Selasa, 09 Februari 2010

Mengingat Kembali: 27 Mei 2006

27 Januari 2010,
Pagi ini memang masih seperti biasanya. Tapi siapa yang menyadarinya bahwa tadi kurang lebih pukul 03:40, Jogja kembali bergoyang. Pusat gempa berada di tenggara Wonosari, Gunung Kidul yang menggoyang dengan kekuatan 5,2 SR. Itu bukan skala yang kecil.
Aih, aku jadi teringat peristiwa 27 Mei 2006. Saat itu gempa yang begitu dahsyat mengguncang Yogyakarta dan sekitarnya.
Tepatnya saat itu aku kelas XI SMA.
Seperti biasa, kupersiapkan buku-buku dan peralatan yang akan kubawa ke sekolah. Satu per satu kumasukkan ke dalam tas biru sembari duduk di kursi dekat meja belajar. Di sela-sela keasyikanku itu, tiba-tiba kursiku bergoyang cukup keras. Sontak, aku berlari keluar. Kujumpai bapak sedang membopong adik terkecilku, yang saat itu berusia 2 tahun 19 hari, yang tertidur di depan televisi. Adikku yang duduk di kelas VII SMP diteriaki bapak agar segera keluar.
Ibu, bagaimana dengan ibu? Ibu kala itu sedang berada di rumah nenek yang tidak jauh dari rumah kami. Nenek baru saja pulang dari rumah sakit akibat stroke.
Setiba di luar rumah, orang-orang sudah berlarian keluar. Pohon-pohon kulihat bergoyang-goyang tak tentu arah. Tanah seolah bergelombang. Dan aku terjongkok, tanganku menumpu beban tubuh di atas tanah. Aku tak sanggup lagi berdiri. Gempa itu memang tak begitu lama dan aku pikir itu gempa yang biasa saja, seperti gempa-gempa yang pernah kurasakan.
Maka aku pun kembali bersiap diri untuk ke sekolah. Begitu juga dengan adikku. Pada pukul enam seperempat aku berangkat ke sekolah. Jalan Magelang wilayah Sleman masih seperti biasanya, hanya lampu rambu lalu lintas mati. Memasuki perempatan ringroad utara, jalan mulai ramai. Setiba di perempatan Pingit, penumpukan arus terjadi sekaligus perlawanan arus. Jalan mulai tak terkendali.
Di situ aku mulai tersadar... Mengapa aku ke sekolah dalam keadaan yang seperti ini?
Saat itu isu gunung Merapi sedang hot, gunung Merapi sedang sangat aktif. Maka dari masyarakat arah utara (Sleman) menyebutkan gempa karena gunung Merapi akan segera meletus. Sedangkan dari arah selatan (Bantul), gempa terjadi dengan pusat di laut dan tsunami sudah di ujung pantai. Yogyakarta sebagai kota yang di tengah menjadi begitu ramai.
Well, finally aku sampai di sekolah, sebuah SMA di kecamatan Wirobrajan, kodya Yogyakarta. Masih banyak teman-teman yang masuk sekolah, dan makin heboh saja sekolah. Namun waktu berselang, bel tak kunjung berbunyi, dan gempa kembali menggoyang. Kelas yang berada di lantai atas membuat semakin cemas. Sontak, sekelas keluar, berlari menuju lapangan upacara. Seeettt! Di tangga sirkulasi tiba-tiba macet.
“Tsunami! Tsunami!” beberapa orang yang berasal dari kelas lantai bawah berteriak.
Kami yang di atas, tak sabar lagi karena takut gempa akan terulang lagi.
Tapi tetap saja selama beberapa menit, keadaan statis di tangga yang diwarnai sedikit desak-desakan. Setelah diyakinkan bapak ibu guru bahwa tsunami hanyalah sekedar issue, perlahan-lahan kami turun ke lapangan. Di sana tangis teman-teman yang tinggal di daerah Bantul sudah tak terbendung lagi. Sementara jaringan telepon putus. Tidak bisa berkomunikasi dengan orang-orang rumah.
Surprise ulang tahun untuk sahabat karib juga terpaksa ditunda karena situasi yang tidak memungkinkan.
Menjelang siang, aku transit sebentar di kost teman. Belum sampai masuk bangunan rumah kost, seorang bapak dengan dua anaknya mengetuk pintu rumah di seberang jalan. Singkat kata, bapak tersebut bermaksud menitipkan kedua anaknya kepada penghuni rumah sekaligus saudaranya. Kulihat punggung bapak itu berdarah. Serbuk-serbuk serpihan beton menempel di bajunya. Sebutir air matanya tampak menetes saat ditanya bagaimana keadaan istrinya. Dengan sesenggukan beliau menjawab: tak terselamatkan.
Siang, aku kembali ke rumah. Di tengah perjalanan, abu gunung Merapi beterbangan. Mengaburkan pandanganku, menempel di sekujur tubuh dan motorku. Sesampai di rumah, ibu sudah duduk di teras rumah, menggelar tikar seraya menyetel radio. Ternyata gempa tadi pagi bersumber di laut, bukan gunung Merapi.
Selama beberapa hari kami sekeluarga tidur dan mengerjakan sebagian besar aktivitas rumah di dapur, dengan pintu yang tak terkunci. Saat menonton televisi, ingin rasanya menangis. Rumah-rumah runtuh dengan korban yang tak sedikit, baik meninggal maupun terluka, baik luka parah maupun kecil. Barak-barak pengungsian juga mulai dibangun. Posko-posko penyaluran bantuan mulai didirikan.
Sebuah cerita pilu yang tak terlupakan....

Di saat seperti itulah, terkadang baru disadari kuasa Tuhan. Baru disadari bahwa manusia memilikiNya sebagai tempat bersandar. Baru disadari bahwa manusia memiliki kesalahan-kesalahan kepadaNya. Baru meminta maaf dan memperbanyak ibadah...

Alhamdulillah Ya Rabb, Kau ingatkan hambaMu ini...


Sleman, 28 Januari 2010
02:52pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar