Selasa, 09 Februari 2010

Rintihanku Tentang Bunda


Rintik-rintik air hujan masih terus membasahi bumi kala ku termenung di kamar menatapnya. Awan hitam masih menggelayut di langit yang seharusnya biru. Pikiranku terus mengembara diantara kisah-kisahku.
“Ri, aku pengen curhat denganmu,” aku beranjak dari tempatku duduk menuju meja belajar.
Ri masih terdiam.
“Ri, kenapa sih aku dilahirkan seperti ini? Kenapa nasibku seperti ini? Aku tak paham… Aku benci semua ini, Ri!!! Kenapa ibu seakan tak memperhatikanku? Terus saja sibuk dengan kehidupannya… Sedari tadi pagi aku belum makan nasi, aku hanya makan sepotong roti, oleh-oleh paman. Sepulang sekolah ketika kubuka tudung saji tak ada sebutir nasi atau lauk pun terpampang di pelupuk mataku. Hanya ada sepotong kue kecil di atas piring. Mereka benar-benar tak memperhatikanku!!! Aku tahu kesibukan mereka, Ri… Aku tahu, Ri! Tapi…” isakan tangisku mulai terdengar, tetes air mata jatuh seperti gerimis di luar sana.
“Tapi seenggaknya kasih sayangnya… kasih sayang mereka padaku bertambah, Ri…” aku akhirnya meninggalkan Ri sendirian di kamar. Ri masih diam saja.
* * *
Dua hari kemudian…
“La, ibu mau ke Bali sekitar seminggu ke depan, berangkat besok Senin sore. Kamu bantu Mbok sama bapak di rumah, ya! Udah mulai libur, kan?” ibu mengatakan hal itu ketika aku menyelesaikan membaca novel yang lagi hot dibicarain di sekolah.
Aku terhenyak seketika, “Acara apa sih, Bu? Nggak bisa ditinggal, ya?”
Ibu mengambil cangkir kopinya lalu meneguknya, “Studi banding di sana, masak mau ditinggal? Ibu ndak tega sama teman-teman.”
Aku terdiam. Tiba-tiba saja ide-ideku lenyap. Kubiarkan novel itu tergeletak di sofa. Aku beranjak ke kamar mandi.
“BYURR!!!”
Guyuran air ke mukaku membuat dingin wajahku. Tapi hatiku ini tak jua dingin. Aku masih belum bisa menerima. Aku tak bisa ditinggalkan ibu meskipun sebenarnya tiap hari ibu seakan juga tak mempedulikanku. Entah kenapa hati kecilku tak rela. Mungkin kasih ibu yang tak kurasakan masih bisa dirasakan hati kecilku ini.
Aku kembali ke sofa dengan membawa susu cokelatku.
“Hanya seminggu kok, La. Besok Ibu beliin oleh-oleh, deh! Kamu mau apa? Baju, souvenir, atau makanan?” ucap ibu seraya menyeruput kopinya kembali.
Aku turut meneguk susu cokelatku lalu aku terdiam sejenak.
“Terserah Ibu. Tapi aku pengen souvenir aja..” ucapku datar. Aku tak tega untuk tak menjawab pertanyaan ibu.
“Ya, sudah besok Ibu beliin.”
* * *
Hari Senin pun tiba.
Koper besar sudah terisi pakaian ibu. Ibu masih berada di kamarnya memperkirakan barang apa lagi yang harus dibawanya. Hingga detik demi detik berlalu, Senin sore telah berada di depan mata.
“La, Ibu berangkat dulu, ya! Jangan lupa bantu Mbok dan Bapak, ya?!” ibu menepuk bahuku lalu mencium keningku.
Aku hanya mengangguk pelan. Dadaku terasa sesak.
Setelah mobil yang membawa ibu berlalu menuju bandara, aku lari ke kamar. Kukunci pintu lalu kehempaskan tubuhku ke atas ranjang. Kubenamkan kepalaku di bawah bantal. Kutumpahkan air mata yang telah mendesak-desak kelopak mataku. Aku menangis. Isakanku semakin keras ketika aku teringat kekesalanku kepada ibu. Selimutku menjadi korban pengusap air mata. Ujung-ujungnya terasa basah.
Tak terasa aku tertidur. Ketika aku bangun jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Astaga!!! Aku bangun menuju kamar mandi, cuci muka. Lalu kugapai handphoneku.
1 pesan diterima.
“Met tidur ya, say!”
“Dari ibu?” aku heran.
Bahasa SMS ibu tak seperti biasanya.
“Say? Darimana ibu dapat kata-kata itu?” batinku.
Keherananku makin bertambah ketika aku sadar bahwa ibu ternyata memperhatikanku. Tetapi kenapa kalau di rumah ibu tak seperti ini. Kebingunganku akhirnya sirna perlahan-lahan bersama rasa kantukku yang kian tak tertahankan.
* * *
“Mbok, ada yang perlu dibantu nggak?”
“E…apa ya, Mbak? Ini aja tolong jagain gorengan ini, Mbok mau ke warung sebentar, beli bawang merah sama bumbu yang lain. Atau Mbak aja yang beli ke warung?” Mbok yang sudah melangkah, membalikkan tubuhnya lagi.
“Mbok, aja! Aku ndak tau apa yang mesti dibeli.” Aku pun melangkah menuju pengorengan.
“Jangan sampe gosong lho, Mbak!” pesan Mbok.
“Ya, Mbok!” aku mengiyakan.
Aduh, lama banget sih matangnya! Dari tadi bolak-balik belum kecokelatan warnanya. Mendingan nyelesaiin baca novel yang kemarin barusan dibeli.
Aku melangkah menuju kamar mengambil novel. Sedetik kemudian aku sudah berada di sofa yang letaknya bersebelahan dengan dapur. Aku sudah terlarut dalam keasyikanku ketika tiba-tiba…
“Mbak!!! Gosong, nih!” teriak Simbok dari dapur.
Aku terhenyak. Kaget. “HAH!!! Maaf, Mbok, habis tadi lama banget sih warnanya berubah jadi kecokelatan. Sini kubantuin masak lagi, deh!”
“Bisa nggak ngiris bawang merahnya, dikupas dulu jangan lupa!” Mbok memberikan instruksi lagi.
Aku mengambil pisau. “Coba dulu, ya, Mbok!”
“He’eh,” Mbok menganggukkan kepalanya.
Tak lama kemudian…
“Aduh!!!”
“Kenapa, Mbak?” Mbok menoleh padaku.
“Luka, Mbok. Aku ambil obat merah dulu, ya!” Aku berlari ke kotak obat di pojok ruang sebelah.
Ternyata susah, ya jadi ibu. Harus ngerjain ini itu, belum lagi kalau anaknya masih kecil. Kasihan ibu…
* * *
Hari ini ibu pulang. Aku harus menjemputnya di bandara. Bapak tak bisa menjemput. Ada urusan dengan rekan kerjanya. Sebenarnya aku enggan tapi siapa lagi kalau bukan aku yang menjemput.
Pukul 10.00 pagi, aku sudah stand by di bandara. Menantikan kedatangan ibu dengan menunggu. Membosankan. Beberapa waktu kemudian ibu tiba-tiba sudah berada di sampingku.
“Makasih, ya, La mau njemput Ibu di bandara,” Ibu tampak bahagia.
“Sama-sama,” Aku memaksakan tersenyum. Beberapa kejadian menyebalkan bersama ibu masih terngiang di benakku.
“Pulang, yuk!” ajak Ibu.
Aku hanya mengikutinya dari belakang.
Sesampainya di rumah aku langsung masuk ke kamar. Belum sempat aku melangkahkan kaki lebih jauh ke dalam terdengar suara Ibu.
“La, nih oleh-oleh buat kamu!” teriak Ibu sambil mengetuk pintu.
Kuputar handle pintu. Ibu mengangsurkan sekantung plastik besar ke tanganku.
“Makasih, Bu,” Hanya itu yang sanggup kuucapkan.
Ibu kembali ke kamarnya sedangkan aku kembali masuk ke dalam. Pelan-pelan kusibakkan plastik itu dan kukeluarkan isinya perlahan-lahan. Ada baju plus rok panjang, ada kalung dari kayu yang berbentuk bulat, ada ukiran Bali, dan ada lukisan panorama alam Bali. Wow!! Aku suka lukisan panorama. Aku telah memimpikannya sejak dulu tapi kalau aku minta uang kepada ibu, ibu selalu menjawab ‘besok’.
Aku segera berlari ke kamar ibu. Tanpa sempat mengetuk pintu aku masuk ke dalam. Tampak ibu sedang di ranjang memegang ponsel. Aku menghamburkan tubuhku ke pelukannya, pelukan terhangat. Lalu entah sadar atau tidak aku mengucapkan, “I love you Mom!”

Ganbar copas dari: andikabayuherbowo.wordpress.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar