Sabtu, 31 Desember 2011

Monumen Brajasandi

Candi bentar yang begitu tinggi menjulang seketika telah nampak dari tepian jalan. Itulah pintu masuk area Monumen Brajasandi.


Monumen Brajasandi terletak di Lapangan Puputan Renon, Denpasar, di depan Kantor Gubernur Bali, yang juga dekat dengan pasar seni Kumbasari. Brajasandi dibangun sebagai monumen perjuangan rakyat Bali, salah satunya tentu Perang Puputan Margarana dan I Gusti Ngurah Rai.

 
Suasana di Brajasandi ini pun begitu asri, tenang. Saya bersama seorang kawan sepakat bahwa tempat ini sangat pas digunakan untuk menyendiri dan merenung. Dan memang begitulah fungsi ruang di lantai tiga Brajasandi. Ruang yang letaknya paling tinggi itu ditasbihkan "sepi" dari keramaian, baik internal maupun eksternal bangunan. Malangnya, saya tidak dapat naik ke lantai tiga tersebut karena sesuatu hal. Namun saya merasa, sepi di atas bangunan itu seperti sepi yang selalu akan terasa, sunyi yang berirama sama dengan kesunyian tanah yang tinggi. Saya hanya bisa membayangkan bentangan pemandangan kota terhampar di depan mata. Persis seperti bentangan panorama yang jamak saya lihat dari atas bukit, tebing, atau sekadar jalanan menuju pegunungan. Takjub!


Konsep monumen yang saya acungi dua jempol. Keteguhan memegang hukum-hukum adatlah yang saya yakini menjadi hal vital dalam perancangannya. Brajasandi terbagi menjadi tiga bagian secara horizontal maupun vertikal, sesuai dengan konsep Tri Mandala. Secara vertikal bangunan terdiri dari tiga lantai, semakin ke atas semakin suci. Secara horizontal terdiri dari tiga trap dengan pusat di tengah yaitu kolam dengan delapan tiang. 

Tak hanya di dalam, di luar bangunan pun terdapat kolam yang mengelilingi bangunan. Kolam ini diibaratkan sebagai lautan susu. Konsep-konsep kosmologis begitu kental pada bangunan ini karena terdapat kitab-kitab tradisional yang mendasarinya, yaitu Lontar Kosala-Kosali yang begitu populer sebagai dasar tata bangunan di Bali, serta Lontar Adi Purwa.


Berada di Bali, mencerap arsitektur bangunan-bangunan di sana, seakan tak ada habisnya. Senantiasa menerbitkan pesona. Betapa masyarakat Bali masih memegang teguh prinsip-prinsip tradisional. Tak lantas lalu menolak modernitas namun bagaimana mereka dapat menggabungkan tradisonal dan modern menjadi unsur-unsur dengan estetika yang memuncukan keunikan tersendiri. Orang Bali termasyhur sebagai seniman multitalenta, dan nenek moyang bangsa Indonesia bukankah arsitek-arsitek yang begitu jenius?

Terima kasih Bali, saya rindu!


Jumat, 30 Desember 2011

Desa Adat Penglipuran


Sudah sekitar satu tahun sejak kunjungan saya ke Pulau Dewata, Bali, namun rasanya belum sekali pun saya berbagi di sini.

Salah satu tempat yang saya kunjungi di Pulau Seribu Pura adalah Desa Adat Penglipuran yang terletak di Kabupaten Bangli. Sesuai dengan kepala namanya, Penglipuran adalah sebuah desa yang “terisolir” dari modernitas zaman. Bangunan-bangunan rumah masih terlihat alami dengan candi bentar di mukanya –gapura simetris khas Bali yang terletak di bagian paling depan kompleks rumah. Nama Penglipuran sendiri berasal dari gabungan kata pengeling pura yang berarti tempat suci untuk mengingat leluhur.

Sebuah jalan berundak membagi kompleks desa secara simetris yang menghubungkan bagian yang profan dan bagian yang sakral. Area profan yang secara harafiah adalah area kotor –misalnya pemakaman, terletak di dataran yang lebih rendah. Sedangkan area sakral –berupa pura agung, terletak di dataran tertinggi. Gunung dan laut bagi masyarakat tradisional Bali adalah simbol kosmis, maka hampir pada setiap bangunan di Bali arah orientasinya adalah ke gunung dan laut.

Menarik bagi kehidupan di desa ini adalah jalan yang merupakan sumbu, diperkeras dengan paving block dan bukan aspal, serta dibiarkan bebas dari berbagai macam kendaraan. Tak ayal, suasana di desa ini sangat asri dengan udara yang masih sejuk, bebas polusi.


Tata massa tiap bangunan rumah di Penglipuran dan Bali umumnya adalah dengan membagi lahan menjadi sembilan bagian dengan pola grid. Pada bagian paling depan dekat dengan gapura terdapat pura keluarga. Selanjutnya terdapat dapur dan bagian-bagian rumah yang lain. Yang menjadi pusat perhatian saya adalah adanya pintu-pintu kecil antara kompleks rumah yang satu dengan yang lain. Jadi, meskipun antar rumah terdapat batas berupa pagar, namun secara keseluruhan terhubung. 

Material bambu cukup mendominasi rumah-rumah di Penglipuran mengingat area di sekeliling Penglipuran adalah hutan bambu. Bambu memang merupakan respon yang baik terhadap kondisi Bali yang berada pada zona tropis. 


Dan tak perlu heran jika menemukan anjing-anjing berkeliaran di Panglipuran. Anjing Kintamani yang mungil ini tak akan mengganggu kita. Masyarakat Panglipuran hidup bersama alam termasuk hewan dan tumbuhan dengan harmonis sesuai ajaran Hindu yang mereka anut.  




Rabu, 09 November 2011

Momen yang Kian Dekat

09 November 2011

Hari ini adalah hari yang paling menentukan dalam sejarah perkuliahan strata satuku. Tiba-tiba siang ini koordinator studio periode 124 masuk ruangan studio akhir dengan membawa beberapa lembar kertas. Yap, waktunya telah tiba. Pengumuman dosen penguji tugas akhir.

Urutan pertama, namaku, dosen penguji pertama xxx, dosen penguji kedua xxx. Alhamdulillah, kedua dosen ini bukanlah dosen yang cukup ditakuti mahasiswa. Sambut saja hari itu dengan senyum membuncah. Yeah, I'm happy...

Bergegas melayangkan pesan singkat kepada ibunda, dan segera pula doa dan restu mengalun menemuiku.
Bismillahirrahmanirrahim... Mudahkanlah perjalanan ini, ya rabb...:)

Jumat, 04 November 2011

Ayah

Pekan lalu saya kembali melancong ke salah satu surga dunia (bagi saya) yaitu toko buku. Kebetulan saat itu sedang ada fair sehingga terdapat buku-buku yang dibanderol harga jauh lebih murah. Beberapa buku langsung saya pilih, salah satunya adalah Kumpulan Puisi Namaku Perempuan. Buku tersebut berisi karya-karya sajak dari lima perempuan yaitu Ratih Sanggarwaty, Nungky Irma Nurmala, Nani Tanjung, Lintang Sugiarto, dan Srikandi Hakim.

Dan salah satu puisi yang paling berkesan adalah puisi karya Ratih Sanggarwaty tentang ayah. Momen ini sangat tepat dengan suasana saat bapak harus berangkat ke Makkah-Madinah selama lebih dari satu bulan.

ayah, kuingat ketika kau menungguiku lahir
kau mendampingi ibu
dalam bertaruh nyawa
kau seka peluh ibu
dan membisikkan kata "I Love You" di telinga ibu


dan ketika aku lahir
kau begitu bangga menjadi ayah
untuk pertama kalinya
kau lafazkan azan di telingaku
pada saat itulah aku menjadi Islam
karenamu, ayah


dan kini, ayah
aku telah baligh
kemarin aku terpana menatap diriku di cermin
inikah si bayi yang lucu dulu?
inikah si bayi yang sekarang telah sempurna menjadi perempuan
yang rahimnya telah siap menerima tugas suci
meneruskan tugas kehidupan
melahirkan khalifah-khalifah di bumi


dan pelan kuambil kain segiempat
kututupkan pada aurat rambut dan leherku
agar terjaga martabatku
agar sempurna keshalihanku
agar aku luput dari siksa kubur
agar doaku untukmu setiap malam
naik ke Arsy Allah


dan kau dimuliakan oleh-Nya
di dunia dan akhirat
karena kaulah yang pertama menjadikanku Islam
dengan kalimat syahadat dan azanmu
ketika ku lahir dulu


ya, kaulah yang berhak mulia di mata Allah, ayah...


puisi ini sempat menitikkan kristal-kristal bening kala ingat perpisahan yang cukup romantis nan melankolis jelang subuh itu

Minggu, 30 Oktober 2011

I Love You, Dad... and I will Miss You

30 Oktober 2011

Saya tidak ingat dengan pasti, kapan terakhir kali menautkan pipi kanan dan pipi kiri ke kedua pipi bapak. Namun tadi pagi menjelang subuh, semua itu refleks terjadi sebagai salam perpisahan sementara kami. Segera pula air mata mulai meluluri wajah, membentuk sungai-sungai yang meluber. Jika tidak segera diredakan oleh ibu, mungkin kami akan semakin lama membanjirkan linangan-linangan air mata pagi hari.

Apakah saya sangat dekat dengan bapak? Saya ingin menjawabnya, "Ya."
Namun kedekatan ini mungkin tidak tampak, jikalau tampak itulah yang wajar terjadi pada hubungan bapak dan anak. Namun hal kecil sekalipun yang berulang terjadi, akan mengesankan rasa yang dalam.  Dan akhirnya memang banyak kenangan-kenangan yang bertajuk indah bersama beliau. Sebagai anak pertama, saya menghabiskan empat tahun untuk mereguk kasih sayang bapak sebelum akhirnya memiliki adik pada penghujung tahun keempat. Hampir sepanjang hari saya menghabiskan waktu bersama beliau kala itu. Beruntung, karena bapak tidak bekerja secara formal.

Ketika saya beranjak sekolah, beliau yang mengantar jemput saya hingga sekolah menengah atas. Dan masih belum cukup, beliau mengantar jemput saya ke stasiun pada paruh tiga tahun pertama kuliah. Tak juga lekang dalam ingatan ketika suatu saat saya terlambat tiba di stasiun di awal masa kuliah. Saat itu kereta menuju kota timur baru saja berangkat. Tanpa pikir panjang, beliau langsung membelokkan kemudi menuju timur. Lain waktu beliau mengingatkan untuk banyak-banyak minum air putih kala saya berjabat tangan, berpamitan kembali ke kota timur, lalu beliau merasakan tangan saya sedikit menghangat.

Dan belakangan ketika saya mulai kembali intens menekuni dunia korespondensi, beliaulah yang menjadi perantara antara pegawai pos dan saya. :)

Dan karena beliau pula saya berani melangkah.

Selamat jalan, Bapak. Selamat berjuang di tanah haram... sampai bertemu kembali pada pertengahan Desember 2011, detik-detik gelar kesarjanaanku akan kusandang. Doakan kami, senantiasa doa kami untukmu. :)
I love you, Dad. And I will miss you.

Oh.. I still shed a few tears...

Teringat masa kecilku kau peluk dan kau manja
Indahnya saat itu buatku melambung
Di sisimu terngiang hangat napas segar harum tubuhmu
Kau tuturkan segala mimpi-mimpi serta harapanmu

Kau inginku menjadi yang terbaik bagimu
Patuhi perintahmu jauhkan godaan
Yang mungkin ku lakukan dalam waktu ku beranjak dewasa
Jangan sampai membuatku terbelenggu jatuh dan terinjak


Tuhan tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya
Ku terus berjanji tak kan khianati pintanya
Ayah dengarlah betapa sesungguhnya ku mencintaimu
Kan ku buktikan ku mampu penuhi maumu

Andaikan detik itu kan bergulir kembali
Ku rindukan suasana basuh jiwaku
Membahagiakan aku yang haus akan kasih dan sayangmu
Tuk wujudkan segala sesuatu yang pernah terlewati


Jumat, 28 Oktober 2011

Gugur Angsana

ketika bunga angsana kembali bersemi
pada permulaan musim hujan

dan tiba-tiba angin menghembus tiba-tiba
meski perlahan
mencoba menggugurkan rekah-rekah sekar
di malam hari

sukma...
trekearth.com

Jumat, 21 Oktober 2011

The Poetics of Place

I just read a book titled Tropical Retreats-The Poetics of Place --written by Tan Hock Beng, in the campus library.

PAST AND PRESENCE IN THE POETICS OF PLACE
"The taste of the apple... lies in the contact of the fruit with the palate not in the fruit itself; in a similar way.. poetry lies in the meeting of the poem and reader, not in the lines of symbols printed on the pages of a book. What is essential is the aesthetics act, the thrill, the almost physical emotion that comes with each reading."
--Jorge Luis Borges, forward to Obra Poetica

Though only a glance, I have noted several important points on tropical architecture. They are...

TACTILITY
Beyond architecture, our culture at large seems to drift towards a distancing, a kind of chiling, de-senzualitzation and de-eroticization of the human relation to reality.
--Juhani Pallasmaa

 LIGHTNESS
Someone guides us through its spaces. We glide along. Talking seems superfluous; everything is unique, yet never demanding.
--Alvaro Siza

TRANQUILITY
All good architecture which does not express serenity fails in its spiritual vision.
--Luis Barragan

TRANSPARENCY
And how here is my secret, a very simple secret. It is only with the heart that one can see rightly; what essential is invisible to the eye.
--Antoine de Saint-Exupery

AMBIGUITY
In the West, when you fail to describe, things fail to exist. In the East, when you fail to describe, thing emerge.
--Kunto Kundo

SHADOWS
Like the musician's breath in a wind instrument, light and shadows bring out the rich qualities of materials, qualities that remain silent in clarkness.
--Steven Holl

SYNTHESIS
If architects are to continue to do useful work on this planet, then surely their proper concern must be the creation of place -the ordered imposition of man's self on specific locations across the face of the earth. To make a place is to make a domain that helps people know where they are and by extension who they are.
--Charles Moore

Sabtu, 15 Oktober 2011

What is Architecture?


spfa.com
The best architecture is best for people. Not for the owner, not for the engineer, and not even for the architect. 
Architecture is blood, sweat, and tears. But then it is love, brotherhood, and ecstacy.
-Mario G. Salvadori on the preface of Eugene Raskin's book.

Sculpture

Tugu Jogja, center point of 'the never ending asia'
border signification of jogja-sleman


Rabu, 12 Oktober 2011

Mati Muda Mati Tua

Hari kesepuluh studio akhir periode seratus dua puluh empat. Dengan headset merah menyala saya masih asyik di meja kerja sembari menekuri layar maya dan workspace. Dua hari ini audio yang menemani saya tidak jauh-jauh dari musikalisasi-musikalisasi puisi, yang paling sering diputar adalah musikalisasi puisi Gie -Soe Hok Gie.

Saya menemukan kesenduan dan kesenyapan yang begitu dalam. Lebih sendu dari puisi-puisi Sapardi yang juga sering mengiringi hari-hari saya. Ritme puisi Gie lebih bersahaja dan tenang, sunyi... 

Tak ada lagi kata yang dapat menjelaskannya lagi. Saya suka!

nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan
yang kedua dilahirkan tapi  mati muda
dan yang tersial adalah berumur tua


berbahagialah mereka yang mati muda


makhluk kecil, kembalilah dari tiada ke tiada
berbahagialah dalam ketiadaanmu

Minggu, 09 Oktober 2011

Hidup Cukup?

Beberapa hari yang lalu saya bertemu dengan salah satu dosen arsitektur yang sudah bertitel doktor. Niat ingin memperbincangkan proposal tugas akhir saya namun pembicaraan akhirnya meluber kemana-mana. Yeah, ini adalah ciri khas dosen satu ini. Terjadilah kuliah tambahan yang bahkan tidak ada di kurikulum manapun. :D

Bermula dari poin permasalahan dan persoalan pada bab satu konsep. Kesalahan fatal yang turun temurun telah terjadi. Permasalahan tidak sejalan dengan tujuan, persoalan tidak seiring dengan sasaran. Kata kerja dan kata benda, kata tanya dan kata berita memunculkan jawaban yang jauh berbeda. :D Dan tiba-tiba saya baru menyadari itu. Kami tersenyum lebar.

Apabila niat dan tujuan tidak sejalan atau seiring maka hasilnya pasti akan mengikuti niat. Kalau niat saja sudah salah, bagaimana dengan hasilnya? Inilah tema pembicaraan selanjutnya, yang tidak berkurikulum itu. Contoh seorang politisi yang berjanji akan mensejahterakan rakyat tetapi dalam upaya menarik simpati menggunakan politik uang, maka tentu saja tujuannya menjadi politisi adalah uang. Pasti! Sudah begitu, setelah berada di posisi mentereng, masih saja rakus (itu sudah bahasa yang halus, menurut beliau) :)

Sebenarnya hidup itu hanya memilih kok. Mau jadi pelacur atau pendeta? Pelacur dalam segi materi tidak akan kekurangan tetapi dari segi batin ia sangat miskin. Itulah sebabnya mereka tidak pernah puas, karena kemiskinan batin itulah. Sekarang tengok pendeta (pendeta dalam agama apa saja), mau bagaimanapun keadaannya ia selalu merasa cukup. Kenapa? Karena mereka senantiasa bersyukur. Mau kecil, mau besar, cukup. Mereka bahagia dengan kecukupan itu. Mereka kaya secara batiniah.

Begitu juga bila kamu mencintai seseorang karena kekayaan atau ketampanannya. Itu juga yang akan kau dapatkan. Ketika kekayaan dan ketampanan itu telah hilang, pupus pula cintamu kepadanya, karena tujuanmu adalah kaya dan tampan. Jangan salahkan si tampan jika dia tidak bisa memberikanmu nafkah kelak, jika cintamu karena tampannya.Cinta itu karena semurni-murninya cinta, karena agamanya, itu sudah cukup membuatmu akan bahagia.

Terlontar sebuah anekdot. Menguap itu nikmat. Menggeliat itu nikmat. Tetapi apabila terus-menerus seperti itu berhari-hari, apakah itu nikmat? Sederhana! Menguap dan menggeliat itu hanyalah persoalan sederhana, tetapi mungkin memang jarang yang mensyukurinya. Begitu pula dengan nikmat nafas dan detak jantung. Begitu pula dengan ruh yang ada dalam jiwa dan raga ini. 

Bersyukurlah dari hal-hal yang sederhana. Banyak hal sederhana yang terlalu sering dilupakan. :)

Alhamdulillahi rabbil 'alamin...

Jumat, 07 Oktober 2011

Dream High


Malam menjelang larut. Suasana telah kembali sunyi. Tinggal dua manusia di dalam kubus bata berongga dua puluh tujuh meter kubik yang masih berjibaku dengan tugas masing-masing.
Lalu sayup-sayup terdengar suara sirine berulang-ulang dari stasiun terdekat, pertanda kereta api akan datang. Suasana ini kini, semakin akrab saja satu bulan belakangan. Mengguratkan rindu yang teramat pada perjalanan malam, petualangan dadakan, juga langkah-langkah indah masa lalu.

Tiba-tiba saya teringat sesuatu. Lepas ashar tadi seorang sahabat mengirim pesan pendek lewat layanan pesan singkat.
“Visualisasikan lima impian terbaik dalam hidup anda dalam jangka waktu satu tahun ke depan.”

Sejenak termenung. Mengingat kembali seabrek mimpi yang pernah tergores dalam lembar-lembar kertas bekas lalu terbuang. Mimpi yang pernah tersusun dalam lembaran kertas tertempel di dinding kamar yang lalu merasa perlu direvisi dan akhirnya juga terbuang beberapa kali. Dan kini mimpi-mimpi yang terajut terakhir kali telah tergores lebih rapi di dalam scrap book bersampul.

Saya percaya akan kekuatan mimpi. Itu pula yang kemudian mengantarkan saya mengembara jalan-jalan hidup ini. Mencipratkan warna-warna cerah nan indah maupun kelabu yang membiaskan sembilu. Goresan mimpi yang telah saya buang dan mungkin telah lebur di tempat pembuangan sampah pun kini telah melambungkan angan saya ke dunia nyata. Tuhan tahu, tapi menunggu. Kalimat Andrea Hirata ini begitu lekat dalam benak saya. Ya, Tuhan tahu tapi menunggu waktu yang tepat atas kesungguhan perjuangan kita.

Perjalanan ini memang tak mudah. Batu-batu sandungan sering pula merintangi langkah terpatah. Tapi seberapa tangguh kita berjuang untuk kembali bangkit? Bisakah kita kembali menyusun kekuatan untuk melanjutkan langkah? Saya terkadang tidak sangat ambisius terhadap suatu hal. Let it flow… Ada hal-hal yang tidak perlu diambisiuskan karena justru akan membebani langkah. Hidup cukup. J Karena Tuhan dengan tiba-tiba akan memberikan kejutan-kejutan kecil yang sangat bernilai.

J my October surprises… small gifts, huge heartprints, deep memory.
thanks Allah. thank you ummy, abby, noor jr., panitia studio akhir 124, 124 crew, kick andy crew, andy f noya, cleverly family, .

|sirine di stasiun telah berkali-kali memperdengarkan jingle sepanjang masanya. ebiet g. ade masih berdendang. kembali menyeruput Nescafe French vanilla. J selamat malaam… malam ini bulan bersinar begitu indahnya, sang mega menyaput cahaya dengan penuh sahaja.

The Three Sisters



Today, I received an Australian postcard from my pen-pal, Mr Don Graham. He sent postcard with portrial of Three Sisters in Blue Mountains, New South Wales.

On the back, it's written this description:
The Three Sisters formation is 30 km west of Springwood and is the most visited tourist destination in the Blue Mountains. The Blue Mountains were eroded by rivers, ice, and rain from a massive slab of sandstone that was uplifted a million years ago. On the left of the first sister you can see a little bridge that leads to the "Giant's Stairway" which descend 300 m via 861 steps to a walking track at the base of the escarpment.

The Blue haze that gives the Blue Mountains their colour and their name, result from the scattering of the sun's rays by tiny droplets of oil that evaporates from the leaves of the eucalypt forest. This eucalyptus oil forms a fine mist above the canopy of the forest and ignites in a bush fire, spreading the fire ahead of the trees and undergrowth burning below the forest canopy. Most native Australian trees have evolved to regenerate after the bush fire has passed. Many have seed pods that do not ("one word was missed") unless they have been in a fire. The ash from the fire fertilises the new plants.

:)

Minggu, 02 Oktober 2011

Rabithah

Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa hati-hati ini telah berkumpul untuk mencurahkan mahabbah hanya kepada-Mu, bertemu untuk taat kepada-Mu, bersatu dalam rangka menyeru (di jalan-Mu), dan berjanji setia untuk membela syari’atMu, maka kuatkanlah ikatan pertaliannya. Ya Allah abadikanlah kasih sayangnya, tunjukkanlah jalannya dan penuhilah dengan cahaya-Mu yang tidak pernah redup. Lapangkanlah dadanya dengan limpahan iman dan keindahan tawakkal kepada-Mu. Hidupkanlah dengan ma’rifat-Mu. Matikanlah dalam keadaan syahid di jalan-Mu. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. Amin. Dan semoga shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Muhammad SAW, kepada keluarganya, dan kepada semua sahabatnya.

||doa ini membuat saya rindu pada kebersamaan-kebersamaan yang pernah teruntai beberapa tahun silam. berjuang bersama, tertawa dan menangis bersama... perjuangan tidak akan pernah usai, kawan!

Sabtu, 01 Oktober 2011

Canting [resensi]

Barangkali 'canting' adalah kata yang sudah tidak asing lagi bagi khalayak. Canting merupakan alat untuk membatik berupa penciduk lilin yang bercarat, terbuat dari tembaga.
Canting, carat tembaga untuk membatik, bagi buruh-buruh batik menjadi nyawa. Setiap saat terbaik dalam hidupnya, canting ditiup dengan napas dan perasaan. Canting, simbol budaya yang kalah, tersisih, dan melelahkan. [cover belakang]
Roman klasik yang berjudul Canting ini ditulis oleh Arswendo Atmowiloto, budayawan yang pernah pula termasyhur atas karya ceritanya Keluarga Cemara. Melalui Canting, Arswendo mengungkapkan seluk beluk kehidupan masyarakat Jawa ningrat yang kala itu masih begitu dekat dengan batik. Adalah Canting yang merupakan cap batik Ngabean milik Pak Bei. Namun bukan serta merta Pak Bei yang kemudian mengurus perusahaan batik. Justru Bu Bei lah yang menjadi direktur perusahaan batik tersebut.

Hingga pada akhirnya Bu Bei meninggal dunia, Canting yang telah tergilas oleh batik printing menarik perhatian Ni, putri bungsu Pak Bei dan Bu Bei. Usaha Ni untuk membangkitkan kembali produksi batik tulis memang tidak mudah. Ni sudah menjadi anak generasi modern sedangkan Bu Bei dan buruh-buruhnya di kebon wingking masih taat pada ajaran Jawa klasik. Buruh-buruh itu tidak mengenal rapat, manajemen perusahaan, pembukuan keuangan, atau pun 'zona nyaman'.

Ketika Ni berusaha mengaplikasikan segala teori modern itu, buruh-buruh justru merasa tidak nyaman. Benarlah bahwa setidaknya ada dua karakter manusia Jawa klasik, yaitu kepercayaan dan kepasrahan. Kepercayaan dapat dilihat pada tidak adanya pembukuan keuangan, pembukuan tersebut terpatri di dalam ingatan. Yu Nah bahkan hafal di luar kepala berapa batik yang tersisa, berapa yang terjual, siapa yang hutang, hingga berapa jumlah hutangan yang mencapai jutaan.

Kepasrahan salah satunya terlihat pada hubungan buruh-buruh dengan ndaranya. Buruh menyerahkan segala keputusan kepada atasan. 

Dalam pasrah tak ada keterpaksaan. Dalam pasrah tidak ada penyalahan kepada lingkungan, pada orang lain, juga pada diri sendiri. [pg. 283]
Dalam segala hal selalu ada sumangga atau mangga kersa, sebagai penyerahan yang total. Sebagai pemberian kepercayaan yang mutlak dan menyeluruh, karena yakin yang di atas akan berbuat baik. Sumangga bukan sikap yang terpengaruh oleh inflasi, devaluasi, pertimbangan, dan kecurigaan. Sumangga adalah sikap pasrah membahagiakan lahir maupun batin. [pg. 361]

Dalam hal kepercayaan kepada Dzat Yang Maha, kepasrahan ini pun tampak seperti pada wejangan Pak Bei kepada Ni.
Agama itu untuk diterima. Mau menerima atau tidak. Kita bisa menerima atau menolak kalau kita punya sikap pasrah. Pasrah itu bukan mencari,  tetapi menerima. [pg. 251] 
Dalam  beberapa hal kepasrahan merupakan sikap yang menceminkan kebaikan. Akan tetapi kepasrahan mutlak seperti halnya yang dianut masyarakat Jawa klasik bukanlah sesuatu yang patut untuk terus menerus dipertahankan. Seperti halnya Ni, dalam arus modernitas ia berani menjadi tidak Jawa, menjadi aeng untuk bisa bertahan. Ni berusaha menjembatani keklasikan batik tulis dengan modernitas batik cap/printing. Bukankah Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, apabila kaum tersebut tidak berusaha merubahnya menjadi lebih baik?

*pasca menamatkan canting, sembari 'mendengarkan' pemilihan putri putri batik nusantara 2011. hay...ada kawan sma-ku di sana. :)

Selangkah Lagi untuk Satu Mimpi

Pagi ini mentari sudah selayaknya naik sepenggalah. Namun di bibir jendela ini kulihat cahayanya sedikit redup terhalang awan-awan kelabu muda.

Imajinasiku melayang kembali ke hari kemarin. Siang menjelang sore, saya dan dua puluhan teman dan kakak tingkat memasuki ruang istimewa di jurusan. Kami akan menerima pengarahan mengenai apa dan bagaimana kegiatan kami, tanggung jawab kami dua bulan ke depan dalam menempuh tahap akhir pembelajaran menuju gelar sarjana teknik.

Segenap rasa ini buncah ketika ketua panitia studio akhir mengucapkan kata, "Selamat..." Dua bulan fase studio akhir merupakan penanda akhir yang harus ditempuh menuju sidang tugas akhir. Saya disergap pikiran, perjalanan ini akan segera berakhir. Berbagai kata yang mewujud rangkaian aksara "a-k-h-i-r" seakan menjadi begitu akrab dan lekat dengan keseharian. Perjuangan yang lain pun akan segera dimulai. Mungkin terlihat berlebihan ketika saya berkata bahwa saya terharu, saya bahagia, saya ingin menitikkan air mata. Namun begitulah adanya, saat ini dada terasa sesak menahan bulir bening yang menyesak di sudut-sudut kornea. 

Ada dua hal yang bertentangan, saya ingin segera melanjutkan perjalanan mengejar mimpi-mimpi yang lain, tetapi kebersamaan dengan kawan, kakak, dan adik serta bapak ibu dosen begitu berat untuk ditinggalkan. Terlalu banyak kenangan dan cerita yang terajut bersama mereka. Masih banyak cerita yang ingin dibagi kepada mereka, masih banyak mimpi yang ingin didukung oleh mereka, masih banyak ide yang ingin didiskusikan dengan mereka yang memiliki spesifikasi minat berbeda-beda. Cause we are a big family, very big family!

Perpisahan bukanlah pertanda bahwa kita akan benar-benar berpisah, tak akan pernah berjumpa, salah satu pesan yang kuingat dari kakak kelasku di sekolah dasar saat acara tutup tahun. Perpisahan adalah bagian dari sebuah keseimbangan perjalanan. Di mana ada pertemuan, di sanalah akan terdapat perpisahan. Perpisahan adalah anak tangga pertama yang harus dijejak untuk menempuh langkah-langkah selanjutnya (yang lebih baik).

we are definitely apart, but still we are a melody of harmony unity

*dengan tak henti-henti mengucap bismillahirrahmanirrahim, dengan kasih dan sayang-Nya, bersiap juang untuk dua bulan ke depan. YES YOU CAN!

Sabtu, 24 September 2011

Quote No 9

cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada.
certamen ergo sum, aku berjuang maka aku ada.
cintai impianmu, cintai kerja kerasmu, cintai hidupmu dengan berani.
jangan menyerah dan jangan pernah berputus asa.
citius, altius, fortius --faster, higher, stronger.
seperti hidup yang tidak sempurna, kamu janji..kamu tidak akan menyerah.
-2, Donny Dhirgantoro

Vista Beranda

Betapa panas udara sedari siang tadi. Hawa seakan tak mendapat sejengkal ruang lagi. Kemarau menggarang. Matahari menggantang. Tetumbuhan meranggas. Pucuk-pucuk pepohonan tiada lagi hijau, segalanya nampak selayaknya tercelup warna soga.

Menjelang senja tadi, saya melongok sejenak membidik beberapa rumpun bebungaan di beranda yang masih terlihat segar dan merekah. Bahkan ketika tanah mulai menyusutkan mata air dan hujan tak kunjung mengucur.

 koleksi bunda :D

dan...

ketika jari-jari bunga terbuka mendadak terasa: betapa sengitcinta kita
cahaya bagai kabut, kabut cahaya; 
di langit menyisih awan hari ini; 
di bumi meriap sepi yang purba;
ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata, suatu pagi
di sayap kupu-kupu, di sayap warna
swara burung di ranting-ranting cuaca,bulu-bulu cahaya; 
betapa parah cinta kita
mabuk berjalan, diantara jerit bunga-bunga rekah
-Sapardi Djoko Damono, Ketika Jari-Jari Bunga Terbuka

Jumat, 23 September 2011

Universalitas Arsitektur

Purna sudah pengembaraan saya hampir tiga hari ini melalui pencerapan pada satu kitab arsitektur yang ditulis oleh Bapak Galih Widjil Pangarsa, Arsitektur untuk Kemanusiaan. Kurang lebih satu semester yang lalu, saya berkesempatan mengikuti salah satu session seminarnya. Jiwanya menggelora, semangatnya sungguh hebat dalam mempertahankan khazanah ke-Nusantara-an arsitektur negeri ini yang konon sedang kacau balau.

Pada akhirnya saya pun kian mantap untuk melanjutkan langkah melalui jalan ke-Nusantara-an. Melalui Arsitektur untuk Kemanusiaan, Pak Galih menyadarkan betapa sesungguhnya Sabang sampai Merauke ini sangat kaya. Tetapi mengapa kita tidak bangga dengan kekhasan khazanah negeri ini? Mengapa kita justru latah untuk andil dalam perencanaan arsitektur empat musim dalam negeri yang hanya memiliki dua musim?

http://kvc.minbuza.nl/nl/current/2008/october/prawoto
Asitektur untuk Kemanusiaan secara khusus mengemas preseden-preseden dan metode perencanaan serta perancangan arsitek Eko Prawoto yang katanya masyhur sebagai “arsitek kampungan.” Dengan ketermarginalan rancangannya melalui penggunaan material-material tradisional bahkan material daur ulang, Eko Prawoto sungguh telah menyuguhkan karya yang istimewa. Misalnya pecahan keramik bisa disusunnya menjadi motif lung-leng dengan filosofi “lebih baik memberi daripada menerima.” Dengan spontan pula ia meminta tukang menyiramkan air pada semen untuk memperoleh motif tumpahan air pada lantai. Ide-ide Eko Prawoto sebagian besar sangat spontan, bukan disusun di studio, di atas kertas kalkir dengan tinta hitam melainkan di lapangan dengan lembar-lembar kertas seadanya melalui sketsa.

Saya cukup tertohok ketika Pak Galih kemudian mengungkapkan bahwa Eko Prawoto sangat menyukai sketsa. Oleh karenanya, ia memiliki intuisi ruang yang tinggi, juga kedalaman penghayatan terhadap bangunan. Semuanya karena sketsa. Rasanya benar juga pernyataan itu. Intuisi saya terhadap karya-karya yang pernah saya buat terasa lemah, saya hampir tidak pernah meluangkan waktu untuk menggoreskan pensil secara khusus. Saya sudah begitu familiar dengan pocket camera, picture, segala elemen visual mondial. Teknologi benar-benar tidak selamanya memberi cita rasa, sebaliknya cita rasa yang tinggi justru terletak pada hasil karya tangan karena karya tangan pasti tiada duanya.
Indonesia adalah bocoran surga. --Cak Nun.
Indonesia seharusnya lekat dengan arsitektur pernaungan dibanding arsitektur perlindungan. Arsitektur perlindungan lebih pantas untuk negara-negara dengan empat musim dengan tiga iklimnya yang kurang bersahabat. Sedangkan arsitektur pernaungan kiranya hanya melindungi manusia dari konteks matahari, dengan kata lain menaungi. Oleh karena itu, komponen penting pada arsitektur perlindungan adalah bidang vertikal sedangkan pada arsitektur pernaungan adalah bidang horizontal atas. Dengan empat bidang vertikal yang berupa partisi, memberikan kelonggaran ornamen. Inilah keistimewaan nusantara dengan detailing-nya yang tinggi, kekayaan keragaman, dan kebhinekaan yang luas. Nusantara memiliki beragam bentuk respon desain terhadap iklim yang sama –rumah joglo; rumah gadang; rumah tongkonan; rumah hanoi; dan sebagainya.
karena itu arsitek mesti merajut makna-makna detil itu agar bermakna luhur dan sesuai dengan pentas utamanya, di layar spasio visual arsitekturnya.
--Galih Widjil Pangarsa
Ketradisionalan bukanlah keprimitifan. Arsitektur yang bermanfaat tidaklah selalu yang gigantis, futuristik, high-tech, dengan cita rasa global. Arsitektur yang baik adalah yang memanusiakan manusia dan mengikuti kehendak tapak –meminjam istilah Eko Prawoto. Universalitas…
Setiap artefak yang ditinggalkan arsitek adalah jejak langkah sikap hidupnya. Ia akan mempertanggungjawabkannya. [pg. 133]

Rabu, 21 September 2011

Tentang Perjalanan

infokito.wordpress.com
“Mungkin sebuah kebetulan ketika pada akhirnya saya bekerja sebagai arsitek.”

Saya terhenyak begitu membaca kalimat pertama pada lembar pengantar buku Arsitektur untuk Kemanusiaan dari maestro arsitektur kontekstual dan lokalitas dari Yogyakarta, Eko Prawoto.

“Sejauh ingatan saya hal ini seperti mengalir begitu saja seolah tanpa direncana. Seperti aliran sungai di tengah hutan. Ada antusiasme dalam derasnya arus kecilnya namun pada saat yang bersamaan ada begitu banyak kelokan tersembunyi dalam relung-relung bebatuan serta ketidakpastian alur pusaran yang dilewatinya. Namun gemericik kilauan serta kesejukannya dengan setia disandangnya. Adakah kemampuan manusia untuk menentukan garis hidupnya sendiri?”

Lalu saya teringat perjalanan saya hingga sampai di pulau ilmu bernama arsitektur. Perjalanan ini juga terjadi begitu saja. Mengalir laksana air meski sebelumnya saya sempat mendambakan hidup di pulau ini. Namun impian menjadi arsitek bukanlah angan-angan yang menggebu-nggebu. Bukan selayaknya obsesi di garda depan. Di ujung perjalanan putih abu-abu, saya pun mulai berpaling pada pulau ilmu yang lain, yang sangat berseberangan dengan seni, khususnya rancang bangun tentu saja. Tapi toh pada akhirnya Tuhan menggariskan bahwa jalan saya adalah berlayar menuju pulau estetika bangunan.

Empat tahun telah saya lalui dengan hidup di pulau ilmu ini. Beragam suka dan duka silih berganti menerpa seperti angin malam yang berputar lalu menghembus berulang-ulang. Perjuangan ini memang akan segera berakhir namun perjuangan dan kerja keras ini bukan tanpa akhir. Saya sadar sepenuhnya bahwa ilmu yang saya dapatkan belum cukup mumpuni untuk melongok ke dunia nyata, hakikat kehidupan yang sesungguhnya. Saya masih harus dan terus belajar, menguak gudang-gudang ilmu, merapal aksara-aksara, menyimak perbincangan-perbincangan.

Kenyataan maha penting yang kemudian saya sadari adalah saya akan segera ditasbihkan menjadi lulusan arsitektur. Tapi apakah hati saya benar-benar telah bersandar --tak sekedar tertambat-- di bahu arsitektur? Saya masih ingin mencari jawabannya…:)

“Perjalanan menjadi arsitek adalah perjalanan pencarian, proses belajar yang terus menerus, serta pergumulan untuk mewujudkan yang lebih baik, yang mendatangkan kebaikan bagi lebih banyak orang. Sebuah pencarian yang mungkin tidak akan pernah tuntas selesai, penuh ketidakpastian, gamang, serta ragu namun sebenarnya juga penuh peluang untuk mengungkap semangat daya hidup kreatif. Sehingga serangkaian pergumulan ini bukan berarti perjalanan pencarian yang sia-sia, terlebih jika kita tahu bahwa kita tidak sendirian.“
studio no 5 kala malam memeram kelam

Senin, 19 September 2011

Jalur Kedua

hening tiba-tiba...

aku pun tergugu dan tergagu
lidahku kelu
kaku atas kicauan yang mendadak menyergap
selayaknya kereta akan melintas

bukan pertama kali aku beku
dan tak ada yang keliru bila itu berlalu
melalui jalur kedua rel hidupku

mungkin sudah saatnya aku kembali
turut
memburu tiket kereta menuju
kota itu

Minggu, 18 September 2011

Mail Box

before
Semenjak hampir setiap pekan menerima kartu pos, saya mulai memikirkan rumah untuk mereka. Setidaknya persinggahan sementara selama saya tidak berada di rumah. Jika mereka-mereka yang berada di negara dengan apresiasi terhadap dunia persuratan (filateli) sangat besar memiliki mail box di depan rumah, bagaimana dengan saya? Membuat mail box di depan surat rasanya masih tidak memungkinkan karena pegawai pos akan langsung mengetuk pintu atau menyisipkannya melalui celah-celah bawah pintu. Jadi yang terpikir hanyalah memusatkan penerimaan benda-benda pos. Selama ini saya merumahkan benda-benda pos tersebut pada kardus bekas pembungkus sepatu. :D

after
Semester lalu saya sempat membuat beberapa kotak untuk teman-teman yang bermaterialkan yellowboard, material yang sudah sangat akrab di pembelajaran kampus. Yellowboard adalah kertas karton yang lebih mirip papan, tebalnya mencapai dua milimeter. Apabila belum terbiasa, terkadang sangat susah memotongnya dan telapak tangan akan memerah. :)

Let's try!

Pola (ingat materi jaring-jaring di matematika sekolah dasar :D) yang sudah dipotong kemudian direkatkan dengan lem. Saya terbiasa memakai alteco untuk merekatkan sisi-sisinya, berhubung alteco saya tertinggal di rumah kos maka saya memohon adik agar menghibahkan lem kayunya. :D Dan hasilnya kurang rapi..:( Oh ya, lem alteco sifatnya panas dan sangat mudah kering, perlu kehati-hatian stadium tiga. :D *jangan khawatir apabila justru jari-jari anda yang terrekat, lunakkan lem dengan air sabun pekat.

Bagian dalam kotak, lapisi dengan kertas samson atau kertas yang senada dengan sampul luarnya nanti. Perlu diperhatikan bahwa lem kertas bisa digunakan tetapi kertas tidak akan tertempel dengan rapi --menggelembung pada bagian-bagian tertentu atau justru menjadi basah-- karena lem kertas cenderung mendekati zat cair. So, biasanya saya memakai lem pvac warna putih. :) Perlu dipastikan setiap sentimeter kertas telah rekat dengan permukaan yellowboard sebelum lem mengering.

Finally, lilitkan pita pada kotak tersebut sebagai pemanis. :) 

Kamis, 15 September 2011

13rd Postcards: Have A Great Day! (USA)

Totally Speechless

Senja ini beberapa saat saya benar-benar tak bisa berkata apa-apa.  Kebahagiaan saya membuncah sangat hebat.  :)

Beberapa hari sebelum hari raya Idul Fitri 1432 H lalu, saya sempat bercakap di kereta dunia maya dengan seorang sahabat postcrosser saya dari Utah, USA. Kami berbicara sejenak tentang kekaguman saya pada Eid Stamp, perangko definitif USA yang sempat beliau kirimkan pada kartu pos sebelumnya, kartu pos pertamanya. Hari berganti, waktu berputar. Pada perjumpaan berikutnya, hari kedua Idul Fitri, saya menemukan pesan dari beliau bahwa beliau telah mengirimkan a lot of kartu pos. Bukan some, tetapi a lot. Saya benar-benar ingin menggaris-bawahi kata itu.

Penantian saya pun berakhir hari ini, setelah menunggu sekian hitungan hari. Sepulang dari kota-timur, habitat saya menimba ilmu secara formal saat ini, adik saya menyerahkan sebuah amplop putih besar dan tebal dengan banyak perangko di bagian luarnya. Suddenly I'm speechless, I can't speak any more. Saya termangu memangku amplop itu. Saya masih belum ingin mengintip bagian dalamnya. Beberapa saat lamanya jari-jari ini masih menyusuri tepian amplop, meraba-raba tepian-tepian perforasi perangko, mengamati dua perangko yang telah cacat perforasinya karena jarak yang ditempuhnya memang sangat jauh.

Puas memandang cover luarnya, saya pun mulai meraba-raba apa yang ada di dalamnya. Surprise! Dua amplop yang lebih kecil, cukup tebal keduanya; empat perangko Eid 2011 plus first cover; serta satu kartu dengan visualisasi emoticon smile :) (kartu pos di mana beliau menuliskan pesan dan bercerita). Di dalam dua amplop kecil itu terdapat kartu pos-kartu pos bertitel "a lot" seperti yang ditulisnya di pesan maya dan foto keluarga beliau.  Hingga detik ini pun saya belum menghitung berapa kartu pos yang ada di dalam amplop kecil itu. --satu per satu semoga bisa saya upload di blog ini.:) 
the only written card
---hope will meet Mr Michael Cleverly soon, meet his wife, Mrs Shavna; his daughter, Meghan; his three son, Andrew, Caleb, and Jacob (one of them wants to be an architect :D --Caleb), and his twin children (daughter --Marta and son --Ethan). All of them are postcrossers, but his wife have left postcrossing.
 thank you, cleverly family...:)

*)beberapa postcard tersebut sudah saya publish di sini. :) 

12nd Postcard: Lappi Lapland-Suomi Finland

summer holidays greetings from finland...

Rabu, 14 September 2011

Karena Hidup Tidak Pernah Sampai di Sini

peoriaaudubon.org
Sebenarnya saya belum usai merapal kisah yang ditulis oleh Donny Dhirgantoro melalui novel “2”. Tetapi keinginan untuk membagi beberapa paragraf ini sungguh bergejolak. :)

Sekali lagi semenjak Sang Pencipta menghadirkan diri ini di dunia nyata; sekali lagi, manusia memilih untuk bekerja keras atas apa yang ada di hadapannya, mengganti kata masalah menjadi tantangan. Berjuang, walau hasil yang didapat belum tentu terlihat, bekerja keras mengantarkan impian ke dunia nyata.

Manusia telah sampai di sini karena hidup tidak ada yang sempurna, hidup selalu melahirkan batas antara harapan dan kenyataan. Karena layaknya hidup adalah tantangan yang harus dihadapi dengan berani, dan setiap kita pun tahu, kita menjadi baik karenanya. Manusia tidak akan mencapai tingginya langit dan dalamnya samudera jika hidup adalah sempurna, karena hanya seorang pengecut mengharapkan hidup yang sempurna.

Hari-hari berarti, matahari berarti, dan bulan berarti.

Jangan pernah meremehkan kekuatan seorang manusia karena Tuhan sedikitpun tidak pernah. Entah sudah ke berapa kali kalimat itu membakar dada yang mendengarnya, menjadikan panas di setiap langkah dengan derapnya berpacu memenuhi lantai kayu gelanggang. Derap langkah dan kelebat tangan cepat dari urat halus yang terus bekerja keras menghunjamkan pukulan tajam. Atau, yang ratusan kali berusaha mengembalikannya. Bermula di gelapnya semburat biru subuh, berakhir di rona jingga senja, kadang matahari hanya selepas lewat di pandangan. Melatih harapan, dengan kerja keras membawa impian menjadi bukti dunia nyata. Berjuang di bawah langit sebuah bangsa besar yang sudah berjalan jauh dan tidak sempurna.

Hari berarti, matahari berarti, dan bulan berarti.

Setiap dari kamu adalah manusia, dan layaknya manusia, hidup tidak ada yang sempurna, tetapi di setiap doamu, kamu tahu, Sang Pencipta sedikit pun tidak pernah meremehkan kekuatanmu.

Setiap dari kamu sudah berjalan cukup jauh dalam hidup, tetapi setiap dari kamu masih ada perjalanan yang harus kamu tempuh. Langkah kaki kita sudah berjalan cukup jauh untuk sampai di sini, tetapi kita selayaknya percaya kalau masih ada langkah untuk berjalan lebih jauh lagi.

Karena hidup tidak pernah sampai di sini.

Karena untuk hidup dan melangkah adalah sebuah anugerah, tetapi untuk terus hidup dan terus melangkah lagi, bekerja keras untuk setiap impian adalah luar biasa.

Karena hidup tidak pernah sampai di sini.

Karena semenjak ada di muka bumi ini, dalam hidup manusia telah saling membuktikan kepada manusia lain bahwa mimpi memang menjadi kenyataan, bahwa keajaiban itu ada. Bahwa dengan impian dan kerja keras manusia bisa…melakukan sesuatu yang kadang ia sendiri tidak menyangka ia bisa melakukannya, melakukan hal-hal yang jauh di luar kemampuannya, melakukan sebuah keajaiban.

[pg. 321-324]

Metamorfosis

“Proses pendidikan anak yang paling baik harus dimulai sejak 20 tahun sebelum anak tersebut dilahirkan."
mytravel.co.id
Semalam saat berbincang dengan teman-teman di rumah kos, tiba-tiba kalimat tersebut mengalun. Dan ingatan saya pun membeliak, teringat catatan seorang kawan di laman tulisan pribadinya. Jika dipikirkan dengan logika, pendidikan anak akan dimulai sejak usia sang ibu masih anak-anak. Taruhlah anak lahir kala usia orang tuanya 25 tahun maka pendidikan itu dimulai pada saat orang tua berumur lima tahun. Ya, mendidik diri sendiri terlebih dahulu sebelum mendidik generasi selanjutnya, anak-anak kelak. Memanajemen diri sendiri terkadang justru lebih sulit dibandingkan memanajemen orang lain atau sesuatu yang lain.

Pendidikan tersebut akan berlangsung secara menerus, tanpa jeda. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, like father like son, like mother like daughter, peribahasa ini sungguh populer di dunia ini. Keturunan yang baik akan menghasilkan keturunan yang baik pula. Apabila karakter kedua orang tua baik, maka karakter anak nantinya akan sama baik pula.

Sempat pikiran saya mengembara ke masa lalu, menguntai kenangan-kenangan lawas. Apa yang telah saya lakukan selama dua puluh tahun lebih ini. Apa yang telah saya peroleh dalam putaran masa lebih dari dwi-dekade ini. Apa yang telah saya rencanakan untuk masa depan.

Saya terpesona dengan perjalanan hidup ini. Begitu indahnya segalanya terjadi. Terima kasih ibu, ibu, ibu, bapak. Tak akan pernah usai kalimat itu terpatri dalam jejak langkahku, aku ada karena kalian ada. Kasih sayang kalian yang sepanjang jalan, sementara kasih sayangku tak akan pernah lebih dari panjangnya galah. Terima kasih untuk segalanya.

Belum ada kata terlambat untuk memperbaiki diri. Senantiasa, selama masih ada nafas terhembus. Untuk tunas-tunas yang akan membuahkan buah yang manis…

||cetusan kala musikalisasi sajak Metamorfosis SDD mengalun indah dengan setetes kristal di sudut lensa mata…

ada yang sedang menanggalkan pakaianmu satu demi satu
mendudukkanmu di depan cermin, dan membuatmu
bertanya, “tubuh siapakah gerangan yang kukenakan ini?”

ada yang sedang diam-diam menulis riwayat hidupmu,
menimbang-nimbang hari lahirmu, mereka-reka
sebab-sebab kematianmu
ada yang sedang diam-diam berubah menjadi dirimu
-Metamorfosis, Sapardi Djoko Damono, 1981

Minggu, 11 September 2011

Perjumpaan Pertama

Genap dua bulan sudah, saya menjelajahi dunia via kartu pos. Hampir dua bulan pula, pak pos berulang kali menyambangi halaman belakang rumah, membunyikan klakson, dan mengetuk pintu demi menyampaikan secarik kertas sepuluh kali enam belas sentimeter --yang maha penting untukku. Hingga kartu pos keenam yang saya alamatkan ke rumah, sekali pun saya belum berjumpa dengan pak pos. Muncul sedikit pakewuh kemudian karena belum sekali pun pula saya mengucapkan terima kasih. Maka hari-hari selanjutnya saya berusaha melakukan aktivitas di beranda belakang antara pukul sembilan sampai pukul sepuluh, menanti hadirnya pak pos yang tanpa kabar, tidak terduga.

Pagi hari Rabu tertanggal 7 September 2011, akhirnya saya mendengar klakson berbunyi satu kali. The postman is coming! Sontak saya mendekati sumber suara sebelum didahului anggota keluarga yang lain. Dengan tersenyum beliau mengeluarkan secarik kartu, kartu pos dari Jerman. Kartu pos itu adalah salah satu kartu pos yang pernah saya favoritkan di laman postcrossing. Kartu sederhana dengan beberapa potret kecil kota-kota di Jerman beserta susunan aksara "Made in Germany" di tengah.
Hampir lima menit lamanya kami berbincang sebelum akhirnya pamit melanjutkan tugasnya usai saya mengucapkan terima kasih untuk kedua kalinya. Beliau sudah seperti keluarga bagi kami, beliau sudah pernah bertemu bapak, ibu, dan adikku. Beliau sudah seperti sahabat...

kukirimkan padamu kartu pos bergambar, istriku,
par avion: sebuah taman kota, rumputan dan bunga-bunga, bangku dan beberapa orang tua, burung-burung merpati dan langit yang entah batasnya.
Aku, tentu saja, tak ada di antara mereka.
Namun ada.

(Kukirimkan Padamu, Sapardi Djoko Damono)


overall, thank you so much my postcrossing pals..;)

Sabtu, 10 September 2011

11st Postcard: Palace of Culture and Science-Warsaw


This gargantuan, Gotham City-like tower shoots up from the centre of Warsaw. Raised after the Second World War during the era of Soviet domination, it remains one of the most controversial buildings in Poland, and it was only a whisker away from being pulled down when the Berlin Wall fell in '89. 

Built between 1952 and 1955 as Joseph Stalin's "gift" to Warsaw, it was to resemble the Seven Sisters of Moscow, although to frustrated Varsovians it merely resembled the ugly reality of Soviet domination. After the "thaw" of 1956, the name of the building dropped Stalin's moniker and became merely the Palace of Culture and Science (Palac Kultury i Nauki), though it was occasionally referred to as "Peking" (from the Polish abbreviation, PKiN).
Today, the Palace of Culture (Palac Kultury) still stands as the tallest structure in the city, as well as in all of Poland. With 42 floors and over 234 metres (with 43 metres of spire alone), this epic still has the upper hand on all of its modern neighbours. At the moment, the building serves as an exhibition hall and office complex, as well as an FM and television broadcasting centre and cinema, theatre, museum, bookshop, and conference hall fitting 3,000 people. 

Perhaps the highlight of the Palace of Culture for tourists is its observation deck on the 30th floor, from which you can see the whole city and the Vistula on a clear day. An old joke goes that the best views of Warsaw are available from the building - it's the only place in the city from where it could not be seen. In case you're having difficulty finding this megalith on Marshal Street (don't know how you could!) try asking for Plac Defilad (Plahts deh-FEE-lahd) - the largest square in Europe. 

(http://www.warsaw-life.com/poland/palace-of-culture-and-science)