sangat spontan, bukan disusun di studio, di atas kertas kalkir dengan tinta hitam melainkan di lapangan dengan lembar-lembar kertas seadanya melalui sketsa.

Saya cukup tertohok ketika Pak Galih kemudian mengungkapkan bahwa Eko Prawoto sangat menyukai sketsa. Oleh karenanya, ia memiliki intuisi ruang yang tinggi, juga kedalaman penghayatan terhadap bangunan. Semuanya karena sketsa. Rasanya benar juga pernyataan itu. Intuisi saya terhadap karya-karya yang pernah saya buat terasa lemah, saya hampir tidak pernah meluangkan waktu untuk menggoreskan pensil secara khusus. Saya sudah begitu familiar dengan pocket camera, picture, segala elemen visual mondial. Teknologi benar-benar tidak selamanya memberi cita rasa, sebaliknya cita rasa yang tinggi justru terletak pada hasil karya tangan karena karya tangan pasti tiada duanya.
Indonesia adalah bocoran surga. --Cak Nun.
Indonesia seharusnya lekat dengan arsitektur pernaungan dibanding arsitektur perlindungan. Arsitektur perlindungan lebih pantas untuk negara-negara dengan empat musim dengan tiga iklimnya yang kurang bersahabat. Sedangkan arsitektur pernaungan kiranya hanya melindungi manusia dari konteks matahari, dengan kata lain menaungi. Oleh karena itu, komponen penting pada arsitektur perlindungan adalah bidang vertikal sedangkan pada arsitektur pernaungan adalah bidang horizontal atas. Dengan empat bidang vertikal yang berupa partisi, memberikan kelonggaran ornamen. Inilah keistimewaan nusantara dengan detailing-nya yang tinggi, kekayaan keragaman, dan kebhinekaan yang luas. Nusantara memiliki beragam bentuk respon desain terhadap iklim yang sama –rumah joglo; rumah gadang; rumah tongkonan; rumah hanoi; dan sebagainya.
karena itu arsitek mesti merajut makna-makna detil itu agar bermakna luhur dan sesuai dengan pentas utamanya, di layar spasio visual arsitekturnya.
--Galih Widjil Pangarsa
Ketradisionalan bukanlah keprimitifan. Arsitektur yang bermanfaat tidaklah selalu yang gigantis, futuristik, high-tech, dengan cita rasa global. Arsitektur yang baik adalah yang memanusiakan manusia dan mengikuti kehendak tapak –meminjam istilah Eko Prawoto. Universalitas…
Setiap artefak yang ditinggalkan arsitek adalah jejak langkah sikap hidupnya. Ia akan mempertanggungjawabkannya. [pg. 133]

Rabu, 21 September 2011

Tentang Perjalanan

infokito.wordpress.com
“Mungkin sebuah kebetulan ketika pada akhirnya saya bekerja sebagai arsitek.”

Saya terhenyak begitu membaca kalimat pertama pada lembar pengantar buku Arsitektur untuk Kemanusiaan dari maestro arsitektur kontekstual dan lokalitas dari Yogyakarta, Eko Prawoto.

“Sejauh ingatan saya hal ini seperti mengalir begitu saja seolah tanpa direncana. Seperti aliran sungai di tengah hutan. Ada antusiasme dalam derasnya arus kecilnya namun pada saat yang bersamaan ada begitu banyak kelokan tersembunyi dalam relung-relung bebatuan serta ketidakpastian alur pusaran yang dilewatinya. Namun gemericik kilauan serta kesejukannya dengan setia disandangnya. Adakah kemampuan manusia untuk menentukan garis hidupnya sendiri?”

Lalu saya teringat perjalanan saya hingga sampai di pulau ilmu bernama arsitektur. Perjalanan ini juga terjadi begitu saja. Mengalir laksana air meski sebelumnya saya sempat mendambakan hidup di pulau ini. Namun impian menjadi arsitek bukanlah angan-angan yang menggebu-nggebu. Bukan selayaknya obsesi di garda depan. Di ujung perjalanan putih abu-abu, saya pun mulai berpaling pada pulau ilmu yang lain, yang sangat berseberangan dengan seni, khususnya rancang bangun tentu saja. Tapi toh pada akhirnya Tuhan menggariskan bahwa jalan saya adalah berlayar menuju pulau estetika bangunan.

Empat tahun telah saya lalui dengan hidup di pulau ilmu ini. Beragam suka dan duka silih berganti menerpa seperti angin malam yang berputar lalu menghembus berulang-ulang. Perjuangan ini memang akan segera berakhir namun perjuangan dan kerja keras ini bukan tanpa akhir. Saya sadar sepenuhnya bahwa ilmu yang saya dapatkan belum cukup mumpuni untuk melongok ke dunia nyata, hakikat kehidupan yang sesungguhnya. Saya masih harus dan terus belajar, menguak gudang-gudang ilmu, merapal aksara-aksara, menyimak perbincangan-perbincangan.

Kenyataan maha penting yang kemudian saya sadari adalah saya akan segera ditasbihkan menjadi lulusan arsitektur. Tapi apakah hati saya benar-benar telah bersandar --tak sekedar tertambat-- di bahu arsitektur? Saya masih ingin mencari jawabannya…:)

“Perjalanan menjadi arsitek adalah perjalanan pencarian, proses belajar yang terus menerus, serta pergumulan untuk mewujudkan yang lebih baik, yang mendatangkan kebaikan bagi lebih banyak orang. Sebuah pencarian yang mungkin tidak akan pernah tuntas selesai, penuh ketidakpastian, gamang, serta ragu namun sebenarnya juga penuh peluang untuk mengungkap semangat daya hidup kreatif. Sehingga serangkaian pergumulan ini bukan berarti perjalanan pencarian yang sia-sia, terlebih jika kita tahu bahwa kita tidak sendirian.“
studio no 5 kala malam memeram kelam

Senin, 19 September 2011

Jalur Kedua

hening tiba-tiba...

aku pun tergugu dan tergagu
lidahku kelu
kaku atas kicauan yang mendadak menyergap
selayaknya kereta akan melintas

bukan pertama kali aku beku
dan tak ada yang keliru bila itu berlalu
melalui jalur kedua rel hidupku

mungkin sudah saatnya aku kembali
turut
memburu tiket kereta menuju
kota itu

Minggu, 18 September 2011

Mail Box

before
Semenjak hampir setiap pekan menerima kartu pos, saya mulai memikirkan rumah untuk mereka. Setidaknya persinggahan sementara selama saya tidak berada di rumah. Jika mereka-mereka yang berada di negara dengan apresiasi terhadap dunia persuratan (filateli) sangat besar memiliki mail box di depan rumah, bagaimana dengan saya? Membuat mail box di depan surat rasanya masih tidak memungkinkan karena pegawai pos akan langsung mengetuk pintu atau menyisipkannya melalui celah-celah bawah pintu. Jadi yang terpikir hanyalah memusatkan penerimaan benda-benda pos. Selama ini saya merumahkan benda-benda pos tersebut pada kardus bekas pembungkus sepatu. :D

after
Semester lalu saya sempat membuat beberapa kotak untuk teman-teman yang bermaterialkan yellowboard, material yang sudah sangat akrab di pembelajaran kampus. Yellowboard adalah kertas karton yang lebih mirip papan, tebalnya mencapai dua milimeter. Apabila belum terbiasa, terkadang sangat susah memotongnya dan telapak tangan akan memerah. :)

Let's try!

Pola (ingat materi jaring-jaring di matematika sekolah dasar :D) yang sudah dipotong kemudian direkatkan dengan lem. Saya terbiasa memakai alteco untuk merekatkan sisi-sisinya, berhubung alteco saya tertinggal di rumah kos maka saya memohon adik agar menghibahkan lem kayunya. :D Dan hasilnya kurang rapi..:( Oh ya, lem alteco sifatnya panas dan sangat mudah kering, perlu kehati-hatian stadium tiga. :D *jangan khawatir apabila justru jari-jari anda yang terrekat, lunakkan lem dengan air sabun pekat.

Bagian dalam kotak, lapisi dengan kertas samson atau kertas yang senada dengan sampul luarnya nanti. Perlu diperhatikan bahwa lem kertas bisa digunakan tetapi kertas tidak akan tertempel dengan rapi --menggelembung pada bagian-bagian tertentu atau justru menjadi basah-- karena lem kertas cenderung mendekati zat cair. So, biasanya saya memakai lem pvac warna putih. :) Perlu dipastikan setiap sentimeter kertas telah rekat dengan permukaan yellowboard sebelum lem mengering.

Finally, lilitkan pita pada kotak tersebut sebagai pemanis. :) 

Kamis, 15 September 2011

13rd Postcards: Have A Great Day! (USA)

Totally Speechless

Senja ini beberapa saat saya benar-benar tak bisa berkata apa-apa.  Kebahagiaan saya membuncah sangat hebat.  :)

Beberapa hari sebelum hari raya Idul Fitri 1432 H lalu, saya sempat bercakap di kereta dunia maya dengan seorang sahabat postcrosser saya dari Utah, USA. Kami berbicara sejenak tentang kekaguman saya pada Eid Stamp, perangko definitif USA yang sempat beliau kirimkan pada kartu pos sebelumnya, kartu pos pertamanya. Hari berganti, waktu berputar. Pada perjumpaan berikutnya, hari kedua Idul Fitri, saya menemukan pesan dari beliau bahwa beliau telah mengirimkan a lot of kartu pos. Bukan some, tetapi a lot. Saya benar-benar ingin menggaris-bawahi kata itu.

Penantian saya pun berakhir hari ini, setelah menunggu sekian hitungan hari. Sepulang dari kota-timur, habitat saya menimba ilmu secara formal saat ini, adik saya menyerahkan sebuah amplop putih besar dan tebal dengan banyak perangko di bagian luarnya. Suddenly I'm speechless, I can't speak any more. Saya termangu memangku amplop itu. Saya masih belum ingin mengintip bagian dalamnya. Beberapa saat lamanya jari-jari ini masih menyusuri tepian amplop, meraba-raba tepian-tepian perforasi perangko, mengamati dua perangko yang telah cacat perforasinya karena jarak yang ditempuhnya memang sangat jauh.

Puas memandang cover luarnya, saya pun mulai meraba-raba apa yang ada di dalamnya. Surprise! Dua amplop yang lebih kecil, cukup tebal keduanya; empat perangko Eid 2011 plus first cover; serta satu kartu dengan visualisasi emoticon smile :) (kartu pos di mana beliau menuliskan pesan dan bercerita). Di dalam dua amplop kecil itu terdapat kartu pos-kartu pos bertitel "a lot" seperti yang ditulisnya di pesan maya dan foto keluarga beliau.  Hingga detik ini pun saya belum menghitung berapa kartu pos yang ada di dalam amplop kecil itu. --satu per satu semoga bisa saya upload di blog ini.:) 
the only written card
---hope will meet Mr Michael Cleverly soon, meet his wife, Mrs Shavna; his daughter, Meghan; his three son, Andrew, Caleb, and Jacob (one of them wants to be an architect :D --Caleb), and his twin children (daughter --Marta and son --Ethan). All of them are postcrossers, but his wife have left postcrossing.
 thank you, cleverly family...:)

*)beberapa postcard tersebut sudah saya publish di sini. :) 

12nd Postcard: Lappi Lapland-Suomi Finland

summer holidays greetings from finland...

Rabu, 14 September 2011

Karena Hidup Tidak Pernah Sampai di Sini

peoriaaudubon.org
Sebenarnya saya belum usai merapal kisah yang ditulis oleh Donny Dhirgantoro melalui novel “2”. Tetapi keinginan untuk membagi beberapa paragraf ini sungguh bergejolak. :)

Sekali lagi semenjak Sang Pencipta menghadirkan diri ini di dunia nyata; sekali lagi, manusia memilih untuk bekerja keras atas apa yang ada di hadapannya, mengganti kata masalah menjadi tantangan. Berjuang, walau hasil yang didapat belum tentu terlihat, bekerja keras mengantarkan impian ke dunia nyata.

Manusia telah sampai di sini karena hidup tidak ada yang sempurna, hidup selalu melahirkan batas antara harapan dan kenyataan. Karena layaknya hidup adalah tantangan yang harus dihadapi dengan berani, dan setiap kita pun tahu, kita menjadi baik karenanya. Manusia tidak akan mencapai tingginya langit dan dalamnya samudera jika hidup adalah sempurna, karena hanya seorang pengecut mengharapkan hidup yang sempurna.

Hari-hari berarti, matahari berarti, dan bulan berarti.

Jangan pernah meremehkan kekuatan seorang manusia karena Tuhan sedikitpun tidak pernah. Entah sudah ke berapa kali kalimat itu membakar dada yang mendengarnya, menjadikan panas di setiap langkah dengan derapnya berpacu memenuhi lantai kayu gelanggang. Derap langkah dan kelebat tangan cepat dari urat halus yang terus bekerja keras menghunjamkan pukulan tajam. Atau, yang ratusan kali berusaha mengembalikannya. Bermula di gelapnya semburat biru subuh, berakhir di rona jingga senja, kadang matahari hanya selepas lewat di pandangan. Melatih harapan, dengan kerja keras membawa impian menjadi bukti dunia nyata. Berjuang di bawah langit sebuah bangsa besar yang sudah berjalan jauh dan tidak sempurna.

Hari berarti, matahari berarti, dan bulan berarti.

Setiap dari kamu adalah manusia, dan layaknya manusia, hidup tidak ada yang sempurna, tetapi di setiap doamu, kamu tahu, Sang Pencipta sedikit pun tidak pernah meremehkan kekuatanmu.

Setiap dari kamu sudah berjalan cukup jauh dalam hidup, tetapi setiap dari kamu masih ada perjalanan yang harus kamu tempuh. Langkah kaki kita sudah berjalan cukup jauh untuk sampai di sini, tetapi kita selayaknya percaya kalau masih ada langkah untuk berjalan lebih jauh lagi.

Karena hidup tidak pernah sampai di sini.

Karena untuk hidup dan melangkah adalah sebuah anugerah, tetapi untuk terus hidup dan terus melangkah lagi, bekerja keras untuk setiap impian adalah luar biasa.

Karena hidup tidak pernah sampai di sini.

Karena semenjak ada di muka bumi ini, dalam hidup manusia telah saling membuktikan kepada manusia lain bahwa mimpi memang menjadi kenyataan, bahwa keajaiban itu ada. Bahwa dengan impian dan kerja keras manusia bisa…melakukan sesuatu yang kadang ia sendiri tidak menyangka ia bisa melakukannya, melakukan hal-hal yang jauh di luar kemampuannya, melakukan sebuah keajaiban.

[pg. 321-324]

Metamorfosis

“Proses pendidikan anak yang paling baik harus dimulai sejak 20 tahun sebelum anak tersebut dilahirkan."
mytravel.co.id
Semalam saat berbincang dengan teman-teman di rumah kos, tiba-tiba kalimat tersebut mengalun. Dan ingatan saya pun membeliak, teringat catatan seorang kawan di laman tulisan pribadinya. Jika dipikirkan dengan logika, pendidikan anak akan dimulai sejak usia sang ibu masih anak-anak. Taruhlah anak lahir kala usia orang tuanya 25 tahun maka pendidikan itu dimulai pada saat orang tua berumur lima tahun. Ya, mendidik diri sendiri terlebih dahulu sebelum mendidik generasi selanjutnya, anak-anak kelak. Memanajemen diri sendiri terkadang justru lebih sulit dibandingkan memanajemen orang lain atau sesuatu yang lain.

Pendidikan tersebut akan berlangsung secara menerus, tanpa jeda. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, like father like son, like mother like daughter, peribahasa ini sungguh populer di dunia ini. Keturunan yang baik akan menghasilkan keturunan yang baik pula. Apabila karakter kedua orang tua baik, maka karakter anak nantinya akan sama baik pula.

Sempat pikiran saya mengembara ke masa lalu, menguntai kenangan-kenangan lawas. Apa yang telah saya lakukan selama dua puluh tahun lebih ini. Apa yang telah saya peroleh dalam putaran masa lebih dari dwi-dekade ini. Apa yang telah saya rencanakan untuk masa depan.

Saya terpesona dengan perjalanan hidup ini. Begitu indahnya segalanya terjadi. Terima kasih ibu, ibu, ibu, bapak. Tak akan pernah usai kalimat itu terpatri dalam jejak langkahku, aku ada karena kalian ada. Kasih sayang kalian yang sepanjang jalan, sementara kasih sayangku tak akan pernah lebih dari panjangnya galah. Terima kasih untuk segalanya.

Belum ada kata terlambat untuk memperbaiki diri. Senantiasa, selama masih ada nafas terhembus. Untuk tunas-tunas yang akan membuahkan buah yang manis…

||cetusan kala musikalisasi sajak Metamorfosis SDD mengalun indah dengan setetes kristal di sudut lensa mata…

ada yang sedang menanggalkan pakaianmu satu demi satu
mendudukkanmu di depan cermin, dan membuatmu
bertanya, “tubuh siapakah gerangan yang kukenakan ini?”

ada yang sedang diam-diam menulis riwayat hidupmu,
menimbang-nimbang hari lahirmu, mereka-reka
sebab-sebab kematianmu
ada yang sedang diam-diam berubah menjadi dirimu
-Metamorfosis, Sapardi Djoko Damono, 1981

Minggu, 11 September 2011

Perjumpaan Pertama

Genap dua bulan sudah, saya menjelajahi dunia via kartu pos. Hampir dua bulan pula, pak pos berulang kali menyambangi halaman belakang rumah, membunyikan klakson, dan mengetuk pintu demi menyampaikan secarik kertas sepuluh kali enam belas sentimeter --yang maha penting untukku. Hingga kartu pos keenam yang saya alamatkan ke rumah, sekali pun saya belum berjumpa dengan pak pos. Muncul sedikit pakewuh kemudian karena belum sekali pun pula saya mengucapkan terima kasih. Maka hari-hari selanjutnya saya berusaha melakukan aktivitas di beranda belakang antara pukul sembilan sampai pukul sepuluh, menanti hadirnya pak pos yang tanpa kabar, tidak terduga.

Pagi hari Rabu tertanggal 7 September 2011, akhirnya saya mendengar klakson berbunyi satu kali. The postman is coming! Sontak saya mendekati sumber suara sebelum didahului anggota keluarga yang lain. Dengan tersenyum beliau mengeluarkan secarik kartu, kartu pos dari Jerman. Kartu pos itu adalah salah satu kartu pos yang pernah saya favoritkan di laman postcrossing. Kartu sederhana dengan beberapa potret kecil kota-kota di Jerman beserta susunan aksara "Made in Germany" di tengah.
Hampir lima menit lamanya kami berbincang sebelum akhirnya pamit melanjutkan tugasnya usai saya mengucapkan terima kasih untuk kedua kalinya. Beliau sudah seperti keluarga bagi kami, beliau sudah pernah bertemu bapak, ibu, dan adikku. Beliau sudah seperti sahabat...

kukirimkan padamu kartu pos bergambar, istriku,
par avion: sebuah taman kota, rumputan dan bunga-bunga, bangku dan beberapa orang tua, burung-burung merpati dan langit yang entah batasnya.
Aku, tentu saja, tak ada di antara mereka.
Namun ada.

(Kukirimkan Padamu, Sapardi Djoko Damono)


overall, thank you so much my postcrossing pals..;)

Sabtu, 10 September 2011

11st Postcard: Palace of Culture and Science-Warsaw


This gargantuan, Gotham City-like tower shoots up from the centre of Warsaw. Raised after the Second World War during the era of Soviet domination, it remains one of the most controversial buildings in Poland, and it was only a whisker away from being pulled down when the Berlin Wall fell in '89. 

Built between 1952 and 1955 as Joseph Stalin's "gift" to Warsaw, it was to resemble the Seven Sisters of Moscow, although to frustrated Varsovians it merely resembled the ugly reality of Soviet domination. After the "thaw" of 1956, the name of the building dropped Stalin's moniker and became merely the Palace of Culture and Science (Palac Kultury i Nauki), though it was occasionally referred to as "Peking" (from the Polish abbreviation, PKiN).
Today, the Palace of Culture (Palac Kultury) still stands as the tallest structure in the city, as well as in all of Poland. With 42 floors and over 234 metres (with 43 metres of spire alone), this epic still has the upper hand on all of its modern neighbours. At the moment, the building serves as an exhibition hall and office complex, as well as an FM and television broadcasting centre and cinema, theatre, museum, bookshop, and conference hall fitting 3,000 people. 

Perhaps the highlight of the Palace of Culture for tourists is its observation deck on the 30th floor, from which you can see the whole city and the Vistula on a clear day. An old joke goes that the best views of Warsaw are available from the building - it's the only place in the city from where it could not be seen. In case you're having difficulty finding this megalith on Marshal Street (don't know how you could!) try asking for Plac Defilad (Plahts deh-FEE-lahd) - the largest square in Europe. 

(http://www.warsaw-life.com/poland/palace-of-culture-and-science)

10th Postcard: Welcome to Kyiv, Ukraine

thank you Eugenia..:)

Senin, 05 September 2011

8th Postcard: Yellow Trans of Lisbon

No. 28 Yellow Trans
The yellow trans has a symbol of Lisbon, capital city of Portugal. No. 28 is one of the most used by the tourist. Although nowadays there are more modern and developed trans.

thank you Heidii :)

Simple Reminder

Sungguh laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
(QS Al Ahzab: 35)
 simple reminder from a friend... such a coincidence with the nuance of circumstances...

Minggu, 04 September 2011

Dalam Penantian

hujan turun sepanjang jalan
hujan rinai waktu musim berdesik-desik pelan
kembali bernama sunyi
kita pandang: pohon-pohon di luar basah kembali
tak ada yang menolaknya. kita pun mengerti, tiba-tiba
atas pesan yang rahasia
tatkala angin basah tak ada bermuat debu
tatkala tak ada yang merasa diburu-buru

(Hujan Turun Sepanjang Jalan, SDD: 1967)
Aku pun medadak kelu saat uraian kata bernada tanya itu meluncur di tepat di pangkuanku. Rama di kursi rotan di seberang tersipu sumringah. Sedang sang rama-rama masih saling bercanda diantara tarian daun pita, sebelum kembali pulang ke sarang. Aku tak merasakan gelegar. Itu sudah jamak menyembul pada titian langkahku. Aku pun mengerti, sudah saatnya menyusun batu bata untuk menghadirkan ruang baru. Namun gemetar ini mendadak hadir senja ini. Ada binar yang berbeda, ada cahaya yang tak sama.

Ini semua pesan rahasiaNya untuk segera bergegas, sebelum tabir memberi batas, dan jarak meretas langkah.


Bismillahirrahmanirrahim... Perjalanan besar ini harus segera diniatkan untuk dimulai.
Ya Rabb, mohon kabulkanlah permohonan hambaMu ini...:)

Menjejak Asia, Menyapa Eropa, Melintas Amerika dan Canada, Menapak Australia

[catatan re-posting tertanggal Thursday, December 3, 2009] 
 

 I am a traveler seeking the truth, a human searching for the meaning of humanity, and citizen seeking dignity, freedom, stability and welfare under the shade of Islam. I am a free man who is aware of the purpose of his existence and calls, truly, my prayer and my sacrifice, my life and my death, are all for Allah, the Cherisher of the worlds; He has no partner. This I am commanded and I am among those who submit to His Will. This is who I am. Who are you?
-Hasan Al Banna-

Mengulang kembali judul di atas “Menjejak Asia, Menyapa Eropa, Melintas Amerika dan Canada, Menapak Australia”, melalui The Journal of a Muslim Traveler karya Heru Susetyo. Advokasi HAM dan advokasi sosial melalui PAHAM (Pusat Advokasi Hukum dan HAM Indonesia) adalah hal yang membuatnya betah menjadi pengacara jalanan, konsultan hukum keluarga, penyelidik swasta, dan aktivis HAM. Bersama PAHAM dan Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI), ia melanglang buana hingga Maluku, Poso, Sambas, Aceh, dan turut melakukan kampanye kemanusiaan ke Australia-Selandia Baru dan empat negara di Eropa Barat pada tahun 2000. Heru juga menempuh pendidikan advokasi tambahan di Chicago, Wellington-New Zealand, Taiwan, Jepang, serta mengikuti berbagai seminar dan training terkait di Denver-USA, Salzburg-Austria, Shanghai-China, Tokyo & Kyoto-Jepang, Davao-Philipines, Chiang Mai-Thailand, dan Penang-Malaysia.

Dari beberapa perjalanan tersebutlah Heru terinspirasi untuk membukukannya dalam kaca mata dan bingkai kata Muslim.

Bersyukurlah, kita dilahirkan, besar, dan hidup di bumi Indonesia. Itulah kesimpulan yang dapat saya tarik dari catatan-catatan Heru. Mengapa? Indonesia merupakan negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia. Kita bebas melaksanakan ibadah dengan fasilitas yang sangat memadai (meski terkadang kita masih juga mengatakan ‘kurang memadai’) serta hak asasi yang benar-benar dihormati.

***

Sebagai contoh, masyarakat Thai non muslim relatif berlaku baik. Hanya saja penegetahuan mereka tentang Islam amat minim. Mereka hanya memahami Islam sebatas melarang makan daging babi. Di samping itu, Lebaran Haji tidak menjadi libur nasional, sama halnya dengan Idul Fitri. Ya, tidak seperti di Indonesia bukan? Di Chulalongkorn University, Thailand, ada sekitar 100 mahasiswa dan pegawai Muslim. Namun hanya ada satu mushola kecil yang hanya berukuran 6x3 meter dengan bentuk yang tidak persegi empat. Nyaris berbentuk segitiga di mana di bagian imam mushola menyempit menjadi hanya berukuran dua orang dewasa saja. Bagaimana dengan masjid dan mushola yang betebaran di bumi Indonesia ini?

***

“Semua pun tahu bahwa Amerika adalah negara yang sekuler. Walaupun sekuler di sini diartikan sebagai pemisahan antara negara dan gereja. Namun yang membuat penulis masih tak habis pikir sampai kini adalah azan dan doa pun dipermasalahkan di sini (Amerika-red). Penulis pernah diprotes tetangga sebelah kamar karena menghidupkan alarm azan subuh di kamar pribadi penulis pada pukul enam pagi. Uniknya ia tak tahu kalau itu suara azan. Ia berkata, “Harap anda jangan menyetel musik India atau Buddha pada pagi hari Sabtu. Ini waktu saya untuk beristirahat dan saya tak mau terbangun di pagi hari Sabtu oleh suara musik India tersebut!” Padahal, suara alarm azan tersebut tidak sangat keras, pula disetel di kamar pribadi penulis. Bayangkan kalau ia tinggal di Jakarta di mana jam tiga pagi pun terkadang surau-surau di RT sudah berlomba mengaji dan mengumandnagkan azan.” [pg. 185-186]

“Tak ada larangan untuk shalat memang, tapi bahwasanya seorang Muslim harus shalat lima waktu dalam sehari banyak yang tak mengetahuinya. Alhamdulillah kendala tempat ini tak mengurangi warga Muslim untuk menunaikan shalat. Penulis sering melihat mahasiswa Muslim shalat di perpustakaan kampus, di tempat parkir supermarket, hingga di taman-taman umum. Saking asingnya dengan shalat, pernah dua orang Muslim yang sedang shalat di samping minimarket di Texas ditangkap polisi karena pemilik toko menganggap bahwa shalat adalah bagian dari ritual terorisme.” [pg. 187-188]

Betapa sebenarnya Indonesia sangat menghormati umat Muslim. Hanya saja terkadang kita tak menyadarinya. Umat Muslim di negara-negara yang disambangi Heru sebenarnya sangat berharap banyak kepada Indonesia. Salah satunya kata-kata Maryam-san, mualaf dari Jepang, “Tolonglah bantu kami para mualaf di Jepang. Kirimkan para da’i dan bantulah membangun pendidikan Islam di Jepang. Jangan terlalu pelit dengan ilmu yang anda miliki. Saya melihat banyak orang pintar agama Islam di Indonesia. Maka, bagi-bagilah ilmunya ke Jepang.”

Sekarang, apa yang akan kau lakukan teman? Bergeraklah.

”Hikmah adalah harta benda kaum Muslimin, di manapun ia berada kita wajib mendapatkannya.”
-Heru Susetyo-

Sabtu, 03 September 2011

Rendezvous?

bulan masih sabit kala raut sang langit menyungging warna lain
biru putih biru putih kelabu abu-abu

seolah menjelma bak dedaunan di pucuk randu
melambai lalu jatuh mengapung kala hujan mengguyur
atau mengiba lalu meranggas kala kemarau menggilas

semisterius langkah sang masa
fineartamerica.com

Senyum Sang Netra

sejenak nan bermakna pada waktu yang senantiasa menggulir
lorong waktu menyempit menaruh ruang bersua
sepenggal senyum mengembang diparuh cahaya netra
dalam ketertundukan mengadu suara tanpa kata

detik perpisahan membara asa, "kapan bertemu lagi?"

lienaaifen.com

Jumat, 02 September 2011

Quote #4

quickfuture.blogspot.com
Semua perubahan besar digerakkan oleh dua hal: rasa sakit dan cita-cita. Selanjutnya pertarungan antara dua hal inilah yang menentukan usia gerakan perubahan itu. Mari memenangkan mimpi dari rasa sakit.
-Shofwan Al Banna Choiruzzad