Jumat, 29 Januari 2010

Senja di Padang Lamun


Begitu berharganya sebuah pertemuan
meski sejenak
untuk sebuah perpisahan

Kata-kata itu masih juga terngiang di benakku. Kata-kata yang terselip diantara ratusan kata yang pernah teruntai antara aku dan dia. Kata-kata yang membuatku bertanya-tanya, “Inikah kenyataan sesungguhnya atas kata-kata itu?”

***

Terlantun bahana rasa pada pucuk-pucuk menara
yang menyanderaku ke dalam penjara kasat mata
yang selalu membawaku ke padang bahagia
Meski kutahu, semua itu menjadi bahasa di batas kata


“Laf, besok arsitektur ekologi nggak ada tugas kan?” beberapa kata terpampang di layar benda mungil yang selalu kugenggam itu.
Aku segera mengetikkan kata-kata balasan, “Nggak ada, kak. Besok kan kuliah terakhir sebelum ujian.”
Sejurus kemudian, tanpa kusangka, ia kembali menderingkan ponselku via layanan pesan singkat. Dan pembicaraan pun kembali mengalir. Seperti kemarin, seperti dulu, seperti enam bulan terakhir ini. Tentang kuliah, tentang kesibukan, tentang hobi dan cita-cita, juga tentang kami. Ya, tentang kami. Aku, dia, dan keluarga kami.
Entahlah, dari mana semua itu berawal. Aku tak sadar. Aku baru menyadarinya saat kami seperti sudah melangkah terlampau jauh. Langkah-langkah bahagia, setapak demi setapak dalam alunan tawa itu tanpa sadar membawa kami sampai di titik ini. Titik di mana aku begitu merindukannya saat ia tak ada. Titik dimana aku begitu mengharap hadirnya, saat ia pergi tanpa sepatah kata pun.
Apakah rasa itu juga pernah bersemayam dalam benaknya? Apa yang terjadi padamu kini? Apakah kau telah menyadari semua yang terjadi itu adalah... salah? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu menghantuiku.

***

Pada dzikir-dzikir cintaNya aku memohon
untuk senyum bahagia kita
Pada ujung doa aku berharap penuh
“Ya Tuhan, jika memang itu yang terbaik...”


Andreano, dia adalah kakak tingkatku, selisih dua tingkat. Sosok Indo, Indonesia-Perancis, yang sederhana. Ia adalah salah satu mahasiswa kebanggaan di jurusan, orang yang ramah dan banyak teman. Kami hanya bertemu saat mata kuliah Arsitektur Ekologi karena tahun ini dia mengambil mata kuliah itu untuk perbaikan nilai, sebelum Tugas Akhir. Pertemuan sekali sepekan itu pun tidak lantas menjadikan kami terlibat pembicaraan nyata.
Tidak! Dunia nyata dan maya kami sungguh berbeda. Kami seperti tidak kenal satu sama lain di dunia nyata. Tetapi di dunia maya, gelak tawa sering terlontar pada pembicaraan-pembicaraan tak terduga. Ah, itu dulu. Sekarang tidak lagi. Ia pergi dari duniaku secara tiba-tiba.
“Alhamdulillah, tadi aku udah berhasil ketemu Bu Maya. Konsep tugas akhirku sudah disetujui beliau. Insya Allah bulan depan aku udah nyusun tugas akhir.”
Pesan singkat itu yang terakhir kali dikirimnya untukku tiga minggu lalu. Pesan singkat yang dikirimnya pada sepertiga awal tengah malam, tak seperti waktu biasanya. Pesan yang membuatku terkaget-kaget mengingat waktu yang telah larut.
“Wah, selamat ya kak. Ngambil judul apa? Buruan lulus gih, biar tempat parkirnya sedikit longgar. Hehehe,” jawabku sedikit bercanda.
“Kamu ini bisa aja. Ya doain aja, lancar. Aku ngambil arsitektur ditinjau dari perspektif pendidikan untuk remaja. Kamu juga buruan lulus gih, biar kanopi nggak ruwet-ruwet amat. Hehehe...maksa.”
Sudah pukul dua belas malam. Kemampuan mataku tinggal beberapa watt. Kuputuskan untuk kembali membalasnya esok saja. Aku sepenuhnya sadar bahwa tak seharusnya aku bercakap dengannya pada waktu yang sudah larut ini. Tapi aku juga tak bisa menepis hasrat yang lebih kuat mendorong untuk menyambut percakapan itu.
Maafkan aku, Tuhan...
Keesokan hari saat matahari sepenggalah naik, kuketikkan beberapa kata, “Iya, maksa banget. Okelah, gud lak, te-a-nya...=).”
Dan itulah percakapan terakhir hingga detik ini. Karena ia tak membalas kembali pesan singkat itu. Kuliah juga sudah usai. Liburan akhir semester telah menghadang. Bahagiaku tak seperti bahagiaku liburan semester yang lalu. Saat ia menemaniku, meski jarak jauh, pada hari-hari liburan. Saat ia selalu menanyakan kemana aku berlibur. Saat ia terbang ke Bandung, kota kelahirannya, ia pun masih menemani hari-hariku.
Dan sekali lagi, itu semua sudah berlalu. Itu semua tinggalah kenangan. Sebulan sudah kami tak saling sapa. Fiuh...sebulan itu terasa sangat lama.
Tuhan, inikah yang dinamakan...virus cinta?

