Kamis, 19 Mei 2011

Nora Srakah Lamun Narima ing Pandum ala Manusia Jawa



“Orang Jawa tidak membedakan dengan jelas antara alam dunia kodrati dan alam adikodrati. Mereka tidak menguasai lingkungannya dan waktu, serta menerima kenyataan hidup sebagai suatu hal yang tidak bisa dirubah. Mereka menerima bahwa lingkungan itu seperti juga alam semesta, merupakan kekuasaan yang lebih tinggi darinya, sehingga lebih baik menyerah saja padanya.

-Neils Mulder, “Kepribadian Jawa dalam Pembangunan Nasional”. UGM Press, Yogyakarta, 1986.

picture from here

Kata-kata yang kubaca dalam salah satu halaman novel Atap-nya Fira Basuki itu kemudian mengingatkanku pada filosofi masyarakat arkhais Jawa: nora srakah lamun narima ing pandum. Ya, yang kurang lebih artinya menyerah saja pada keadaan...

Dalam Transformasi Nilai-Nilai Mistik dan Simbolik dalam Ekspresi Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, Ir Arya Ronald menuliskan:

“Masyarakat Jawa terbentuk dari pribadi Jawa dan keluarga Jawa yang secara umum telah menyadari bahwa dirinya hidup berada di antara empat kekuatan. Empat kekuatan tersebut digambarkan dalam empat arah, dan dari tiap pasang yang berseberangan dapat dibuat garis penghubung. Pada perpotongan kedua garis itulah terletak kedudukan manusia Jawa. Pada garis horizontal dia berada di antara kekuatan manusia hidup dan kekuatan roh manusia, sedangkan pada garis vertical dia berada diantara kekuatan Tuhan (Allah SWT) dan kekuatan alam.

Kekuatan Tuhan dianggap sebagai kekuatan spiritual yang tiada tandingannya. Roh manusia adalah kekuatan gaib yang tidak diketahui kenyataannya. Alam adalah kekuatan makrokosmos yang tidak mudah diukur secara tuntas. Manusia hidup adalah kekuatan mikrokosmos yang tidah mudah diukur kemampuannya.”

Mungkinkah budaya narimo ing pandum itu bertitik tolak dari keberadaan manusia Jawa pada perpotongan keempat kekuatan besar tersebut? Ya, kekuatan-kekuatan itu memang tidak dapat dilihat, tidak dapat diukur, tidak dapat diperkirakan, katakanlah KEKUATAN GAIB. Manusia Jawa tidak mampu melawan kekuatan-kekuatan tersebut? Sebenarnya bukankah itu tidak hanya berlaku bagi manusia Jawa? Toh kekuatan Tuhan dan alam itu berlaku bagi semua makhluk hidup...juga kekuatan manusia hidup. Sedangkan kekuatan roh manusia? Wallahu’alam... (percaya nggak percaya-red)

Lebih lanjut Ir Arya Ronald menuliskan bahwa tujuan hidup manusia Jawa tidak semata-mata hanya memenuhi tuntutan hidup dalam arti kata kebendaan atau materi. Manusia Jawa juga berusaha memenuhi tuntutan kebutuhan rohaniah demi mendapatkan perasaan hidup yang tenteram. Tuntutan kebendaan hanyalah memberikan ketenangan hidup yang berlangsung sementara, sedangkan ketenteraman dapat diharapkan berlangsung lebih lama, sepanjang masa. Oleh karena itulah kegiatan spiritual dan ritual menjadi bagian besar dari kehidupan manusia Jawa.

Kekuatan-kekuatan itu kemudian melahirkan kegiatan spiritual dan ritual bagi kehidupan manusia Jawa? Bahwa manusia Jawa kemudian menghormati keempat kekuatan tersebut?

*my unpredictable breakfast: arsitektur jawa lanjut =)) takjub!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar