Minggu, 05 September 2010

Menentang Arus, Menembus Batas

Fragmen 1.
“Kuliah jurusan apa?”
“Arsitektur.”
“Lho katanya suka nulis, kok kuliahnya di arsitektur? Kenapa nggak sastra, mengembangkan bakat.”

Fragmen 2.
“Novel?”
“Iya...”
“Hmm... lain kali kalau beli buku yang bermutu sedikit lah...”

Fragmen 3.
“Teknik?”
“Iyaa...”
“Kenapa nggak kedokteran? Prestasi akademikmu kan bagus.”

Fragmen-fragmen di atas hanyalah sekecap dari sekian kecap fragmen yang pernah saya dan anda mungkin alami. Fragmen-fragmen yang merupakan statement-statement dari orang lain. Perbedaan prinsip adalah hal yang wajar karena setiap orang memiliki prinsip hidup masing-masing. Tetapi terkadang keterpurukan karena statement orang lain juga dapat mengacaukan keteguhan prinsip, menaikkan emosi, dan menitikkan air mata.

Saya belajar tidak hanya dari universitas dimana saya berstatus sebagai mahasiswa. Saya ingin belajar setiap saat. Belajar dimana saja, kapan saja, kepada siapa saja. Terkadang (terlalu sering mungkin malah) prinsip-prinsip yang saya lakoni di pentas hidup ini berbeda dari kebanyakan orang. Bahkan dengan sahabat sendiri dalam hal-hal tertentu. Tentu saja dengan koridor yang benar. Inilah idealisme saya.

Bolehkah saya bilang jika saya melanjutkan studi hingga universitas hanya karena tuntutan dunia luar? Tuntutan persaingan global, gengsi, dan menjaga martabat keluarga? Karena ternyata dunia yang kuinginkan berada di luar bidang yang saya geluti secara formal.

[flashback ke awal masa kuliah]
Sebuah ruangan tempatku menghempaskan segala lelah dan keluh kesah. Ruang pribadiku. Ini yang masih kuingat dan kini membuatku bangga menjadi diriku sendiri.
Sebuah pembicaraan (pribadi) dengan seorang saudara. Masih juga tentang jurusan yang kuambil. Kenapa arsitektur? Kenapa teknik? Segala hal yang bersinggungan dengan benda mati dalam ruang hampa. --harapan beliau adalah jurusan yang berkaitan dengan kesehatan. Tak pernah kukatakan bahwa kesehatan adalah bidang ilmu yang aku merasa anti. Ya, aku tak seperti saudara saudaraku yang lain, yang begitu mengidamkan jurusan berbau kesehatan. Tidak. Sekali lagi tidak. Sekali ku menentang arus lagi.

Dan kini... dimanakah jiwa multitafsirku kudapatkan? Sempat dipertanyakan darimana jiwa itu hadir? Sempat ditentang, apa gunanya sastra? Tidak adakah yang lebih baik, yang lebih bermakna?

Biarlah biar, kututup telinga untuk segala kata kata itu. Syukurku ayah bunda justru mendukung. Sepasang manusia yang seia sekata mendukung, mendorong, dan menyambut minat anak anaknya. Sepasang manusia yang tahu seluk beluk anak anaknya, yang ku yakin apa kata mereka adalah nasihat terbaik.

Matur nuwun, ibu, ibu, ibu, bapak...

--terkadang menentang arus perlu kulakukan untuk menjadi diriku sendiri, kawan...

Sleman, 05 September 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar