Rabu, 24 Maret 2010

Ilmu Segerbong

Hampir tiga tahun sudah dia bersahabat dengan kereta –kereta kota, KRL.
Katanya, banyak pelajaran yang telah ia dapat darinya.
Banyak hal yang telah mewarnai lembar-lembar lukisan hidupnya.
Baik, buruk, konyol, aneh, dan seonggok episode lainnya.

Kereta mengajarkan untuk tepat waktu.
Terlambat satu menit saja.
Itu berarti menunggu satu dua jam untuk kereta selanjutnya.
Sama saja membuang waktu, meski seharusnya masih ada hal yang bisa dilakukan saat menunggu.
Tapi ia juga terlalu sering berlari, hanya untuk mencapai bibir pintu,
sebelum katupnya menutup.

Kereta terlambat datang mengajarkan bersabar.
Kereta macet mengajarkannya lebih bersabar, mengerti kondisi negeri ini.
Terkadang mengajarkannya pula untuk bersyukur.
Karena ia tak jadi ketinggalan kereta.

Kereta menaburkan banyak ilmu.
Setiap orang yang duduk di sebelah pasti memiliki pengalaman dan cara pandang yang berbeda tentang suatu hal.
Bermacam karakter ada, mana yang akan kau teladani?
Seorang anak kecil yang rela tempat duduknya diberikan untuk ibu yang sedang hamil tua.
Atau seorang bapak yang dengan tak bersalahnya membalikkan keranjang sampah hingga isinya bertaburan di sudut gerbong lalu menjadikannya tempat duduk?
Atau perempuan itu yang merebut tempat duduk si A ketika si A menyerahkan barang milik temannya di kursi seberang?
Terserah kaulah.

Kau akan temui beragam profesi di atas ular besi itu.
Pedagang, buruh, pelajar, mahasiswa, guru, dosen, hingga manajer.
Dan semuanya memiliki posisi yang sama: penumpang kereta.
Kau pun bisa menjadi apapun di sana, tak pandang bulu.
Hanya nurani yang bicara.
Tak akan ada yang peduli saat kau berdesak-desakan di kereta saat awal dan akhir jam kerja.
Pun mungkin kau akan jadi terbiasa rendah hati saat kau tak mendapat tempat duduk.
Lalu berdiri sepanjang perjalanan atau duduk tanpa alas di lantai gerbong.
Kau pun bisa belajar menjadi kreatif dengan membawa kursi lipat kecil seperti yang biasa dilakukan bapak itu. Atau koran bekasmu yang masih kau simpan di dalam tas gendongmu.

Ia juga akan membawamu melihat sisi lain yang mungkin tak biasa kau lihat.
Saat kereta membawamu melintasi bentangan sawah.
Membawa pandanganmu menyusuri liku kehidupan pedesaan.
Lalu jelang stasiun tujuan kau menatap pada tepi jendela.
Dan tanpa sadar berucap, meski dalam hati, ”Aih, bagaimana bisa tepian teritisan atap rumah hanya berjarak dua puluh sentimeter dari badan kereta?”

Aku hanya ingin mensyukuri hidupku.
Apapun itu yang telah Dia berikan.
Langkah dan jangkah kaki ini telah membawaku pada banyak cerita tentang hidup.
Alhamdulillah Rabb...

Sleman, 20 Maret 2010
10:10pm
bibir jendela ini selalu menjadi tempat terindah di istana ini
berteman sepoinya angin malam dan segelas sekoteng yang lama tak kutemui
pelangi telah terbalik meski bintang tak jua nampak

*)terucap maaf untuk orang yang pernah kutemui di peron stasiun yang kini tak pernah lagi kutemui sekarang. semoga kau akan temukan apa yang kau cari. tapi bukan aku...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar