Senin, 16 Mei 2011

Puncak Suroloyo, Perjuangan Menaklukkan Diri Sendiri

Yogyakarta, 15 Mei 2011

Pagi itu perjalanan menuju Puncak Suroloyo dimulai. Puncak ini berada di kawasan Kalibawang, Kulon Progo; termasuk pada deretan Pegunungan Menoreh. Pegunungan Menoreh biasanya hanya bisa kulihat di kejauhan dari jalan meuju istana ayah ibuku.

Tapi kali ini keyakinan ini lebih kuat. Aku ingin menaklukkan diriku untuk mencapai puncak itu. Well, jalan yang kulalui merupakan medan yang benar-benar berbeda. Meskipun sudah berulang kali aku pergi ke tanah-tanah ketinggian, aku masih merasa medan ini benar-benar tidak biasa. Tidak seperti medan ke kawasan Candi Sukuh-Cetho di lereng Lawu yang menurutku adalah medan paling terjal pada waktu sebelumnya. Pun tidak seperti medan menuju Desa Segoro Gunung, dimana aku dan kawan-kawan BEM FT UNS pernah mengadakan upgrading. Tidak pula seperti Cemoro Sewu, salah satu titik awal pendakian Lawu atau kawasan Ketep-Kedungkayang di Magelang.

Medan ini benar-benar menantang! Jalanan sempit, hanya cukup dilalui dua mobil yang berjalan pelan-pelan (sudah ditambah "trotoar" jalannya). Kanan kiri jurang menganga seakan siap melahap apa-apa yang melintas di lehernya. Suasana sepi, kanan kiri kebanyakan ladang dengan rumah-rumah yang jaraknya jarang. Beberapa tebing sempat longsor, hingga jalanan menjadi licin dan harus turun dari kendaraan (terimakasih bapak yang udah nolong menyelamatkan dari licinnya jalan bekas longsor =)). Beberapa jalan juga ditutup karena tanah yang longsor belum disingkirkan. Mmm... jalan kecil itu juga banyak yang berlubang disana-sini. Kerikil-kerikil aspal sudah terlepas, kalau tidak hati-hati... entahlah akibatnya. Yang tak terlupakan adalah penduduk yang ramah-ramah. =)

Adrenalin benar-benar terpacu. Napas tertahan. Hembusan napas jadi terasa lebih teratur. Mungkin inilah yang kurasakan saat menuju tanah-tanah yang tinggi: berlatih menahan emosi, mengatur diri pribadi, memanajemen empat nafsu yang dimiliki makhluk bernama manusia.

Perjuangan itu akhirnya menemui titik akhirnya. Tanah-tanah yang tinggi benar-benar menunjukkan kekuasannya. Bahwa manusia bukanlah apa-apa. Bahwa perjuangan itu tidaklah bersifat instan, semua ada prosesnya.

Haruskah kita menyerah begitu saja? Itu yang kupikirkan saat menaiki tangga meuju gardu pandang tertinggi, yang (kuhitung) berjumlah 290 buah anak tangga. Tidak, menyerah bukanlah solusi terbaik. Rehat sejenak bolehlah, tapi menyerah? Menasbihkan diri untuk jadi pecundang?

290 anak tangga menuju puncak tertinggi

Aku tidak bisa melukiskan apa-apa yang kurasakan saat berada di tanah yang tinggi itu. Satu kata: subhanallah...

sayangnya kamera tidak sehat dan kabut terus menerus menyaput pandangan

"menempuh perjalanan, menyepuh perjuangan, menggapai tanah-tanah yang tinggi adalah salah satu bentuk menempa diri"

salah satu gardu pandang dari empat gardu pandang di empat puncak

Oh ya, satu lagi yang mungkin bisa menambah kosakata wawasan kita: di puncak ini terdapat tugu batas antara DIY dan Jateng...

tugu batas DIY-Jateng


Sleman, 16 Mei 2011
menantikan petualangan selanjutnya...=)

::writing without editing::

Tidak ada komentar:

Posting Komentar