***

Ikan-ikan di kolam innercourt itu berenang-renang kesana kemari. Alangkah riangnya, menyelinap di sela tiruan batu-batu karang, lalu menyembul di bawah dedaunan suplir yang melambai pelan. Bias cahaya mentari memantul-mantul pada riak-riak air, yang disambut kembali dengan pantulan-pantulan di dinding bercat putih. Aku terduduk di balkon yang menyerupai dermaga kecil di atas kolam, bersandar pada pintu. Kuselonjorkan kaki di atas parquet yang menyelimuti balkon.
Setiap kulihat ikan itu, kenangan dengannya kembali berlayar. Ahh...
Kutarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya kuhembuskan kembali kuat-kuat. Sedikit merefresh pikiran. Aku beranjak ke kursi malas rotan yang bercokol di sudut balkon. Kubaringkan badan di sana, kutatap lekat-lekat awan yang berjalan pelan, terhembus angin. Apa kabarmu, kakak?
Dan aku tersadar, aku telah kembali salah memikirkannya. Aku menjadi tidak produktif. Aku telah membuang waktuku sia-sia. Banyak hal yang seharusnya bisa kukerjakan daripada hanya memikirkannya. Memikirkan sesuatu yang tidak jelas adanya. Aku harus lebih baik, tak boleh lagi tertawan diri sendiri. Kucoba berbisik pada kalbuku, “Jika dia memang untukmu, dia pasti akan kembali padamu. Jika dia memang untukmu, dia pasti akan datang pada waktu dan tempat yang jauh lebih baik. Tuhan tahu yang terbaik untukmu...”
Aku berdiri, beranjak menuju kamar pribadiku. Kubangunkan laptop di meja kerjaku dari hibernate-nya. Kutatap layar yang masih putih bersih. Layar yang kutinggalkan semalam. Hmmh...esok deadline lomba cerpen yang diadakan BEM fakultas. Tak ada salahnya kutulis cerita nyataku ini dengan beberapa perubahan setting, tokoh, dan waktu.
Kutarikan jari-jariku di atas tuts-tuts keyboard, kujalin kata-kata itu menjadi untaian kata yang kurasa manis. Kucoba tulis semua itu dari hati terdalamku. Dan tanpa sadar, air mataku luluh, mengalir, membentuk sungai-sungai mungil di pipiku.
Andai saja ending cerita nyata hidupku akan seindah cerita khayalanku ini...

***

Esok kuliah sudah kembali aktif, sekaligus pengumuman pemenang lomba cerpen. Tak berharap banyak untuk menjadi pemenang lomba cerpen itu. Menuangkannya menjadi kata-kata nyata saja sudah menjadi kepuasan tersendiri bagiku. Lagi pula cerpen itu kutulis tak lebih dari 24 jam, sepertinya editingku belum sangat matang.
Esok pula berbagai kemungkinan akan muncul. Akankah ia hadir di kampus? Akankah kami akan berpapasan di kampus? Atau secara tak sengaja hampir bertabrakan di pintu hall lantai tiga? Pikiran-pikiran itu kembali menggelinjang di benakku. Hingga kedua belah mataku terpejam dan kujumpai mentari esok hari telah kembali bersinar di ufuk timur.
Kusiapkan diriku untuk ke kampus. Hari pertama masuk di semester enamku ini, aku ingin tampil dengan sebaik mungkin. Kupakai pakaian kesayanganku, setelan kemeja dan rok panjang berwarna hijau muda. Tak lupa kerudung hadiah bunda pada ulang tahunku kemarin yang berwarna senada. Kuselempangkan tas krem muda bergaya casual di bahuku.
Kusambar kunci motor seusai sarapan dan berpamitan dengan ayah bunda. Di atas motor kesayanganku ini aku melaju menuju kampus. Hanya dua puluh lima menit waktu yang kutempuh menuju kampus arsitektur tercintaku. Bahagianya berjumpa dengan teman-teman di semester yang baru ini. Bahagianya mencoba belajar lebih dewasa karena adik-adik tingkat pun menjadi tantangan untuk semakin dewasa.
“Laffa!” Stefani memanggilku dari bordes tangga.
“Hai, Stef! Apa kabar?” jawabku setelah Stef sesampai di sampingku.
Stef menepuk bahuku, “Baik, ke sana yuk!” Stef mengacungkan tangan menuju kanopi.
Kuanggukkan kepala tanda setuju.
Di kanopi sudah berkumpul beberapa anak seangkatanku, Danny, Reza, Litha, Devi, dan Lulu.
“Hai, teman-teman! Gimana liburan kalian? Yang pada pulang kampung, mana oleh-olehnya nih?” sapaku nerocos kepada mereka.
Litha menggeser duduknya, “Baik, Laf. Wah, aku nggak pulang Laf, tanggung cuma libur sepekan,” ujarnya sembari tertawa lepas.
“Laf, selamat ya!” cetus Danny tiba-tiba.
Dahiku mengerut, bingung, bertanya-tanya, “Selamat atas apa, Dan?”
“Kamu kemarin ikut lomba cerpen yang diadain BEM kan? Itu udah dipasang pengumumannya di papan.”
“Yang bener aja, Dan?” aku masih tak percaya.
“Lihat aja sendiri, Laf. Jangan lupa makan-makannya ya...”
“Iya Laf, jangan lupa makan-makannya ya!” serentak anak-anak kemudian.
Aku tersenyum seraya berdiri menuju papan pengumuman di tepi kanopi. Terpampang jelas disana, “Laffa Danisha, pemenang pertama.”
Kuucap syukurku pada Yang Maha Kuasa. Tersungging senyum di wajahku kala aku kembali berjalan menuju teman-temanku yang bersiap menyalamiku sebagai tanda selamat. Sungguh ini adalah anugerah yang tak kusangka-sangka.

***
Senja itu bukanlah akhir dari segalanya
Saat mentari tenggelam di bawah cakrawala
Kau tahu, esok mentari kan kembali menyapa
Membawa angin bahagia di hati kita
Menyenandungkan lagu beromansa cita


Senja menorehkan sinaran oranyenya di langit barat. Sebagian menyusup di sela-sela jajaran pohon angsana. Bunga-bunga kuningnya berguguran seusai hujan. Sebagian tertiup angin lalu hinggap di ujung kerudungku. Aroma tanahnya masih kental tercium. Di sini, di Padang Lamun aku duduk di atas sebuah batu yang cukup besar, menggenggam note kecil dan sebatang pensil, mencari inspirasi.
Padang Lamun, tanah yang lapang di depan gedung arsitektur. Tempat di mana banyak mahasiswa biasa berkumpul untuk berdiskusi, bercakap, atau hanya sekedar duduk-duduk santai. Namun kali ini, di Padang Lamun hanya ada aku seorang. Maklum, masih hari pertama masuk kuliah.
Ponsel di sakuku bergetar.
Tampak di layar, satu pesan diterima, terpampang nama Kak Andre. Tanganku bergetar.
“Laf, maaf mungkin aku telah membuat teka-teki di pikiranmu. Rasanya aku sadar, aku telah membuncahkan sebongkah harapan di hatimu. Dan kini aku sadar, sepertinya aku telah menggoreskan luka di hatimu. Aku sadar telah membawamu salah melangkah. Maaf, Laf...”
Kupejamkan mataku erat-erat, menahan aliran air mata yang ingin keluar. Belum sampai kusimpan kembali ponselku, benda mungil itu kembali bergetar. Satu pesan kembali diterima. Satu pesan lagi dari Kak Andre.
“Laf, aku akan segera kembali. Pada waktu dan tempat terbaik. Pada jalan yang diridhaiNya, diridhai semuanya... Cerpenmu benar-benar jujur, Laf...”
Kini air mata sudah tak dapat kubendung lagi. Kutarik sehelai tisu dari lipatan kantong tasku. Kuusap air mata yang telah mengalir. Kutoleh gedung arsitektur yang telah mempersembahkan cerita terindah untuk hidupku. Tak sengaja mataku menangkap sesosok yang tengah berdiri di tengah kanopi, menghadap ke arahku. Lengkungan sabit terbentuk di wajahnya, senyum pertamanya...
Kak Andre...

Aih, aku baru sadar. Kak Andre adalah kabid Penerbitan BEM, dan cerpen itu pasti sudah mampir ke tangannya? Dan senja di Padang Lamun ini benar-benar seindah ending cerpenku itu.

Sleman, 26 Januari 2010
inspirasi terbesarku benar-benar hidupku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar