Selasa, 09 Februari 2010

Siti, Simbok, dan Presiden


“Mbok, kenapa ya kita nggak bisa kaya? Padahal kita kan wis berjuang…” Siti mengeluhkan kondisinya yang tak juga berkecukupan.
“Ya sabar, to Nduk…” simboknya yang sudah sakit-sakitan menimpali.
“Kapan, ya Mbok Pak Presiden ke desa kita ngasih bantuan?” Siti kembali bertanya sembari menyusun sayuran di atas tampah.
Simbok menoleh ke arah Siti, “Nggak usah mimpi muluk-muluk to Nduk, Pak Presiden nggak mungkin ke desa kita. Lha wong duit rakyat dimakan presiden sendiri kok!”
Siti, gadis kecil berumur sepuluh tahun itu terdiam mendengar kata-kata Simbok. Ia melanjutkan mengulek sambal pecel untuk melengkapi dagangan simbok di warteg pinggir desa. Siti, anak malang yang tak bisa hidup layaknya anak-anak seumurannya. Ia tak punya kesempatan bersekolah, apalagi bermain. Hari-harinya dipenuhi pekerjaan membantu simbok. Bangun tidur, ia harus membantu menyiapkan dagangan lalu mencari kayu bakar untuk memasak esok harinya. Siangnya Siti menyusul simbok di warteg untuk menggantikannya berjualan sementara simbok mengambil cucian di rumah pelanggan. Sore hari, kala matahari hampir terbenam Siti membantu simbok mencuci pakaian. Hampir tak ada kesempatan biarpun sejenak untuk sekadar bergurau bersama teman-teman sebayanya. Walau begitu hidup mereka tak kunjung membaik.
***
Usai sudah Siti membantu simbok menyiapkan dagangan. Sekarang ia tinggal membantu simbok menaikkan dagangan di punggung simbok. Tiap hari simbok membawa dagangannya dengan sebuah bakul kecil yang digendong di punggung.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh disertai goncangan dahsyat di tanah yang Siti dan simbok pijak.
“Siti, ayo keluar!” Simbok menggamit lengan Siti dan menyeretnya keluar tanpa mempedulikan dagangan lagi. Dagangan yang sudah tersusun rapi kini berhamburan di tanah.
“Mbok, apa ini?! Ada apa, Mbok?!” teriakan Siti tak terdengar Simbok.
Di luar orang-orang sudah berhamburan keluar rumah. Mereka berlari tanpa tujuan dengan teriakan yang keluar dari mulut masing-masing.
“Lindhu! Lindhu! Lindhu!” teriakan itu terdengar serentak.
“Mbok, dagangan kita!” Siti kembali masuk ke gubuk reyot, tempat tinggal mereka.
“Siti! Biar saja! Jangan masuk!” simbok berusaha mencegah Siti masuk lewat teriakan-teriakannya.
Usaha simbok sia-sia. Siti tetap masuk mengambil dagangan. Simbok pun menyusul ke dalam. Namun perlahan-lahan gubuk itu ambruk. Tiang-tiang tak mampu menahan lebih lama goncangan sesaat itu. Simbok berusaha kembali menarik Siti keluar sembari melindungi Siti dengan punggungnya. Beberapa detik kemudian goncangan berhenti. Tak terkira dan tak terduga sebuah benda melayang di atas kepala Siti dan simbok kemudian menghantam punggung simbok.
Refleks dekapan simbok pada tubuh Siti mengendor. Tubuh simbok terkulai di tanah, lantai rumah mereka. Siti bergantian mendekap simbok lalu berusaha memapahnya keluar. Usaha Siti kali ini tak sia-sia. Simbok berhasil dibawanya keluar. Darah mengucur dari punggung simbok, membasahi setiap jengkal tubuhnya. Sebagian tubuh Siti juga berlumuran darah simbok. Sedetik kemudian gubuk itu sudah rata dengan tanah.
Kini lengkap sudah penderitaan Siti. Di tengah deru kehidupan yang menyertainya ia kehilangan tempat tinggal satu-satunya. Siti juga kehilangan penghasilannya. Cucian yang akan dijemur nanti entah bagaimana nasibnya. Pecel dagangan simbok mungkin juga sudah bercampur dengan reruntuhan gubuk. Gubuk satu-satunya Siti tertindih salah satu bangunan perumahan di belakangnya. Dan simbok yang sudah sakit-sakitan terkulai tak berdaya.
***
Semua orang kini berkumpul di persawahan pinggir desa termasuk Siti dan simbok. Beruntung Siti anak yang baik hati sehingga semua orang tak sungkan menolongnya meskipun ia dan simbok miskin. Tadi simbok dipapah Mas Paijo menuju sawah ini. Punggungnya pun sudah dibalut sarung yang direlakan Mas Bejo untuk meredakan darah yang terus mengalir. Namun simbok belum juga sadar.
Semua bangunan kini tak ada lagi yang sempurna. Rumah-rumah mewah di belakang rumah Siti pun kini sama dengan gubuk mungil Siti. Semua luluh lantak tak ada yang berdiri kokoh lagi. Tak bisa terbayangkan para eksekutif kini juga merana meratapi nasib mereka. Tak ada lagi yang bisa diandalkan kecuali Tuhan.
Beberapa jam kemudian bantuan mulai berdatangan. Tenda-tenda mulai didirikan. Logistik juga mulai datang. Tenaga medis satu per satu membantu mengobati luka-luka termasuk luka simbok. Simbok sudah sadar meskipun kondisinya masih lemah. Siti duduk termenung di samping pembaringan Simbok. Satu hal yang masih ada di pikiran Siti, kapan Pak Presiden datang memberi bantuan?
Kini Siti hanya bisa termenung di bawah tenda pengungsian. Kadang ia menatap satu per satu sesama pengungsi sepertinya. Akankah ia akan hidup berkecukupan? Benarkah kata simbok kalau Pak Presiden mengambil uang rakyat? Tak ada kesibukan lagi yang dilakukannya kecuali menunggui simbok. Terkadang Siti menangis namun tatkala ia berada di dekat simbok, air mata disembunyikannya. Siti tak mau simbok sedih. Siti tak mau kehilangan simbok. Ia tak mau jadi peminta-minta. Simbok bilang, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.
***
Matahari hampir tenggelam ketika terdengar sirine berdengung. Siti pun melongok keluar tenda untuk melihat apa yang terjadi. Ada beberapa orang berbadan tegap mengawal seseorang yang tinggi dan kelihatan berwibawa. Siapa dia, batin Siti. Penjahatkah? Penjajahkah?
“Pak Presiden datang! Pak Presiden datang!” beberapa orang berteriak kegirangan.
Pak Presiden datang?
Siti segera berlari ke tenda.
“Mbok, Pak Presiden datang! Pak Presiden datang, Mbok!” teriak Siti mengabari simbok. Simbok hanya bisa tersenyum. Tubuhnya masih terasa lemah.
Siti kembali keluar menyambut orang yang telah lama diimpikannya. Ia mendesak-desak orang di depannya agar bisa melihat Pak Presiden. Setelah perjuangan beberapa menit ia berada di jajaran terdepan. Pak Presiden tersenyum. Siti kini hanya bisa menatap Pak Presiden. Tak bisa berbuat apa-apa. Hingga Pak Presiden mendekatinya, membelai rambutnya yang lusuh, dan berkata, “Sabar, ya gadis kecilku…”
Siti pun menitikkan air mata keharuan. Hatinya berkata, mungkin jika semua ini tak terjadi, Pak Presiden tak akan datang.

27 Mei 2006
unforgettable moment …
Wish Allah always will be with us…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar