Senin, 16 Mei 2011

Satu Malam bersama (Novelnya) Andrei Aksana

Pada suatu Jumat yang telah lalu, aku merasa penasaran dengan sosok itu. Sosok penulis yang aku belum pernah mendengar namanya namun ia disejajarkan dalam satu sofa panjang bersama Hilman Hariwijaya (penulis Lupus); Moamar Emka (penulis Jakarta Undercover); dan Ahmad Fuadi (penulis Negeri 5 Menara). Mereka asyik berbincang bersama Alvin Adam dalam sebuah reality show.
“buku bisa membuat orang lebih bijak dan berpengetahuan –andrei aksana”
Andrei Aksana malam itu begitu membuatku penasaran. I’ve knew Hilman, I’ve knew Emka, and I’ve knew A Fuadi...but Andrei? Who’s he? Kata-katanya pun kemudian kucatat di layar lolipop yang tengah terbentang. Suatu hari nanti, aku harus tahu siapa dia. Memang aku tidak menargetkan secara khusus untuk mempunyai buku-bukunya, novel-novelnya lebih tepatnya. Hingga pada suatu Kamis siang, di kios kecil sudut kompleks loakan buku, saat aku tengah mengobrak-abrik barisan novel, mataku membaca Abadilah Cinta, Andrei Aksana. Langsung saja kuambil buku itu yang tentu saja sudah lusuh. Buku cetakan kedua novelnya akan segera berada dalam genggamanku dengan harga sangat miring. =D =D Sehari, dua hari, baru aku sempat membacanya. Pukul delapan hingga hampir pukul setengah dua belas malam, aku menekuri kata-katanya, verbalisasi imajinasinya.

Andrei banyak bertutur tentang cinta, mungkin itu yang membedakannya dengan Hilman, Emka, dan Fuadi. Gaya bahasanya melankolis ritmis. Konfliknya? Dalam bayanganku seperti adegan di dalam sinetron, berputar-putar dalam konflik itu. Tapi konflik yang disajikan Andrei berbeda, tak ada perbedaan kontras antara protagonis dan antagonis dalam situasi multikonflik yang memang pada akhirnya hanya berujung pada satu konflik.
Amanat? Inilah bagian yang paling banyak disorot dulu saat masih di bangku sekolah, pelajaran Bahasa Indonesia, dengan sub pelajaran Apresiasi Sastra. Andrei menyajikan amanat yang menyentil, terutama bagi para orang tua. Bahwa anak tidak bisa didikte, bahwa anak tidak sepenuhnya harus diatur, apalagi dengan sangat over protective. Anak berhak memperoleh kebebasan sesuai dengan bakat dan minatnya, karena masa depan terletak di tangannya, bukan tangan orang tuanya. Orang tua hanyalah sebatas fasilitator.

The last message from that book:
Kita akan merasa kehilangan apabila pernah memilikinya... Maka jagalah harta itu, sesederhana apapun bentuk, wujudnya, bahkan jika harta itu tidak berwujud sekalipun. Karena ia punya nyawa, punya jiwa, punya hati...(meski ilmu bumi menyatakan bahwa ia benda mati, tapi ilmu fisika menyatakan bahwa setiap benda punya partikel yang senantiasa bergerak, hidup). Well, inilah Andrei Aksana.

Yes, I’ve knew him!

perahukecil, 06 Mei 2011 09:05
dan akhirnya aku menyelesaikannya pagi ini, seiring alunan melodi Kitaro Dawn-Raising Sun

sudahkah matahariku(Mu) terbit?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar