Jumat, 29 Januari 2010

Belajar di Bonbin Gembira Loka

Saya teringat pembicaraan tadi sore bersama teman-teman. Belajar untuk hidup atau hidup untuk belajar? Ya, tidak seharusnya kita memilih salah satunya atau bahkan tidak memilih karena keduanya sama-sama penting.
Selama kita hidup sudah seharusnya kita mempelajari apa-apa yang bisa dipelajari, termasuk tentang hidup itu sendiri. Belajar dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja, kepada siapa saja.

***

Lusa, saya bersama seorang teman iseng mengunjungi Kebun Binatang Gembira Loka di Yogyakarta. Saat itu sedang ‘long weekend’ sehingga tidak heran jika tempat itu menjadi sangat ramai. Namun saya sedang tidak akan membicarakan tentang apa-apa yang terdapat di dalamnya, hanya ingin berbagi ‘sejam bersama perajin’ saja.
Ketika hari menjelang petang, saya dan teman saya tepat keluar dari area kebun binatang yang langsung terhubung dengan kios-kios para penjual souvenir dan cinderamata. Kami memasuki kios nomor satu yang terletak di paling pojok. Tak lama kami masuk, seketika disambut oleh Pak Supriyadi Pamiyanto yang ternyata sang pemilik kios. Heran rasanya karena bukan “Yang ini bagus mbak,” atau “Ini mbak bagus cuma sekian ribu,” yang keluar dari bibir beliau. Namun, “Kuliah dimana mbak?”, “Jurusan apa mbak?”.
Beruntung bagi kami karena teman saya dan istri si bapak sama-sama beralmamaterkan UNY (Universitas Negeri Yogyakarta). Meskipun berbeda jurusan mereka tetap satu fakultas. Sedangkan saya dan Pak Supri sama-sama berlatarbelakang pendidikan teknik, Pak Supri alumni Teknik Sipil, sedangkan saya Arsitektur. Sama-sama nyambung lah!
Sesaat kemudian saya menanyakan harga sebuah cinderamata, jawab Pak Supri, “Itu tiga ribuan, kalau yang di sana itu seribuan.”
Saya layangkan pandang ke arah yang ditunjukkan Pak Supri. Berjajar souvenir berupa gantungan kunci yang cukup ‘wah’ terpajang rapi. Seakan tidak percaya saya kembali bertanya, “Semuanya Pak?”
Dan Pak Supri kembali meyakinkan, “Iya semuanya.”

***

Detik-detik selanjutnya berisi cerita-cerita Pak Supri tentang perjalanan hidupnya. Beliau yang lulusan teknik kemudian bergelut di usaha seperti itu. Cita-cita, modal, dan pemasaran, tiga kata yang ditekankannya saat memulai memaparkan pengalamannya. Hanya dengan kekuatan ketiganya kamu bisa.
Ribuan item produk terpajang dengan strategi bisnis yang tepat, trik yang hebat dan berbeda dengan kebanyakan orang berprofesi sama. Tak heran pula jika kemudian beliau mengangkat para pemuda untuk diasuhnya dan bekerja di kios tersebut. Meski tidak dibayar, para pemuda tersebut terlihat sangat akrab dengan keluarga Pak Supri. Hal itu dikarenakan mereka sehari-hari tinggal, makan, dan tidur di rumah Pak Supri.
Jatuh bangun dalam memulai usaha pun pernah dialaminya. Saat usaha beliau direbut adiknya, hingga kemudian memulai hidup lagi di Yogyakarta dengan menjual cincin dan kalung pernikahan istrinya untuk mengontrak rumah. Mengasong di seputaran Candi Prambanan dan Gembira Loka untuk melihat peluang pasar. Betapa semuanya dimulai benar-benar dari bawah. Betapa untuk menuju ke depan harus berani mengambil resiko di belakang.
Sesuatu yang juga menarik untuk saya adalah ketika Pak Supri mengajarkan kepada anak-anaknya untuk hidup mandiri, tahu susahnya mencari uang. Namun bukan berarti anak-anak Pak Supri lalu mengikuti jejak beliau di usianya yang masih kecil. Pak Supri hanya mengajarkan menabung, lalu uang hasil tabungan itulah yang digunakan untuk memenuhi sebagian keinginan materi anak-anaknya.
Takjub ketika kemudian mendengar bahwa anaknya yang baru kelas empat SD (kalau tidak salah-red) menjuarai panjat tebing tingkat Asia dan kini telah memiliki tabungan sebesar 150 juta. Itu benar-benar bukan hasil yang instan tentu saja tetapi telah melalui jalan yang berliku-liku.
Yeah, sebuah pengalaman yang sangat berharga di hari itu yang telah direncanakanNya.

Solo, 21 Desember 2009
di sela timpukan-timpukan kecil...:D

Duh

Duh…
saat aku memilih dia, kau hadir
saat aku memilih kau, kau hilang
apa maumu sih?

Duh...
saat aku membuka kotak khayalku
kau sibakkan ruang kecilmu di dalam
aku bingung...

Duh...
kau pergi
tapi tak bilang-bilang

Duh...
tak lagi peduli

lari saja yuk, ke laut lepas
dan puncak Suralaya menanti
ceritamu kawan...

Sleman, 25 Januari 2010
09:45am
duh...kata-kata itu masih membuatku
tak percaya
yang tlah terjadi

Sunrise di Bawah Asa

Pagi itu,
kusapa asa pada kepulangannya
kusapa asa pada kerinduanku
meretas hampa yang terjalin
jadi buih-buih senyum

berharap asaku kembali
pada genggaman tanganku
yang terbuka

Sleman, 27 Januari 2010
09:15am

Ikan

Sadarkah kau
ikan-ikan gemulai itu pernah
menjadi saksi perbincangan kita

dua jeda yang lalu
dalam sepi dan sunyi
dalam biru dan merah muda

kini ikan-ikan itu masih
menggemulaikan sirip-siripnya
masih berenang kesana kemari
masih memburu sebutir nasi
yang kulemparkan padanya

dan kuyakin ia menanti sebutir nasimu
lagi

Sleman, 27 Januari 2010
07:00am

Kala Sore Hari

Sore itu kau kembali
di saat aku telah berhasil melupakanmu
Sore itu kau kembali
di saat aku kembali merengkuh
cerita lamaku

Lalu hujan turun
dan kau semakin mendekapku erat
Kau bisikkan kata-kata
yang mendamaikan pikirku
Kau tumbuhkan lagi harapanku padamu
yang pernah hilang
Sempat pula kau sisipkan isyarat
yang membuatku bertanya-tanya

Kau, dia...
semakin membuatku bingung
membuatku termangu
termenung
Hingga bulir-bulir air mataku mengalir
Seiring gemericik hujan membasahi
tanah

Tersadar tanpa kalian
cerita hidupku akan hambar

Sleman, 22 Januari 2010
03:40pm

Hanya Cerita Lama

Lengkungan sabit di wajahmu
Mengawali kembali semua kisah itu
yang dulu pernah terjalin

Tatapan elang di matamu
Menandai episode yang baru
yang mungkin akan berlanjut

Apakah masih seperti dulu?
Kau dan aku
mengukir teka teki
melanjutkan misteri
yang bahkan belum sempat
terpecahkan

Apakah kita masih berharap?
pada kebisuan
pada hati yang bertanya-tanya

Apakah isyarat-isyarat tanpa rencana itu
adalah sebuah pertanda?
bahwa masih ada titik putih
di hatimu
hatiku

Sleman, 22 Januari 2010
10:30 am
sendiri menyepi
di ruang penuh inspirasi

Ekspedisi Bandung: Untuk Seribu Langkah, Untuk Seribu Mimpi [part 8: The Bottle House]

Bottle House akhirnya mendapat restu untuk menerima kedatangan kami.
Bottle House adalah rumah tinggal milik Ridwan Kamil, yang juga diarsitekinya sendiri. Dibangun dengan menggunakan 30.000 botol bekas sebuah merk minuman. Botol bekas tersebut disusun dan ditempelkan sehingga membentuk bidang-bidang serupa dinding yang semi transparan.
Ada cerita unik mengapa Emil memilih botol sebagai partisinya. Hal itu dikarenakan para tukangnya terbiasa mengkonsumsi minuman-minuman tersebut dan membuang botolnya hingga akhirnya menumpuk. Dari sanalah inspirasi Emil muncul. Seperti dikemukakan beliau bahwa terkadang ide-ide spektakuler justru muncul kemudian, bukan pada saat perencanaan perancangan.
Bottle House juga didesain dengan efek melayang. Sebagai contoh terdapat pada tangga menuju teras yang memang tidak masif serta susunan botol-botol kaca yang tidak menyentuh lantai.
Pada bagian tengah rumah terdapat innercourt yang mengapit dua lantai di depannya dan tiga lantai di belakangnya. Area innercourt ini juga biasa digunakan untuk berkumpulnya keluarga atau acara-acara skala sedang seperti pengajian, yang merupakan perluasan dari ruang keluarga. Pada bagian kanan innercourt memanjang terdapat kolam renang yang tidak terlalu luas tetapi cukuplah sebagai penyejuk dan penyeimbang suasana.

Ekspedisi Bandung: Untuk Seribu Langkah, Untuk Seribu Mimpi [part 7: Braga Street]

Hari terakhir di Bandung.
Perjalanan dimulai dengan Kantin Salman (again!). Tidak menjadi masalah karena justru di sini secara tak terduga bertemu dengan teman SMA, Hani. Meski sejenak tetapi itu sudah merupakan cerita indah. =)
Perut terisi, saatnya kemabali berjalan. Braga street.
Jalan Braga atau Bragaweg adalah nama sebuah jalan utama di kota Bandung, yang cukup dikenal sejak masa pemerintahan Hindia Belanda. Di sisi kanan kiri Jalan Braga terdapat kompleks pertokoan yang memiliki arsitektur dan tata kota yang tetap mempertahankan ciri arsitektur lama pada masa Hindia Belanda. Tata letak pertokoan tersebut mengikuti model yang ada di Eropa sesuai dengan perkembangan kota Bandung pada masa itu (1920-1940) sebagai kota mode yang cukup termasyhur seperti halnya Paris di Perancis.
Teringat saat berjalan di pedestrian Jalan Braga, terdapat icon toko yang berdesain Eiffel Tower di Paris. Ya, cukup bisa menjadi tipuan. Saat berfoto di bawahnya, hasilnya terkesan seolah-olah sedang berada di Paris. Benar-benar Paris van Java! Diantara pertokoan yang masih mempertahankan ciri arsitektur lama adalah Sarinah, Apotek Kimia Farma, dan Gedung Merdeka (Gedung Asia Afrika).
Sejenak berputar-putar di kawasan Braga, menyapa kekokohan arsitektur masa lampau yang masih bertahan dan dipertahankan. Pelajaran yang indah, segala sesuatu yang pernah ada merupakan sejarah peradaban umat manusia.

Ekspedisi Bandung: Untuk Seribu Langkah, Untuk Seribu Mimpi [part 6: Pecha Kucha, Gedung Merdeka Bandung + pasca Pecha Kucha]

Selepas dari PVJ, selepas isya’ kami bertolak ke Gedung Merdeka. Di sana sedang ada acara bernama Pecha Kucha. Pecha Kucha ya, bukan Pecah Kucah. Pecha Kucha, berasa aneh saat pertama kali mendengar nama itu. Entah dari mana asal katanya (belum nyari-red), yang pasti Pecha Kucha memberikan inspirasi-inspirasi yang bagus bagi saya. Kekreatifan orang-orang muda Bandung itu memang tiada duanya.
Irma Hariawang, anak astronomi yang mencoba meneliti Candi Borobudur dengan kaitan ilmu astronomi. Jhendra Adhinegara yang membuat paper quiling yang benar-benar ‘wah’. Fiky Satari dengan eksperimen asapnya, dan banyak lagi.
Pecha Kucha benar-benar membuka cakrawala. Bahwa hidup ini harus kreatif, hidup harus produktif, karena hidup ini mudah.
Belum usai Pecha Kucha, kami kembali ke penginapan karena hari sudah malam dan kami harus mempersiapkan diri untuk hari berikutnya. Dengan aroma kelaparan kami bertiga menuju kamar no 136. Namun kami tak bisa serta merta bertahan begitu saja di kamar itu. Kami, Rofida dan Tiara beserta kawan-kawan dari kamar lain putuskan untuk keluar, mencari sesuap nasi. Tinggallah Rahma di kamar.
Di sebuah rumah makan, kami memesan makanan. Tetapi saat membayar Tiara dan saya merasa ragu atas harga yang harus kami bayar. Bukan terlalu mahal, tetapi justru terlalu murah. Tak seperti di bannernya, itu yang ada di pikiran kami. Sudahlah, kami masih tetap bertanya-tanya hingga kemudan diyakinkan oleh teman-teman bahwa itu tidak salah.
Kenyang, kenyang, kenyang. Ngantuk, ngantuk, ngantuk.. Pulang, pulang, pulang. Jalanan sudah sepi, benar-benar sepi. Penginapan juga sudah tak seramai tadi.
“Tok! Tok! Tok!”
Tiada jawaban.
Tok! Tok! Tok!
Masih tiada jawaban.
Apakah Rahma sudah terlelap?
“Tiara, Tiara, kamu bisa narik tirainya sedikit ga? Biar aku bisa liat posisi Rahma...”
Beruntung di depan kamar ada kursi panjang yang bisa dijadikan pijakan. Tapi...
“Duh, ga bisa e... Ga nyampe...”
“Kamu coba. Aku tak misscall dia.”
Maka saya pun naik ke kursi dan Tiara memisscall.
“Tir, ambilin sandal dong...”
Dengan bantuan sandal, meski sedikit tak sopan dilihat, akhirnya bisa sedikit terbuka tirai itu. Benar saja, Rahma sudah terlelap. Tiara juga belum bisa membangunkan Rahma via misscall. Finally, penggedoran tetap dilanjutkan sampai akhirnya Rahma benar-benar terbangun. =D
This’s nice moment!
Malam terakhir di Bandung. Esok kami check out. Dan malamnya perjalanan pulang.

Ekspedisi Bandung: Untuk Seribu Langkah, Untuk Seribu Mimpi [part 5: Paris Van Java]

Sekitar pukul lima, berangkat menuju Paris van Java, Paris-nya Jawa.
Paris van Java merupakan resort lifestyle yang berkonsep main street dan alfresco dining. Terletak di Jalan Sukajadi no 137-139 Bandung dan dibuka pada Juli 2006.
Ir Wawa Suleman, MBA, M.Arch, pembangun Paris van Java, demografi Bandung bukan urban cosmo seperti Jakarta, Semarang, atau Surabaya. Tetapi lebih kepada urban culture dan urban nature seperti di Bali (Kuta) dan Yogyakarta (Malioboro). Bandung mendapat nilai plus karena cuacanya yang sejuk sehingga konsep main street dan alfresco dapat diaplikasikan.
Paris van Java merupakan bangunan proyek jangka panjang karena ruang terbukanya 2 hektar, parkir 4 hektar, dan luas kotor mal sendiri 8 hektar. Yang membuat Wawa bangga adalah lampu-lampu yang bernuansa festive dan romantic serta bunga-bunga di sekitarnya. Semua dirancang dengan open air yang alami serta pemandangan yang burung-burung merpati hias yang beterbangan bebas. Konsep bangunan juga kental dengan desain Eropa. Konon Paris van Java ini belum ada duanya di Indonesia dan bahkan Asia Tenggara.
Hmm...mencoba mencicipi hidangan ala PVJ yang tentu saja sangat jauh berbeda dengan di habitat biasanya.
“Berapa kali lipat ya?” kata-kata itu yang sering dipertanyakan saat kunjungan ke PVJ nyaris berakhir.
Yang cukup menginspirasi adalah toilet yang berkelas eksekutif. Luas nian. Di bawah wastafel terdapat kolam kecil dengan ikan yang berenang kesana kemari. Selain itu terdapat juga beberapa pot tanaman yang membuat pengunjung makin nyaman berada di sana. Namun hal itu kontras dengan mushola yang terletak di sebelahnya. Mushola yang kecil. Hal vital yang memang sering kurang diperhatikan.

Let the nature paint the building, biarkanlah alam memberi warna pada gedung.

-ada yang mau kasih info tambahan lagi tentang PVJ?

Ekspedisi Bandung: Untuk Seribu Langkah, Untuk Seribu Mimpi [part 5: Institut Teknologi Bandung (ITB) with Ikatan Mahasiswa Arsitektur Gunadharma (IMA

Aktivitas pagi dimulai kurang lebih pukul delapan (‘karet’ tidak dihitung-red). Dimulai dengan menuju Kantin Salman ITB (lagi). Menu pagi ini nasi telur dadar plus sup plus kerupuk dan pisang. Tetap yummy kok!
Langkah selanjutnya adalah ke Jurusan Arsitektur ITB, di Labtek IX. Memasuki gedung tersebut, menaiki tangganya, menemui bordes yang setengah lingkaran.
Dan...Entik! Yeuy akhirnya ketemu juga dengan teman dari SMA 1 Yogya. Nongkrong beberapa lama di ujung tangga, cerita macam-macam dulu, ketemu teman-temannya yang di Arsitektur juga, cerita-cerita lagi. Hingga kemudian ada seorang Bapak yang bertanya kepada saya dan memunculkan image baru yang tak kusangka. We’re better, my friend...
Tiba di studio tingkat IV yang menjadi ‘ruang tamu’ untuk kami sudah terlambat. Jadi kami (saya dan Entik-red) memilih kursi yang paling belakang. Lebih banyak lagi menggali tentang arsitektur ITB yang tentu saja ada sisi-sisi yang berbeda dari arsitektur UNS. Konsekuensinya...maaf saya tidak begitu memperhatikan presentasi IMA-G di depan. Saya larut dalam sebuah pertemuan.
Adzan dzuhur (shalat jum’at karena hari itu hari jum’at) mengakhiri sesi di studio tingkat IV. Selanjutnya kami turun tangga lagi, memastikan janji dengan teman SMA lagi. Surprise banget rasanya bisa bertemu dengan teman lama yang sudah lama tak bertemu. Dari kejauhan kulihat Anant. Lalu...ya melepas semua kerinduan.
Mau ke mana kita? Jangan tanyakan peta karena kami sudah tahu mau ke mana. Berjalan-jalan, berputar-putar ITB bersama dua guide spesial dan juga Tiara dan Rahma. :D Perjalanan pertama dimulai dari ujung sumbu, yang membelah ITB menjadi dua sisi, barat dan timur. Menyusuri plaza, melihat kolam not Indonesia Raya, melihat kolam Indonesia tenggelam (akhirnya...). Hingga ke pangkal sumbu, yang merupakan titik pertemuan dengan Sasana Budaya Ganesha (SaBuGa).
Takjub nian dengan arsitektur plaza tersebut. Sumbu yang dibuat lurus membujur dari selatan ke utara dengan tujuan agar saat berjalan ke utara dapat melihat Gunung Tangkuban Perahu. Namun dengan ketidakharmonian desain antara gedung-gedung di kutub selatan dengan utara, Gunung Tangkuban Perahu menjadi sedikit tak terlihat. Apalagi dengan adanya gedung delapan lantai yang (jika tidak salah) adalah University Center (UC). Ketidakharmonian yang saya maksud adalah perbedaan konsep antara gedung-gedung di sisi selatan dan utara. Gedung-gedung di sisi-sisi selatan masih memegang kearifan lokal namun gedung di sebelah utara menurut saya lebih ‘egois’ karena desainnya yang benar-benar modern.
Lalu ada gedung yang sedikit menipu. Dari kejauhan gedung itu seperti ada balkon yang berada di depan pintu. Namun jika diamati lebih lanjut, balkon tersebut ternyata berlubang. Tujuannya untuk pengangkutan barang dari bawah ke atas.
Ada lagi gedung yang didesain oleh Ir Soekarno yang identik dengan tangga yang membingungkan karena terdapat banyak tangga. Tangga-tangga tersebut tidak menghubungkan semua ruangan yang ada namun hanya untuk akses dari beberapa ruang ini menuju beberapa ruang ini.
Labtek biru, dengan double helix-nya. Gedung dengan finishing kaca-cermin berwarna biru (bingung apa-red) yang dapat memantulkan apa-apa yang berada di area double helix termasuk manusia yang termasuk juga kami. Gedung ini juga berbeda konsep dengan gedung-gedung yang lebih lawas.
Perjalanan berakhir di Masjid Salman, masjid karya Ahmad Noe’man, dengan nama Salman yang diberikan oleh Ir Soekarno. Dan di masjid itu pulalah kami harus berpisah karena kesibukan yang berbeda-beda.
Seusai shalat dan makan, mengekor archy-ers UNS berputar-putar ITB lagi. Ndobel ceritane... Betapa begitu lelah kaki ini melangkah. Namun suasana yang berbeda, tentu saja telah menjadi penawarnya. Tetapi ceritanya idem saja ya, karena rutenya pun sama.
Sesi berakhir sore hari, dengan sebuah kabar bahwa seorang teman sekamar telah meninggalkan kamar no 136. Kamar yang sebelumnya begitu terpencil, kini semakin sepi saja. Fffiuh...

Ekspedisi Bandung: Untuk Seribu Langkah, Untuk Seribu Mimpi [part 4: pasca CiWalk]

Kurang lebih pukul delapan malam (‘karet’ tidak dihitung-red) kami meninggalkan CiWalk dengan segala keelokannya.
Dan entahlah bertemu beberapa teman dengan pertanyaan-pertanyaan yang nyaris sama, “Kamu tadi makan apa? Di mana? Berapa harga?” Dan jawaban yang terlontar dari masing-masing bibir ternyata juga nyaris sama. :D
Tak terasa pukul sembilan sudah kembali ke penginapan. Namun Bandung malam hari di malam pertama (;)) tersebut begitu menggoda meski lelah menghantui. Keluar menyusuri pedestrian yang sudah mulai sepi, menyisir satu demi satu massa. Belok kanan ke BaBe (Barang Bekas), sebuah toko yang khusus menjual barang-barang bekas, yang masih layak dipakai, dengan harga yang terjangkau. Tak ada yang menarik magnet di hati, jadi keluarlah kami dengan tangan hampa. (Alhamdulillah...-red)
Menyusuri kembali jalan setapak demi setapak, sampai di Burger Moo, tetapi lambung ini belum begitu menginginkan suplai lebih. Jadi hanya mengantarkan dua orang teman saja meski pergi beramai-ramai.
Cukup, sudah malam. Burger Moo adalah jarak terjauh malam itu. Lalu kami bertolak kembali ke penginapan. Hhh...hanya dahaga tetapi ia berteriak. Oke, berlima mampir menjaja minum. Lega...
Saatnya harus kembali ke penginapan. Dan...zzzzzzz.

Ekspedisi Bandung: Untuk Seribu Langkah, Untuk Seribu Mimpi [part 3: Cihampelas Walk]

Lepas dari Selasar Sunaryo, kami menuju sebuah kawasan bernama Cihampelas Walk atau lebih akrab disapa CiWalk.
Terdapat point of interest yang cukup menarik walaupun tidak terlalu besar dan tinggi, yaitu semacam tembok kecil setinggi 1 m dari granit dengan tulisan ber-font artistik dan lighting yang manis. Tulisan tersebut tentu saja Cihampelas Walk.
Selanjutnya, ada beberapa keterangan tentang CiWalk yang sengaja saya ambil dari http://astudioarchitect.com/2008/09/ziarah-arsitektur-urban-leisure.html oleh Ade Yudirianto. Ini dia:
CiWalk merupakan mall berusia muda di Bandung (beroperasi tahun 2003) dibangun dengan sentuhan yang berbeda dengan mall pada umumnya. Mall tersebut melebur bersama lansekap alam yang ada. Integrasi yang unik. Pepohonan besar yang tersebar di penjuru tapak justru menjadi nilai tambah bagi keberadaan mall ini. CiWalk didirikan di atas lahan 3,5 hektar. Dari areal seluas itu, yang dipergunakan untuk bangunan hanya 1/3-nya , sedangkan 2/3 lainnya dimanfaatkan untuk area parkir, taman dengan berbagai jenis pohon yang berumur puluhan tahun.
Memasuki CiWalk kita seolah hendak diajak berpetualang dalam rimba raya hutan kota bandung yang di dalamnya terdapat dunia kapitalisme modern. Kapitalisme modern yang mencoba bersahabat dengan alam. Mall diletakkan dengan setback yang mundur ke belakang amat jauh sehingga posisinya tersembunyi oleh pepohonan raksasa dan taman-taman lansekap yang ada. Ini merupakan strategi yang jitu karena setelah menelusuri Jalan Cihampelas yang padat merayap seolah pengunjung merasakan oase yang menyegarkan melihat deretan tata hijau dengan jalan-jalan lebar membentang. Pola perletakkan tenant-tenant/counter yang ada pun disebar pada area terbuka sehingga pengunjung dapat menikmati etalase toko dari ruang luar, berbeda dengan mall kebanyakan yang interior tenant justru berorientasi kedalam pada satu bangunan tunggal sehingga berkesan introvert terhadap ruang luar. Pola sirkulasi pun juga menjadi sebuah petualangan tersendiri karena berada pada tapak yang sengaja dibiarkan mengikuti kontur sehingga kita bisa melihat Sungai Cikapundung dan deretan permukiman penduduk disisi timur CiWalk, tanpa terhalangi.
Desain mall ini merupakan sinergi dari dua orang penting yakni Fauzan Noe’man, arsitek dan Deni, pemilik modal CiWalk. Fauzan menjelaskan bahwa dia begitu terpesona melihat kondisi eksisting CiWalk sebelum terbangun yang penuh dengan pepohonan besar dan semak belukar yang membelakangi Sungai Cikapundung. Dalam fikiran Fauzan ia berkata: Ya Allah, apakah pohon-pohon sebesar ini akan dilibas begitu saja? Ide gagasan awal dalam melihat lokasi, yang terbayang pertama kali oleh adalah tema kisah tentang Bandung tempo dulu. Mengingat Jalan Cihampelas sendiri sangat bersejarah dan pepohonan besar merupakan ciri kota Bandung yang sampai saat kini keberadaannya mulai menghilang termakan usia.
Namun dalam proses desain, sinergi dengan Deni (klien) menghasilkan sintesa baru. Klien yang dibesarkan di negara Canada dan Singapura amat terpengaruh dengan model mall-mall di negara tersebut sehingga konsep Bandung tempo dulu harus bergeser menjadi konsep mall kosmopolitan, namun terdapat kesepakatan bahwa lansekap berkontur dan pepohonan besar merupakan kekuatan dari site ini sehingga bagaimanapun caranya dan apapun yang terjadi, hal ini harus dipertahankan. Inilah faktor mendasar yang memicu kesuksesan CiWalk pada akhirnya. Untuk memberikan kesan pengalaman berbelanja maka mall disebar pada ruang luar sehingga pengunjung dapat melihat etalase toko yang berhadap-hadapan layaknya deretan toko-toko jaman dahulu kala di Jalan Braga.
Fauzan cukup sadar bahwa CiWalk ini akan menjadi magnet kawasan dengan segala potensinya. Oleh karena itu ia mengambil sikap dengan meletakkan mall-mall di belakang site sehingga kepadatan kendaraan pada Jalan Cihampelas dapat terkurangi. Mobilitas terkendali, pengunjung merasakan oase yang menyegarkan dan desain pun juga pastilah unik.
Salah satu poin khusus yang dapat dipelajari pada Ciwalk ini adalah bagaimana klien dan arsitek dapat bersikap empati terhadap ekologi lingkungan hijau yang ada. Terlepas apakah sikap tersebut dilandasi oleh faktor komersial ataukah bukan, pilihan untuk menjaga ekologi di site Ciwalk merupakan keputusan yang tepat. Keputusan yang jarang didapati pada perancangan fasilitas komersial di kota-kota lain. Yang justru cenderung menghantam luasan KDB/KLB lahan dengan pertimbangan nilai investasi dan pandangan kapitalisme klasik.
***
Ya, CiWalk merupakan aroma baru. Terlepas apakah tujuan kami mengunjunginya kali ini apakah untuk ber-shopaholic atau memang untuk mempelajari sisi arsitekturalnya. CiWalk adalah harmoni langkah peradaban manusia yang tertuang dalam desain bangunan. Ia ada untuk manusia.
Adakah yang sudah kau pelajari darinya, teman?

Ekspedisi Bandung: Untuk Seribu Langkah, Untuk Seribu Mimpi [part 2: Selasar Sunaryo]

Siang itu kami melaju menuju Selasar Sunaryo Art Space yang terletak di Bukit Pakar Timur no 100, Bandung. Tahun 1993, Selasar Sunaryo mulai dibangun bersama arsitek Baskoro Tedjo, arsitek yang juga alumni jurusan Arsitektur ITB.
Selasar Sunaryo yang merupakan ruang publik seni (pertunjukan, tari, teater, musik, pemutaran film, fotografi, arsitektur, dan pembacaan puisi) diresmikan pada Mei 1998 dengan pameran tunggalnya, Titik Nadir. Pada saat itu Pak Sunaryo galau karena Jakarta dan Solo sedang dilanda kerusuhan. Atas keprihatinan terhadap kondisi bangsa saat itu, maka karya-karya Pak Sunaryo diselubunginya dengan kain hitam. Dalam kompas.com pun Pak Sunaryo menyatakan bahwa ia membuka museum tapi dengan semangat antimuseum. Bukan hanya karya seni rupa yang dibungkus kain hitam melainkan juga pohon kemang dan sebagian tembok ia selubungi dengan kain hitam dengan ikat tali putih.
”Suara krek.. krek.. krek saat saya membungkus dan mengikat itu rasanya ada katarsis. Betapa egoisnya saya saat itu jika pamer karya, sementara di depan kita nyawa manusia begitu mudah dilenyapkan,” katanya.
Akhirnya baru pada tahun 2000, seluruh selubung terbuka. Mempunyai museum seni merupakan cita-cita Sunaryo ketika masuk di jurusan Seni Rupa ITB tahun 1962. Pak Sunaryo kala itu memimpikan adanya ruang publik di mana terjadi interaksi antarseniman dan khalayak.
Mengapa selasar? Sunaryo terpanggil untuk memungut benih-benih yang masih muda, segar, dan menjanjikan. Selasar menjadi jembatan yang menghubungkan jejaring yang selama ini tak terhubungkan dengan khalayak luas. Selasar menjadi energi, yang merevitalisasi kebudayaan.
Selasar Sunaryo terdiri dari ruangan indoor dan outdoor. Ruang/Gallery A menampung koleksi terpilih Pak Sunaryo. Lalu Stone Garden tempat memajang karya seni dari batu, karya Pak Sunaryo. Ada juga Ruang/Gallery B dan Wing Gallery yang memamerkan hasil karya young artist dari Indonesia dan luar negeri. Selain itu juga ada Perpustakaan Seni, Bale Handap dan Bale Tonggoh yang mendukung art performance, exhibition, seminar, atau workshop. Ada juga amphytheatre yang didesain dengan perhitungan-perhitungan khusus sehingga jika berdiri pada titik pusatnya akan terasa ada yang berbeda, yang mana itu sangat bermanfaat pada saat pementasan. Bisa juga duduk santai sambil menikmati udara dingin Dago Pakar di Kopi Selasar lalu mampir ke Cinderamata Selasar (Selasar Shop). Terdapat juga Rumah Bambu sebagai tempat persinggahan seniman yang akan merencanakan tata pamerannya bersama kurator.
Selasar Sunaryo sangat menunjukkan kearifan lokalnya. Respon terhadap alam yang sangat bagus. Hampir semua ruangan menyisipkan elemen-elemen kaca sebagai upaya memaksimalkan pencahayaan. Massa bangunan yang mengadopsi unsur-unsur Sunda. Material-material alam dimaksimalkan dengan maksud memasukkan air sebanyak-banyaknya ke dalam tanah Selasar Sunaryo. Konon Selasar Sunaryo memiliki sembilan sumur resapan untuk mengendalikan air yang masuk ke tanah Selasar. Landscape-nya juga terlihat dinamis. Tak ada perkerasan beton maupun aspal kecuali pada area parkirnya. Di sisi lain ternyata Selasar Sunaryo juga bertujuan sebagai konservasi tanaman yang sudah mulai langka seperti bambu kuning dan bambu hitam.
Ada yang menarik perhatian saya pada dua spot, di perpustakaan dan selasar kopi. Kata-kata yang ditulis Pak Sunaryo pada saat peringatan sepuluh tahun Selasar Sunaryo.
Saya hanyalah seekor burung dengan sayap patah. Tak mungkin kami sanggup berkepak selama sepuluh tahun terakhir jika tiada dukungan rekan-rekan selasar, para penggiat seni serta sahabat sahabatku.
Kepada merekalah saya sampaikan rasa terima kasih yang tak bertepi....

Terlihat jelas kerendahan hati Pak Sunaryo dan kepeduliannya terhadap negeri ini.

Ekspedisi Bandung: Untuk Seribu Langkah, Untuk Seribu Mimpi [part 1: preface]

A great trip! Ya, itu komentar saya tentang Architecture UNS Tour de Bandung ini. Bukan apa-apa tetapi memang banyak pelajaran yang bisa diambil dari perjalanan itu pada tiap langkah tapak kaki ini. Bukan sekadar ber-sophaholic dengan image yang sudah melekat pada Bandung.
***
Perjalanan dimulai pada Rabu 4 November 2009 malam. Dengan meeting point di Boulevard UNS, bis melaju dengan pasti. Namun kantuk tak dapat ditolak, setelah seharian full di kampus. Jalan Solo Jogja (yang penuh kenangan-red) berlalu, rencana untuk menikmati malam tak bisa dipertahankan. Walaupun juga tak sepenuhnya terlena. Sempat merasa melewati jalan yang kanan kirinya berderet pohon-pohon kelapa. Ya, tak pasti juga benar salahnya, malam itu gelap saudara-saudara...
Hingga mentari pagi menyambut di Garut. Kota yang sangat indah. Masih tetap dingin seperti beberapa bulan lalu. Dan panoramanya masih tetap ‘mak nyuss’. Satu hal yang menurut saya sangat berbeda dari Garut, jalan yang dibangun rasanya tak seperti jalan di Kaliurang, Tawangmangu, Gunung Kidul, Wonogiri, hingga Trenggalek. Jalan di Garut sangat kental terasa seperti di Wonosobo. Ya, mungkin karena pengaruh background dan backsound kali ya?
Dan tak terasa Bandung Bermartabat telah menyambut kedatangan kami. Tujuan pertama adalah Kantin Salman Institut Teknologi Bandung (ITB). Sarapan dulu, euy! Ada pelajaran yang secara tak langsung saya ambil dari kantin tersebut ketika sang ibu yang membagi makanan berkata kurang lebih, “Kalau sekiranya nggak habis, bilang ya. Nanti dikasih setengah porsi.” Dan saya pun jadi teringat kata-kata ibu ketika saya masih kecil dulu, “...bisa jadi berkah dari makanan yang kamu makan, berada pada suapan terakhir...” Yeah, kita tak boleh memubadzirkan apapun termasuk makanan. Alhamdulillah Allah masih berkenan memberikan rizkinya.
A great taste! Walau dengan menu yang sederhana, nuansa yang berbeda pada Kantin Salman ITB (dan juga rasa lapar yang tak tertahan-red) nasi goreng plus telur dadar dan sosis ala Salman tertelan juga. Kenyang, kenyang, kenyang.
Selanjutnya meluncur ke Wisma Bina Marga (Wisma PU), Jalan L. R. E. E. Martadinata. Setelah mendapat kunci kamar no 136, menyusuri selasar-selasar, ditemukanlah kamar itu. Terpencil sekali. Di saat yang lain berjalan ke kanan setelah lobby, empat orang penghuni kamar no 136, Rofida, Tiara, Rahma, Galih, berjalan ke kiri. Sedikit beradaptasi dengan suasana kamar dan lingkungan, menata diri, menata barang, melepas lelah. Dan didapatlah info bahwa batal berkunjung ke Bottle House. Yeah, sedikit kecewa tapi juga sedikit bahagia. Kecewa tak bisa mengeksplor secara langsung karya arsitektur itu, bahagia ada jeda waktu lebih panjang untuk merefresh jiwa raga. :D
Tapi sepertinya kami terlalu terlena di samping info yang tidak update karena (sekali lagi) posisi kamar.
Tiba-tiba handphone saya berdering ketika siang mulai menjelang, setelah diangkat, seseorang di ujung sana berkata, “Ayo berangkat, yang lain sudah di bis.”
“Mm, ya... Sebentar,” masih setengah sadar jawaban itu terlontar.
Hingga beberapa detik berlalu, dan ketika kesadaran sudah kembali 100%...
“Hah, udah pada di bis???”
Gedubrak, pruk, seet, swiiiing, zet zet zet... Lariiiiiiiiiiiiiii!

Ketep-Kedungkayang [berbagi dengan alam]


Kamis, 21 Januari 2010.
Pagi itu telah tiba. Bari 12 jam menapakkan kaki di rumah, sudah harus pergi lagi. Untuk teman-temanku, untuk persahabatan, pertemanan, dan persaudaraan. Yeah, mengulang lagi kebersamaan dengan teman-teman sekelas semasa SMA.

Realisasi ini terhitung merupakan perjalananku dalam rangka liburan, jalan-jalan, main-main yang ketiga kalinya dalam rentang waktu sepekan. Setelah Jumat menuju ke Cemoro Sewu, Lawu; Senin ke Bukit Jenggrik, Mojosongo, Solo; dan kini? Masih simpang sayur kemana kami akan pergi.

Berangkat dari rumah pukul 07.15 pagi. Sengaja melewati jalan sebelah eks SD, mengenang masa itu sepanjang perjalanan menuju Jalan Magelang. Sebelum sampai Jalan Magelang, menjumpai siswa-siswa SMP 1 Sleman berlari-lari menyusuri jalanan dengan seragam olahraga, mengulur kembali waktu ke belakang. =D

Jalan Magelang, km 14.
Ramai nian... Tujuan pertamaku adalah terminal Jombor, tempat di mana aku dan Fa akan bertemu. 15 menit kemudian sudah sampai namun Fa sepertinya belum tampak. Hmm...melihat lalu lalang kendaraan-kendaraan beroda empat sebagai kesibukan dalam acara menunggu. Tak lama kemudian, Fa muncul. Okelah kami berdua segera meluncur menuju eks SMA, SMA 1 Yogyakarta. =)

Ternyata sesampai di SMA, kami masih menunggu kedatangan beberapa teman. Karetnya ternyata masih belum langka. =D
Okelah, sembari menunggu, akhirnya aku mengantar Fa ke ATM yang lokasinya berada di eks gedung UMY, samping SMA.
Gedung tersebut telah dialihfungsikan ternyata setelah mengalami renovasi. Bangunannya lebih modern, benar-benar menjadi point of interest. Tetapi nilai kontekstualnya terabaikan. Hmmm...lebih mudah juga sih merancang bangunan yang kotak-kotak seperti itu dengan atap plat dak. =D Emh..ya..bangunan itu pada akhirnya juga mengalami perluasan yang menunjukkan keegoisannya. Betapa tidak, di belakang bangunan asli dulunya terdapat lapangan sepakbola yang cukup luas. Sekarang, hampir setengah lebarnya termakan perkerasan untuk modifikasi bangunan dan paving untuk sirkulasi.
Salutnya, sepertinya kenyamanan di dalamnya benar-benar diperhatikan. Sunshading dari kaca yang telihat biru, yang menempel pada kolom-kolomnya seolah menyampuli balkon yang memanjang di bagian depannya, dengan tanaman yang merambat hijau. Lalu lampu-lampu yang menempel di sebidang dinding semodul, terbingkai kolom balok yang menonjol. Cukup sudah kritik arsitekturnya! =D

Mari kita berangkat!
Hlooo...lha... kok jadinya ke Ketep? Kembali pulang lagi nuh daku... Ya tak apalah, asal bahagia. Hiyaaah... n.g.g.o.n.g.g.l.e.h.

Jalanan yang sebelumnya datar pun semakin jauh semakin berkelok dan berliku. Mengingatkan pada perjalanan-perjalanan sebelumnya. Hmm...tak jauh bedalah dengan jalan-jalan di Lawu. =)

................................................................................................................................................

Here we’re...
Ketep. Ketika bentangan alam itu benar-benar terbentang luas. Di bawah kaki Merapi dan Merbabu. Hey...aku seperti kembali ke Wonosobo. Yeuy, aku juga seakan kembali ke tebing Parangendok. Semuanya menghampar di hadapanku, seluas itu. Pohon-pohon hijau dengan paduan pemukiman penduduk. Nggak ada komposisi yang seindah itu. No linear, no radial, no grid, no cluster. Komposisi yang hanya Allah yang punya.

Lukisan alam, lukisanNya. Lukisan yang sangat indah dan pasti indah.

...i’m speechless. suddenly can’t write anymore about that…
just come to that place, and you’ll get a wonderful painting…


………………………………………………………………………………………………

Seusai shalat dan makan siang bersama, kami melanjutkan perjalanan ke Air Terjun Kedungkayang. Sempat mendengar cerita dari beberapa teman (yang baru kusadari setelah sampai rumah-red) jalanan menuju air terjun tersebut terjal, berbatu, dan bukan jalan setapak. Dan benar saja, memang seperti itu keadaannya. Tapi pemandangannya subhanallah...
Diantara dua tebing yang sangat tinggi memanjang, air itu mengalir terjun... Batu-batu besar berserakan. Udara yang sejuk...
Coba aja sendiri! =D

Sleman, 22 Januari 2010
03:12pm
sembari membaca note FIMer Malang yang hari itu baru saja pulang dari Bromo.
liburanmu bener-bener liburan, habis touring di Jogja langsung tancap gas ke Bromo. =D bikin mupeng aja!

Mimpi Seribu Cemara (berbagi dengan alam)


Berbagi waktu dengan alam…
Kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya...
Hakikat manusia...


Siang itu, kami berempat Sa, Ni, In, Fi dengan dua motor meyusuri kelokan jalan dari Solo lewat Matesih, Tawangmangu, dan ke atas lagi. Sa berboncengan dengan Ni, In berboncengan dengan Fi.
Perjalanan yang menyenangkan ketika sudah lepas dari tempat yang bernama KOTA. Perjalanan yang menakjubkan ketika di kanan kiri hanya ada sawah, selokan, dengan background pegunungan dengan saputan awan, serta backsound suara alam.
Kemudian sekitar pukul satu-an perjalanan terhenti sejenak di mushola depan kecamatan Tawangmangu. Menunaikan ibadah di mushola yang jika berada di halamannya akan terlihat pemandangan yang sangat indah. Apalagi mushola tersebut ada balkonnya dan tidak terhalang apapun. Siang yang menyejukkan...
Ujian pertama: Saat akan kembali berangkat, siFit mogok. Panik? Cemas? Sempat terlintas. Namun kemudian kebetulan ada dua orang bapak yang kebetulan sedang berada di mushola itu. Alhamdulilllah bisa hidup...
Ujian kedua: Baru saja beranjak keluar dari pintu gerbang mushola...yaaah mati lagi. Menoleh ke arah bapak yang kemudian datang dan mengganti nyawa siFit. Hidup sih hidup...tapi kemudian si bapak-bapak langsung ngaciiiir! Kami hanya bisa sedikit tertawa dengan persepsi: apakah bapaknya tidak mau lagi berurusan dengan siFit? Ups, tidak, tidak, terima kasih Pak.
Yuhuuy, perjalanan berlanjut. Woooi, Sa, Ni jangan tinggalkan kami. Lalu tampaklah mereka di ujung sana.
Ujian ketiga: Ketika Sa-Ni melihat siFit dengan dua orang di punggungnya, mereka langsung menjalankan tunggangannya. Namun tiba-tiba siFit memelan. Kutanyakan pada In yang di depan, kenapa mau berhenti? Jawabnya, “Ini bukan berhenti tapi mati lagi.”
Dueeeeng! Sudahlah, mumpung hanya lima meter dari tempat berdiri ada bengkel, bawa saja siFit ke sana. Alhasil sekarang siFit punya nyawa baru. Nyawa ala Tawangmangu. =D Itu berarti sumbangan nyawa siFit tidak mengantarkan kami ke atas, tetapi mengantarkan kami ke rumah sakit spesialis siFit alias bengkel. =D

Dengan kondisi yang sudah sehat, perjalanan berlanjut kembali. Beruntung, jalan sudah diperbarui, menjadi lebih lebar dan tidak terlalu curam. Jalan yang membelah gunung. Udara semakin dingin. Begitu dingin. Ibu-ibu berkemul berderet di sepanjang jalan, menawarkan strawberry. Ya, hingga berkemul karena udara memang begitu dingin di atas.
Sempat terucap kata kepada In, “Seharusnya tadi kita bawa selimut.” Tawa kembali pecah.

Terlihat tulisan “Cemoro Kandang”. Yeah, kami hampir sampai. Hanya sedikit berbelok maka sampailah kami di tempat yang kami tuju.
Here we’re... Cemoro Sewu. 3265dpl (kalau tidak salah) dengan suhu 21,7 derajat Celcius. Mari kita lihat telapak tangan kami. Sa...putih, Ni...putih..., In....putih, Fi? Apa yang terjadi dengan tangan Fi? Paling merah diantara mereka, euy! =D Bangga nih!
“Berarti daya tahan tubuhku kuat ya?” ujarku.
“Yeeeee...pe de!” serempaklah mereka.
Papan nama pos pendakian Lawu. Itu yang kulihat. Cemoro Sewu memang bukanlah tempat wisata untuk umum. Cemoro Sewu adalah pos paling awal pendakian Lawu. Dan itulah yang membuat kami tertarik. Tempat-tempat yang jarang dijamah orang, biasanya justru lebih indah. Coba lihat tempat-tempat wisata yang cenderung kumuh dan banyak pedagang berseliweran. Kata Sa, “Ketika tidak banyak orang yang menjamah, kita serasa memiliki tempat itu.”
Setuju. Dan terlebih lagi, pada tempat-tempat seperti itu rasa syukur kepada Yang Kuasa seperti mencapai titik puncak. Namun memang tak semua orang mau dan mampu. Pada tempat seperti itu, rasa kekeluargaan juga lebih kental. Untuk yang satu ini, aku salut dengan teman-teman PA. Berulang kali mengunjungi tempat-tempat seperti itu, kekeluargaan dengan penduduk sekitar memang sangat hangat. Membumi.

Mari kita lanjutkan.
Sesaat setelah cukup beradaptasi dengan suhu dan suasana Cemoro Sewu, kami memasuki kawasan hutan cemara di dalamnya. Tak jauh dari pintu gerbangnya, kucium aroma kemenyan. Mengingatkanku pada Candi Sukuh dan Candi Cetho di lereng Lawu sebelah barat. Jalan setapak dengan perkerasan batu kali ini sangat menanjak. Semakin ke atas semakin curam dan sedikit berlumut.
Kreeek...
Terdengar sesuatu. Pohon cemara yang tumbang karena angin di sisi yang lain. Menapaki jalan ini, lalu berjumpa dengan bapak-bapak dan ibu-ibu yang juga akan ke atas. Mereka adalah para pedagang di pos pendakian 1. Sempat beberapa kali berbincang dan bercanda bersama mereka. *)ini salah satu contoh yang aku maksud dengan suasana kekeluargaan di paragraf atas.
Tak lama kemudian berpapasan dengan seorang bapak yang sudah cukup renta. Dengan kayu bakar di punggungnya beliau menawarkan sisa dagangan makanannya dari atas. Delicious! =)

Jarum jam menunjukkan pukul tiga. Kami harus turun meski pos pertama belum tercapai karena dijadwalkan akan mampir ke Grojogan Sewu.
Sebelum perjalanan dilanjutkan, kami menuju masjid di depan gerbang Cemoro Sewu. Begitu menyentuh lantai keramik di terasnya. Komentarnya: wow...dingin beneeeer!
Sempat juga duduk di atas teritisan teras masjid. Bagaimana bisa? Bisalah, masjidnya kan lebih rendah dari jalan.

Pukul setengah empat kembali turun menuju Grojogan Sewu.

Setelah memarkir motor (sebenarnya bukan memarkir karena tukang parkirnya tidak ada dan tempat sudah sangat sepi) kami berjalan menuju area grojogan. Di tengah jalan, ada tiga ekor kera di tengah jalan. Bagaimana ini? In berkata, “Eh, kita tadi masih punya makanan yang dari bapaknya. Kasihin aja ke mereka...sebagai tanda persahabatan.”
Sontak semua tertawa.
Dan ternyata...begitu membuka tas, kera langsung mendekat, lalu refleks melempar makanan. Sedikit menjauh. Duduk di emperan kios-kios yang berjajar. Begitu melihat ke atas jajaran pohon di depan kami duduk, banyak sekali kera-kera itu di sana. Lalu mereka beranjak turun, menghampiri makanan tadi. Makin banyak saja kera di jalan, dan makin ciutlah nyali kami. “In, sahabatmu tuuuh!”
Pukul setengah lima kami masih tertahan di emper toko itu sedangkan ternyata loket tutup pada pukul lima. Lebih baik kami kembali saja. Sebagai gantinya, kami menuju pasar Tawangmangu. Tetapi sebelum itu, mampir dulu di hik/angkringan ala anak PA (=D), pas untuk perjalanan seorang backpacker. Di tengah-tengah menikmati santapan, gerimis turun. Semakin mendinginkan udara yang sudah dingin saja.
Bagian pasar area buah itu sepintas mirip area Galabo-PGS-BTC di Solo. Bangunannya sudah modern, yang dijual di dalamnya tentu saja buah-buahan. Saat itu yang paling mendominasi penglihatan kami hanya alpukat dan ubi cilembu. Cukuplah bagi kami. Sempat bertanya-tanya tentang strawberry tapi ternyata sedang tidak musim karena hujan.

Lepas dari pasar buah, kami putuskan langsung pulang. Hari sudah senja, pukul setengah enam.
Gerimis menjadi teman perjalanan. Di samping sapuan oranye di sepanjang langit barat, dan panorama yang masih saja menakjubkan. Subhanallah...

Perjalanan berakhir saat kami sudah kembali sampai di Gang Surya 2. =))

Solo, 16 Januari 2009
08:08am
...karena di sanalah tempatku menakar syukur.

*)acak adul-belum sempat ngedit.

Senja di Padang Lamun


Begitu berharganya sebuah pertemuan
meski sejenak
untuk sebuah perpisahan

Kata-kata itu masih juga terngiang di benakku. Kata-kata yang terselip diantara ratusan kata yang pernah teruntai antara aku dan dia. Kata-kata yang membuatku bertanya-tanya, “Inikah kenyataan sesungguhnya atas kata-kata itu?”

***

Terlantun bahana rasa pada pucuk-pucuk menara
yang menyanderaku ke dalam penjara kasat mata
yang selalu membawaku ke padang bahagia
Meski kutahu, semua itu menjadi bahasa di batas kata


“Laf, besok arsitektur ekologi nggak ada tugas kan?” beberapa kata terpampang di layar benda mungil yang selalu kugenggam itu.
Aku segera mengetikkan kata-kata balasan, “Nggak ada, kak. Besok kan kuliah terakhir sebelum ujian.”
Sejurus kemudian, tanpa kusangka, ia kembali menderingkan ponselku via layanan pesan singkat. Dan pembicaraan pun kembali mengalir. Seperti kemarin, seperti dulu, seperti enam bulan terakhir ini. Tentang kuliah, tentang kesibukan, tentang hobi dan cita-cita, juga tentang kami. Ya, tentang kami. Aku, dia, dan keluarga kami.
Entahlah, dari mana semua itu berawal. Aku tak sadar. Aku baru menyadarinya saat kami seperti sudah melangkah terlampau jauh. Langkah-langkah bahagia, setapak demi setapak dalam alunan tawa itu tanpa sadar membawa kami sampai di titik ini. Titik di mana aku begitu merindukannya saat ia tak ada. Titik dimana aku begitu mengharap hadirnya, saat ia pergi tanpa sepatah kata pun.
Apakah rasa itu juga pernah bersemayam dalam benaknya? Apa yang terjadi padamu kini? Apakah kau telah menyadari semua yang terjadi itu adalah... salah? Pertanyaan-pertanyaan itu selalu menghantuiku.

***

Pada dzikir-dzikir cintaNya aku memohon
untuk senyum bahagia kita
Pada ujung doa aku berharap penuh
“Ya Tuhan, jika memang itu yang terbaik...”


Andreano, dia adalah kakak tingkatku, selisih dua tingkat. Sosok Indo, Indonesia-Perancis, yang sederhana. Ia adalah salah satu mahasiswa kebanggaan di jurusan, orang yang ramah dan banyak teman. Kami hanya bertemu saat mata kuliah Arsitektur Ekologi karena tahun ini dia mengambil mata kuliah itu untuk perbaikan nilai, sebelum Tugas Akhir. Pertemuan sekali sepekan itu pun tidak lantas menjadikan kami terlibat pembicaraan nyata.
Tidak! Dunia nyata dan maya kami sungguh berbeda. Kami seperti tidak kenal satu sama lain di dunia nyata. Tetapi di dunia maya, gelak tawa sering terlontar pada pembicaraan-pembicaraan tak terduga. Ah, itu dulu. Sekarang tidak lagi. Ia pergi dari duniaku secara tiba-tiba.
“Alhamdulillah, tadi aku udah berhasil ketemu Bu Maya. Konsep tugas akhirku sudah disetujui beliau. Insya Allah bulan depan aku udah nyusun tugas akhir.”
Pesan singkat itu yang terakhir kali dikirimnya untukku tiga minggu lalu. Pesan singkat yang dikirimnya pada sepertiga awal tengah malam, tak seperti waktu biasanya. Pesan yang membuatku terkaget-kaget mengingat waktu yang telah larut.
“Wah, selamat ya kak. Ngambil judul apa? Buruan lulus gih, biar tempat parkirnya sedikit longgar. Hehehe,” jawabku sedikit bercanda.
“Kamu ini bisa aja. Ya doain aja, lancar. Aku ngambil arsitektur ditinjau dari perspektif pendidikan untuk remaja. Kamu juga buruan lulus gih, biar kanopi nggak ruwet-ruwet amat. Hehehe...maksa.”
Sudah pukul dua belas malam. Kemampuan mataku tinggal beberapa watt. Kuputuskan untuk kembali membalasnya esok saja. Aku sepenuhnya sadar bahwa tak seharusnya aku bercakap dengannya pada waktu yang sudah larut ini. Tapi aku juga tak bisa menepis hasrat yang lebih kuat mendorong untuk menyambut percakapan itu.
Maafkan aku, Tuhan...
Keesokan hari saat matahari sepenggalah naik, kuketikkan beberapa kata, “Iya, maksa banget. Okelah, gud lak, te-a-nya...=).”
Dan itulah percakapan terakhir hingga detik ini. Karena ia tak membalas kembali pesan singkat itu. Kuliah juga sudah usai. Liburan akhir semester telah menghadang. Bahagiaku tak seperti bahagiaku liburan semester yang lalu. Saat ia menemaniku, meski jarak jauh, pada hari-hari liburan. Saat ia selalu menanyakan kemana aku berlibur. Saat ia terbang ke Bandung, kota kelahirannya, ia pun masih menemani hari-hariku.
Dan sekali lagi, itu semua sudah berlalu. Itu semua tinggalah kenangan. Sebulan sudah kami tak saling sapa. Fiuh...sebulan itu terasa sangat lama.
Tuhan, inikah yang dinamakan...virus cinta?

***

Ikan-ikan di kolam innercourt itu berenang-renang kesana kemari. Alangkah riangnya, menyelinap di sela tiruan batu-batu karang, lalu menyembul di bawah dedaunan suplir yang melambai pelan. Bias cahaya mentari memantul-mantul pada riak-riak air, yang disambut kembali dengan pantulan-pantulan di dinding bercat putih. Aku terduduk di balkon yang menyerupai dermaga kecil di atas kolam, bersandar pada pintu. Kuselonjorkan kaki di atas parquet yang menyelimuti balkon.
Setiap kulihat ikan itu, kenangan dengannya kembali berlayar. Ahh...
Kutarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya kuhembuskan kembali kuat-kuat. Sedikit merefresh pikiran. Aku beranjak ke kursi malas rotan yang bercokol di sudut balkon. Kubaringkan badan di sana, kutatap lekat-lekat awan yang berjalan pelan, terhembus angin. Apa kabarmu, kakak?
Dan aku tersadar, aku telah kembali salah memikirkannya. Aku menjadi tidak produktif. Aku telah membuang waktuku sia-sia. Banyak hal yang seharusnya bisa kukerjakan daripada hanya memikirkannya. Memikirkan sesuatu yang tidak jelas adanya. Aku harus lebih baik, tak boleh lagi tertawan diri sendiri. Kucoba berbisik pada kalbuku, “Jika dia memang untukmu, dia pasti akan kembali padamu. Jika dia memang untukmu, dia pasti akan datang pada waktu dan tempat yang jauh lebih baik. Tuhan tahu yang terbaik untukmu...”
Aku berdiri, beranjak menuju kamar pribadiku. Kubangunkan laptop di meja kerjaku dari hibernate-nya. Kutatap layar yang masih putih bersih. Layar yang kutinggalkan semalam. Hmmh...esok deadline lomba cerpen yang diadakan BEM fakultas. Tak ada salahnya kutulis cerita nyataku ini dengan beberapa perubahan setting, tokoh, dan waktu.
Kutarikan jari-jariku di atas tuts-tuts keyboard, kujalin kata-kata itu menjadi untaian kata yang kurasa manis. Kucoba tulis semua itu dari hati terdalamku. Dan tanpa sadar, air mataku luluh, mengalir, membentuk sungai-sungai mungil di pipiku.
Andai saja ending cerita nyata hidupku akan seindah cerita khayalanku ini...

***

Esok kuliah sudah kembali aktif, sekaligus pengumuman pemenang lomba cerpen. Tak berharap banyak untuk menjadi pemenang lomba cerpen itu. Menuangkannya menjadi kata-kata nyata saja sudah menjadi kepuasan tersendiri bagiku. Lagi pula cerpen itu kutulis tak lebih dari 24 jam, sepertinya editingku belum sangat matang.
Esok pula berbagai kemungkinan akan muncul. Akankah ia hadir di kampus? Akankah kami akan berpapasan di kampus? Atau secara tak sengaja hampir bertabrakan di pintu hall lantai tiga? Pikiran-pikiran itu kembali menggelinjang di benakku. Hingga kedua belah mataku terpejam dan kujumpai mentari esok hari telah kembali bersinar di ufuk timur.
Kusiapkan diriku untuk ke kampus. Hari pertama masuk di semester enamku ini, aku ingin tampil dengan sebaik mungkin. Kupakai pakaian kesayanganku, setelan kemeja dan rok panjang berwarna hijau muda. Tak lupa kerudung hadiah bunda pada ulang tahunku kemarin yang berwarna senada. Kuselempangkan tas krem muda bergaya casual di bahuku.
Kusambar kunci motor seusai sarapan dan berpamitan dengan ayah bunda. Di atas motor kesayanganku ini aku melaju menuju kampus. Hanya dua puluh lima menit waktu yang kutempuh menuju kampus arsitektur tercintaku. Bahagianya berjumpa dengan teman-teman di semester yang baru ini. Bahagianya mencoba belajar lebih dewasa karena adik-adik tingkat pun menjadi tantangan untuk semakin dewasa.
“Laffa!” Stefani memanggilku dari bordes tangga.
“Hai, Stef! Apa kabar?” jawabku setelah Stef sesampai di sampingku.
Stef menepuk bahuku, “Baik, ke sana yuk!” Stef mengacungkan tangan menuju kanopi.
Kuanggukkan kepala tanda setuju.
Di kanopi sudah berkumpul beberapa anak seangkatanku, Danny, Reza, Litha, Devi, dan Lulu.
“Hai, teman-teman! Gimana liburan kalian? Yang pada pulang kampung, mana oleh-olehnya nih?” sapaku nerocos kepada mereka.
Litha menggeser duduknya, “Baik, Laf. Wah, aku nggak pulang Laf, tanggung cuma libur sepekan,” ujarnya sembari tertawa lepas.
“Laf, selamat ya!” cetus Danny tiba-tiba.
Dahiku mengerut, bingung, bertanya-tanya, “Selamat atas apa, Dan?”
“Kamu kemarin ikut lomba cerpen yang diadain BEM kan? Itu udah dipasang pengumumannya di papan.”
“Yang bener aja, Dan?” aku masih tak percaya.
“Lihat aja sendiri, Laf. Jangan lupa makan-makannya ya...”
“Iya Laf, jangan lupa makan-makannya ya!” serentak anak-anak kemudian.
Aku tersenyum seraya berdiri menuju papan pengumuman di tepi kanopi. Terpampang jelas disana, “Laffa Danisha, pemenang pertama.”
Kuucap syukurku pada Yang Maha Kuasa. Tersungging senyum di wajahku kala aku kembali berjalan menuju teman-temanku yang bersiap menyalamiku sebagai tanda selamat. Sungguh ini adalah anugerah yang tak kusangka-sangka.

***
Senja itu bukanlah akhir dari segalanya
Saat mentari tenggelam di bawah cakrawala
Kau tahu, esok mentari kan kembali menyapa
Membawa angin bahagia di hati kita
Menyenandungkan lagu beromansa cita


Senja menorehkan sinaran oranyenya di langit barat. Sebagian menyusup di sela-sela jajaran pohon angsana. Bunga-bunga kuningnya berguguran seusai hujan. Sebagian tertiup angin lalu hinggap di ujung kerudungku. Aroma tanahnya masih kental tercium. Di sini, di Padang Lamun aku duduk di atas sebuah batu yang cukup besar, menggenggam note kecil dan sebatang pensil, mencari inspirasi.
Padang Lamun, tanah yang lapang di depan gedung arsitektur. Tempat di mana banyak mahasiswa biasa berkumpul untuk berdiskusi, bercakap, atau hanya sekedar duduk-duduk santai. Namun kali ini, di Padang Lamun hanya ada aku seorang. Maklum, masih hari pertama masuk kuliah.
Ponsel di sakuku bergetar.
Tampak di layar, satu pesan diterima, terpampang nama Kak Andre. Tanganku bergetar.
“Laf, maaf mungkin aku telah membuat teka-teki di pikiranmu. Rasanya aku sadar, aku telah membuncahkan sebongkah harapan di hatimu. Dan kini aku sadar, sepertinya aku telah menggoreskan luka di hatimu. Aku sadar telah membawamu salah melangkah. Maaf, Laf...”
Kupejamkan mataku erat-erat, menahan aliran air mata yang ingin keluar. Belum sampai kusimpan kembali ponselku, benda mungil itu kembali bergetar. Satu pesan kembali diterima. Satu pesan lagi dari Kak Andre.
“Laf, aku akan segera kembali. Pada waktu dan tempat terbaik. Pada jalan yang diridhaiNya, diridhai semuanya... Cerpenmu benar-benar jujur, Laf...”
Kini air mata sudah tak dapat kubendung lagi. Kutarik sehelai tisu dari lipatan kantong tasku. Kuusap air mata yang telah mengalir. Kutoleh gedung arsitektur yang telah mempersembahkan cerita terindah untuk hidupku. Tak sengaja mataku menangkap sesosok yang tengah berdiri di tengah kanopi, menghadap ke arahku. Lengkungan sabit terbentuk di wajahnya, senyum pertamanya...
Kak Andre...

Aih, aku baru sadar. Kak Andre adalah kabid Penerbitan BEM, dan cerpen itu pasti sudah mampir ke tangannya? Dan senja di Padang Lamun ini benar-benar seindah ending cerpenku itu.

Sleman, 26 Januari 2010
inspirasi terbesarku benar-benar hidupku

Separuh Cinta yang Hilang

Ada getar yang tak terukur,
Bersarang di hati terdalam,
Ada rindu yang tak tersekat,
Mengadu di benak pertemuan,
Namun ada cinta yang tak terperi,
Yang kini kucari.

Mentari pagi bersinar cerah. Bulan ini aku berada di Pangandaran. Alamnya sungguh menakjubkan. Pantai tentu saja ada, tak hanya satu tetapi dua, Pantai Timur dan Pantai Barat. Ada juga gua-gua yang tersembunyi di balik rimbunnya dedaunan pohon-pohon hutan sekaligus cagar alam. Kudengar di sana baru saja digunakan untuk shooting sebuah reality show, acara terfavorit di sebuah stasiun televisi ibukota.
Aku berdiri di tepi pantai, diantara bebatuan yang berserakan bercampur pasir putih di tepi hutan kecil Pangandaran. Sesekali gulungan ombak laut menyambar lembut kakiku. Pun angin yang juga mengusap lembut wajahku. Semenit kemudian aku terduduk di atas perahu seorang nelayan. Sebentar kemudian aku mencicipi kecipak-kecipak muara kali kecil. Tak lama lagi aku merenungi diriku diiringi deburan ombak sebagai backsound dan birunya laut sebagai background. Sungguh terasa besarnya damai alam raya ini.
Aku teringat saat aku masih duduk di awal Sekolah Dasar. Saat ibu guru menyuruhku memperkenalkan keluargaku. Mula-mula kusebutkan namaku, nama ibuku, alamat rumahku, hobiku hingga cita-citaku. Lalu aku terdiam meminta persetujuan kepada ibu guru untuk kembali duduk.
Namun tampaknya beliau tak mengerti maksudku, beliau kemudian bertanya, “Siapa nama ayahmu?”
“Siapa? Siapa ayahku? Aku tak tahu…” kataku dalam hati.
Aku hanya terdiam. Aku bingung. Tak tahu harus berkata apa. Aku tak pernah tahu siapa ayahku. Aku hanya bisa memandang ibu guru dengan nada sendu. Tampaknya ibu guru baru mengerti arah pikiranku. Beliau hanya menepuk lembut bahuku sebelum menyuruhku duduk kembali.
Ketika aku pulang sekolah, siang harinya, tampak ibu sedang menjahit potongan kain yang biasa disebutnya pola. Ibu sedang menjahit kemeja yang seukuran badanku. Tentu saja untukku.
Aah…ibu aku tak sanggup membalas kasih sayangmu. Kasih sayangku hanya sepanjang galah sedangkan kasih sayangmu sepanjang jalan.
Seusai makan aku menghampiri beliau di beranda rumah. Ibu sedang menyulam. Aku ingin bertanya tentang ayah kepada ibu namun aku ragu. Aku terlalu takut ibu akan marah. Hanya menatapnya dalam-dalam yang bisa kulakukan.
Tampaknya ibu menyadari keberadaanku.
“Ada apa, Habib? Tumben tidak ceria seperti biasanya? Ada masalah?” tanya Ibu beruntun.
“Bu, bolehkah Habib menanyakan sesuatu?” ucapku takut-takut sembari duduk di sampingnya.
Ibu berhenti menusukkan jarum ke kain dan menatapku penuh kasih sayang, ”Kau ingin menanyakan apa, Nak? Kalau Ibu bisa menjawabnya tentu akan Ibu jawab tapi kalau Ibu tak mampu, maafkan Ibu ya, Nak?”
Ibu mengelus rambutku.
“Bu, Habib takut Ibu marah. Tapi Habib benar-benar ingin tahu…” aku menunduk tak mampu melanjutkan lagi kata-kataku.
“Ya sudah, katakan saja. Kalau Ibu marah kan ada Habib sebagai pereda kemarahan Ibu. Ya, kan?”
Ibu memang paling bisa membesarkan hatiku. Ketika aku diejek kawan-kawanku, ketika nilaiku paling jelek, ketika aku sakit. Sepanjang hidupku Ibu selalu membantuku, membesarkan hatiku.
Aku menghela napas sejenak.
“Bu, di mana ayah Habib?” aku lega telah mengatakannya sekarang.
Tapi Ibu kemudian tertunduk, “Maafkan Ibu Nak, Ibu benar-benar tak bisa mengatakannya. Ibu tak ingin Habib sedih. Habib masih kecil, Habib harus menikmati masa-masa bermain Habib dengan senang. Sudah, jangan pikirkan dulu di mana ayahmu berada. Hilangkan beban itu, Nak… Habib masih punya Ibu...”
“Tapi tanpa seorang ayah, Habib tak akan ada di bumi ini, Bu. Habib pasti punya ayah, Bu! Siapa ayah Habib, Bu?!” aku tak mampu menahan emosiku.
Air mataku mulai meleleh.
“Aku tak boleh menangis...” kataku pada hatiku.
Ibu hanya bisa menangis. Ibu tak bicara sepatah kata pun. Aku jadi menyesal melihat beliau. Ibu terus terisak-isak. Mungkin hati Ibu terguncang mendengar pertanyaan singkatku. Pertanyaan singkat yang bagiku bagaikan sebuah misteri yang harus segera dipecahkan namun bagi Ibu bagaikan halilintar yang menggelegar pada musim badai, yang harus dihindari.
“Maafkan Habib, Ibu… Habib menyesal menanyakan hal itu. Mungkin belum saatnya Habib mengetahui siapa ayah Habib…” aku ikut tertunduk di sisi Ibu.
Ibu kemudian merangkulku, mendekapku dalam pelukan hangatnya, dan mengelus punggungku, “Ibu yang bersalah, Nak. Ibu belum mampu menjawab pertanyaan Habib. Maafkan Ibu ya, Nak? Ibu belum bisa menjadi Ibu yang baik bagi Habib…”
“Tak apa, Bu. Semua pasti ada saatnya. Tuhanlah yang berkuasa atas segalanya, Bu. Dan mungkin kali ini Habib belum saatnya tahu siapa ayah Habib,” aku mencoba mengembalikan keceriaan Ibu.
“Anakku…” Ibu semakin erat memelukku.
Hangatnya kasih sayang Ibu semakin terasa dan aku semakin ingin merengkuh surgaNya di bawah telapak kaki Ibu.
***
Ketika waktu tlah menjadi jarak,
Dan ruang tlah menjadi sekat,
Inginku kembali seperti dulu,
Merajut kisah, menguntai kata,
Menjadi kesejatian untuknya,
Membiaskan cinta di hatinya.

Burung camar terbang melayang-layang di atas laut biru di bawah biasan sinar biru mentari sore. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Sebentar lagi para nelayan akan kembali ke laut mencari tangkapan untuk mempertahankan hidupnya dan keluarga masing-masing. Ya Tuhan, semoga aku lebih beruntung daripada mereka...
Ibu telah meninggalkanku setahun yang lalu untuk selamanya. Kini aku tinggal sendiri di bumi ini. Merana seorang diri, berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Aku ingin mencari ayahku. Ibu belum juga mau membuka rahasia itu. Aku tak mungkin lagi menguak sisi-sisi kehidupan Ibu darinya sekarang. Aku akan mencari saudara-saudara Ibu. Semoga mereka mau memberikan sedikit keterangan padaku tentang ayah. Aku rindu ayah. Aku ingin mengecap hangatnya kasih sayang seorang ayah. Harapan dan cita-citaku sekarang hanya satu itu.
Seorang nelayan setengah baya datang menghampiriku.
“Siang, Nak!” ucapnya sumringah sambil merekahkan bibirnya.
Aku berdiri dan mengulurkan tanganku, “Siang, Pak. Mau melaut?”
“Ya, tetapi teman saya belum datang. Saya lihat kamu bukan orang sini, dari mana asalnya?” nelayan itu meletakkan jalanya lalu duduk di atas lembutnya pasir pantai. Aku pun mengikutinya duduk.
“Saya dari jauh, Pak. Dari Yogya. Saya tak sengaja ke sini, kata orang pemandangannya bagus.”
“Kenapa tak sengaja?” tanya nelayan itu dengan herannya.
“Sebenarnya saya ingin mencari ayah saya... Oh, ya nama Bapak siapa?” tanyaku sembari melayangkan pandangan ke hamparan laut tanpa ujung.
Bapak itu mengerutkan keningnya lalu berkata, “Nama Bapak Rosandi. Mencari ayah? Kau tak tahu siapa ayahmu? Namamu siapa?”
“Nama saya Habib. Sejak kecil saya tak tahu siapa ayah saya, saya belum pernah bertemu dengannya. Ibu tak mau menceritakannya, kini Ibu sudah meninggal dan saya berkelana mencari saudara-saudara Ibu untuk mencari tahu siapa ayah saya…” aku masih memandang ke laut.
Pak Rosandi memegang bahuku kemudian memainkan patahan karang dan berkata, “Ooh, maafkan Bapak, Bapak sudah lancang. Tapi bolehkah Bapak tahu siapa nama Ibumu? Barangkali Bapak mengenalnya. Bapak pernah tinggal beberapa tahun di Yogya.”
“Nama Ibu saya…e...Aisyah…” aku kembali teringat Ibu, kasih sayangnya.
“Aisyah? Aisyah, nama ibumu…” ucapan Pak Rosandi tiba-tiba terlihat janggal. Nada bicaranya berbeda dari kata-kata sebelumnya, kukira kalimatnya belum selesai. Dan bisa kulihat dari wajahnya jika beliau tengah memikirkan sesuatu.
“Bapak kenal dengan Ibu saya?” aku bertanya sesaat setelah aku menoleh padanya. Aku memendam harapan besar kepada beliau.
“Eee…tidak. Saya dulu juga punya teman namanya Aisyah tapi sebelum saya pindah ke sini dia meninggal, belum bersuami. Maaf itu teman saya sudah datang. Saya duluan, ya! Kapan-kapan mampir ke rumah saya, di ujung pantai!” Pak Rosandi segera berdiri dan melangkahkan kakinya menuju ke arah temannya berada.

Sleman, di penghujung 2005.

Terima kasih, Yah, Bun, untuk semuanya, untuk kepercayaannya yang tak terperi.
Dan untuk orang yang telah memberikanku inspirasi, percayalah bahwa hidupmu pun indah meski kau tak tahu siapa ayahmu. :)

Sabtu, 23 Januari 2010

Tak Bisa Lupa

Aku dengar suara pesawat terbang
di atas kepalaku
Aku dengar suara gemericik air
di samping rumahku
Aku dengar suara detak jarum jam
di ruangan itu
Aku dengar suara burung berkicau
di taman depan

Tapi semua itu terbawa angin lalu
yang menggebu untuk membawa anganku
berlari menuju hari dan hari yang baru
berlari menuju tempat kau merenung

Bayangan itu menancap kuat
pada pusaran pikirku
Aku tak bisa lupa kau...

Sleman, 22 Januari 2009
10:37am
sejenak setelah sebuah pertemuan itu
berlalu

Tentang Sebuah Perjalanan

Menjaring senja, membawanya menuju malam,
Mengukir kata syukur pada jejak-jejak perjalanan.

Ada yang berbeda pada perjalanan kali ini meski sebenarnya biasa saja. Perjalanan Jogja-Solo bukanlah perjalanan yang baru untuk saya. Dan pada perjalanan yang ke-sekian ini saya belajar sesuatu darinya.
Banyak orang di dunia ini, dan banyak karakter pula yang mereka miliki. Seperti halnya jalan raya lintas kota.

***

Setiap ruas jalan memiliki karakternya masing-masing yang berbeda satu sama lainnya, sesuai peruntukannya, sesuai arah tujuan dan titik asalnya.
Jalan Magelang, Sleman, Yogyakarta.
Sebagai jalan raya lintas kota, sekaligus jalan utama di kabupaten Sleman, jalan ini memang ramai. Darinya saya belajar cermat dan hati-hati. Jalan ini dilalui kendaraan-kendaraan besar seperti bus dan truk dengan laju cepat. Sementara tidak ada pembatas jalan di tengah, tidak terdapat cukup banyak lampu merah. Perlu ekstra kehati-hatian saat menyeberanginya.
Ring Road Utara, Sleman, Yogyakarta.
Konon orang bilang inilah jalan tolnya Jogja. Masih merupakan jalur lintas kota. Dan darinya saya belajar tentang hak dan kewajiban. Pada jalan ini terdapat pemisahan jalur antara kendaraan roda dua dan kendaraan roda empat atau lebih. Saya mempunyai hak melewati jalan tersebut namun wajib melintas di jalur lambat alias jalur untuk kendaraan roda dua. Di sini saya juga belajar tentang kesabaran. Saat kendaraan roda empat dan busway memasuki jalur ini, bisa dipastikan harus menguntit di belakangnya beberapa meter dengan kecepatan sangat rendah, karena untuk mendahului pun tidak ada ruang.
Jalan Jogja-Solo
Menurut saya, inilah akumulasi dari jalan-jalan yang lain. Harus cermat, hati-hati, sabar, memahami orang lain, setia kawan. Terkadang bisa juga egois, menang sendiri. Lebih ekstrim lagi mungkin bisa dibahasakan dengan ’nekat’. Intinya harus pandai memanfaatkan setiap celah yang ada untuk mencapai tujuan secepat mungkin. Siapa cepat dia dapat! Tidak ada lagi batas antara kendaraan roda dua dan roda empat atau lebih. Ada bus-bus besar yang cenderung egois dan menangan. Ada truk-truk yang juga cukup besar namun melambat, lamban. Terkadang menjengkelkan, tapi itulah hidup.
Dan adakalanya perjalanan yang saya lalui terasa membosankan. Tapi semua itu menjadi tidak membosankan karena entah darimana datangnya, saya memiliki kebiasaan unik. Mencari partner perjalanan. Yeah, entah itu truk besar atau sesama pengendara jalan. Tidak pernah saling mengenal memang, tetapi menjadi rival perjalanan ternyata cukup menyenangkan juga. (Jangan nekat ingin melakukannya jika tidak yakin!:D)

***

Seperti jalan, seperti itulah hidup yang kita jalani. Kita menemui banyak orang dengan banyak karakter yang mereka miliki. Setiap manusia unik. Setiap manusia memiliki karakter yang berbeda-beda, tak ada yang sama. Subhanallah...
Yang perlu dilakukan hanyalah memahaminya. Memahami bahwa orang lain pun diri kita juga memiliki keunikan tersebut, memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Memahami bahwa orang lain pun ingin dipahami seperti halnya kita yang juga ingin dipahami orang lain.

Solo, 15 Desember 2009
Meski ku tak tahu siapa kau, beribu terima kasih untuk * 2928 ** telah menjadi rival pada perjalananku kemarin...:) Perjalananku menjadi tak membosankan.

*)kok rasa-rasanya antar paragraf ga nyambung yaaah...:(

5 cm : Semua Karena Mimpi

“…kekuatan mimpi dan cita-cita serta doa adalah segalanya bagi setiap usaha yang dilakukan setiap manusia. Selalu memberikan yang terbaik kepada kehidupan dengan apa yang terbaik yang kita miliki setiap hari, dan selalu punya impian dan cita-cita di dalam hidup kita sebagai salah satu cerminan rasa syukur kita kepada yang Maha Kuasa..”
-Donny Dhirgantoro-

Tak pernah lawas. Itulah opini saya tentang novel ini yang terbit tahun 2005. Bukan novel biasa yang menjamur dengan bertabur tema cinta. Novel ini mengangkat tema motivasi mimpi, keajaiban mimpi, keyakinan mimpi, dan tentu saja mimpi yang tergantung 5 cm di depan kening. Kenapa 5 cm? Karena jika mimpi itu menempel di keningmu, kamu tidak akan bisa melihatnya.

***

“Jadi kalo kita yakin sama sesuatu, kita cuma harus percaya, terus bangkit dari kegagalan, jangan pernah menyerah dan taruh keyakinan itu di sini….” Zafran meletakkan telunjuk di depan keningnya.
“Betul… banget. Taruh mimpi itu di sini…,” Genta melakukan hal yang sama.
“Juga keinginan dan cita-cita kamu,” ujar Arial.
“Semua keyakinan, keinginan, dan harapan kamu…,” Riani berkata pelan.
“Taruh di sini…,” Dinda ikut meletakkan telunjuk di depan keningnya.
Muka Ian tampak menyala, matanya mengkilat diterangi cahaya api unggun. “Betul! Begitu juga dengan mimpi-mimpi kamu, cita-cita kamu, keyakinan kamu, apa yang kamu mau kejar taruh di sini.” Ian membawa jari telunjuknya menggantung mengambang di depan keningnya…
“Kamu taruh di sini… jangan menempel di kening.
Biarkan…
dia…
menggantung…
mengambang…
5 centimeter…
di depan kening kamu….”
“Jadi dia nggak akan pernah lepas dari mata kamu. Dan kamu bawa mimpi dan keyakinan kamu itu setiap hari, kamu lihat setiap hari, dan percaya bahwa kamu bisa. Apa pun hambatannya, bilang sama diri kamu sendiri, kalo kamu percaya sama keinginan itu dan kamu nggak bisa menyerah. Bahwa kamu akan berdiri lagi setiap kamu jatuh, bahwa kamu akan mengejar-nya sampai dapat, apa pun itu, segala keinginan, mimpi, cita-cita, keyakinan diri….”
“…Biarkan keyakinan kamu, 5 centimeter menggantung mengambang di depan kening kamu. Dan… sehabis itu yang kamu perlu… cuma….”
“Cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas.”
“Lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja….”
“Dan hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya….”
“Serta mulut yang akan selalu berdoa….”
“Dan kamu akan selalu dikenang sebagai seorang yang masih punya mimpi dan keyakinan, bukan cuma seonggok daging yang hanya punya nama. Kamu akan dikenang sebagai seorang yang percaya pada kekuatan mimpi dan mengejarnya, bukan seorang pemimpi saja, bukan orang biasa-biasa saja tanpa tujuan, mengikuti arus dan kalah oleh keadaan. Tapi seorang yang selalu percaya akan keajaiban mimpi, keajaiban cita-cita, dan keajaiban keyakinan manusia yang tak terkalkulasikan dengan angka berapa pun…. Dan kamu nggak perlu bukti apakah mimpi-mimpi itu akan terwujud nantinya karena kamu hanya harus mempercayainya.”
“Percaya pada… 5 centimeter di depan kening kamu.”
[pg. 361-363]

***

Cinta memang ada untuk dicintai dan diungkapkan sebagai sebuah jembatan baru ke pelajaran-pelajaran kehidupan manusia selanjutnya. Cinta yang akan membuat manusia lebih mengerti siapa dirinya dan siapa penciptanya. Dan, dengan penuh rasa syukur akhirnya manusia menyadari bahwa tidak ada cinta yang paling besar di dunia ini kecuali cinta Sang Pencipta kepada makhluknya. Tidak pernah ada cinta yang bisa dimiliki manusia, kecuali cinta dari Sang Pencipta –yang tidak pernah berpaling dari manusia dan selalu mencintai makhluk terbaik ciptaan-Nya. Sang Pencipa tidak pernah memberikan apa yang manusia pinta, seperti cinta… Ia memberi apa yang manusia butuhkan.
[pg. 368]

***

Belum pernah ada bukti-bukti nyata dalam angka dan kalkulasi yang bisa dipecahkan oleh ilmu pengetahuan tentang bagaimana keajaiban sebuah mimpi dan keyakinan bisa membuat begitu banyak perbedaan yang bisa mengubah kehidupan manusia. Belum pernah ada. Hanya mimpi dan keyakinan yang bisa membuat manusia berbeda dengan makhluk lain. Hanya mimpi dan keyakinan yang membuat manusia sangat istimewa di mata Sang Pencipta. Dan, yang bisa dilakukan seorang makhluk bernama manusia terhadap mimpi-mimpi dan keyakinannya hanya mereka tinggal mempercayainya.
Untuk mereka yang masih belum percaya –walaupun manusia tidak akan pernah bisa memutar kembali waktu untuk mengulang kembali semuanya dari awal- Tuhan telah memberikan kebebasan bahwa setiap manusia bisa memulai kembali semuanya dari sekarang, umtuk membuat akhir yang baru, akhir yang lebih indah.
Bangsa yang besar ini juga harus punya mimpi…. [pg. 378]

***

Sudahkah kalian punya mimpi? Sudahkah kalian yakin dengan mimpi-mimpi itu? Bermimpi bukanlah hal yang sepele dan tidak bermanfaat. Bagi saya, bermimpi adalah selangkah melangkah menuju realisasi mimpi-mimpi saya.
Selanjutnya… terserah anda!

“Semua yang ada dan pernah ada dimulai dari sebuah mimpi.”
-Lavagirl-

*) Novel 5 cm ditulis oleh Donny Dhirgantoro, seorang instructor/trainer di salah satu perusahaan Konsultan Sumber Daya Manusia di Jakarta.

Sleman, 25 Agustus 2009
10:47 pm.

Setelah hampir satu tahun mengagumi 5 cm…
Terima kasih mimpi-mimpi gilaku yang membuatku gila bermimpi.

Katakan bahwa Aku adalah Sang Pemimpi

Hanya sebuah kata yaitu: mimpi.
Sebuah kata yang sederhana namun menyimpan kekuatan yang tak terpatahkan.
Apa yang kulihat sekarang adalah buih-buih dari butiran serbuk sabun yang kutabur pada air kehidupanku di masa lalu. Yaah, itulah yang selalu ingin kukatakan.

***

“Aku seakan melihat diriku sendiri, Arai, Jimbron, sempoyongan memikul puluhan kilo ikan dari perahu menuju stanplat. Tiga tahun penuh kami melakukan pekerjaan paling kasar di dermaga itu. Menahan kantuk, lelah, dan dingin dengan meraupi seluruh tubuh kami dengan kehangatan mimpi-mimpi. Betapa kami adalah para pemberani, para patriot nasib. Dengan kaki tenggelam di dalam lumpur sampai lutut kami tak surut menggantungkan cita-cita di bulan: ingin sekolah ke Prancis, ingin menginjakkan kaki-kaki miskin kami di atas altar suci almamater Sorbonne, ingin menjelajahi Eropa sampai ke Afrika.”
[pg. 268]

***

Tak pernah ada yang salah dengan mimpi. Tak pernah ada yang salah. Yang salah adalah jika hanya sekedar bermimpi tanpa ada perjuangan, tanpa ada langkah selanjutnya. Mimpi sama dengan satu langkah saja. Mimpi dan perjuangan sama dengan dua tiga langkah. Dan adanya optimistis dan kesabaran menjadikan langkah-langkah itu semakin panjang.

***

“Aku mengambil surat kelulusan Arai dan membaca kalimat demi kalimat dalam surat keputusan yang dipegangnya dan jiwaku seakan terbang. Hari ini seluruh ilmu umat manusia menjadi setitik air di atas samudra pengetahuan Allah. Hari ini Nabi Musa membelah Laut Merah dengan tongkatnya, dan miliaran bintang gemintang yang berputar dengan eksentrik yang bersilangan, membentuk lingkaran episiklus yang mengelilingi miliaran siklus yang lebih besar, berlapis-lapis tak terhingga di luar jangkauan akal manusia. Semuanya tertata rapi dalam protokol jagat raya yang diatur tangan Allah. Sedikit saja satu dari miliaran episiklus itu keluar dari orbitnya, maka dalam hitungan detik semesta alam akan meledak menjadi remah-remah. Hanya itu kalimat yang dapat menggambarkan bagaimana sempurnanya Tuhan telah mengatur potongan-potongan mozaik hidupku dan Arai, demikian indahnya Tuhan bertahun-tahun telah memeluk mimpi-mimpi kami, telah menyimak harapan-harapan sepi dalam hati kami, karena di atas kertas itu tertulis nama universitas yang menerimanya, sama dengan universitas yang menerimaku, di sana jelas tertulis: Univesité de Paris, Sorbonne, Prancis.”
[pg. 272]

***

Subhanallah… Begitu berartinya sebuah mimpi. Anak Belitong menggapai mimpi untuk melanjutkan sekolah di Prancis!
Semua bisa menggapai mimpi, anak Belitong atau anak Jakarta. Mimpi tak memandang status. Seperti cinta yang buta, mimpi pun buta!
Selamat bermimpi kawan-kawan… Teruslah berjuang!


Sleman, 26 Agustus 2009
09:14 am.

Saat gila memimpikan mimpi-mimpi gila.

Hanya Cerita Lama

Lengkungan sabit di wajahmu
Mengawali kembali semua kisah itu
yang dulu pernah terjalin

Tatapan elang di matamu
Menandai episode yang baru
yang mungkin akan berlanjut

Apakah masih seperti dulu?
Kau dan aku
mengukir teka teki
melanjutkan misteri
yang bahkan belum sempat
terpecahkan

Apakah kita masih berharap?
pada kebisuan
pada hati yang bertanya-tanya

Apakah isyarat-isyarat tanpa rencana itu
adalah sebuah pertanda?
bahwa masih ada titik putih
di hatimu
hatiku

Sleman, 22 Januari 2010
10:30 am
sendiri menyepi
di ruang penuh inspirasi